01

1511 Words
Mobil mini berwarna kuning terang itu terparkir di depan sebuah pintu gerbang besar yang diapit oleh tembok besar dan dijalari tumbuhan merambat. Sebelah jendela mobil diturunkan dan kepala seorang wanita terjulur keluar. Mika Novelia Angkasa tampak agak berantakan, atau mungkin belum cukup siap untuk berangkat pagi-pagi. Rambutnya panjang dan tebal-ikal disanggul tidak rapi. Penampilannya pasca mengemudi satu jam telah berubah lusuh serta dengan wajah yang lelah dan mengantuk. Padahal seharusnya ia menjaga penampilannya demi pertemuan ini. Sesaat Mika memandangi tumbuhan merambat pada pagar tembok yang menambah kesan menyeramkan pada gerbang rumah itu. Melihat tidak ada tanda-tanda penyambutan, Mika keluar dari mobil. Ia mendekati gerbang, mengintip dari balik jerujinya yang terbuat dari besi. Ia hanya melihat jalan setapak besar dengan kanan kirinya adalah pagar tanaman yang berbentuk seperti tembok tinggi, mengingatkannya pada taman labirin. "Halo?" Mika mencoba memanggil. Sepi dan sunyi. Seharusnya rumah orang kaya ini memiliki satpam, pikirnya. Dan bukankah ia sudah memberitahukan akan datang pagi ini? Kenapa seperti tidak ada orang yang akan menyambutnya? Atau orang-orang kaya memang begitu? Mereka pasti terkaget-kaget ketika mendengar seorang anak asing yang sudah ditinggalkan mendapat sebagian warisan dan akhirnya akan tinggal di rumah almarhum ayahnya yang bahkan tidak pernah ditemuinya. Ya, Mika sama sekali tidak mengetahui siapa ayahnya. Ibunya tidak pernah bercerita dan selalu menolak ketika ia mencoba bertanya. Ibunya hanya pernah menjelaskan jika perpisahan mereka disebabkan oleh perbedaan pendapat. Mana dia tahu jika ayahnya ternyata adalah seorang pria kaya raya yang memiliki nama keluarga Angkasa? Ia tidak pernah bertanya asal usul nama 'Angkasa' itu. Ia tidak pernah menduga akan menjadi ahlis waris, rupanya dia masih terdaftar sebagai anak kandung karena ayah dan ibunya tidak pernah bercerai secara resmi. Dan Ibunya juga tidak pernah menikah secara resmi dengan Ayah tirinya. Fakta itu sungguh membingungkan Mika. Namun Mika sudah cukup dewasa dan mampu menghidupi dirinya meski pas-pasan. Usianya nyaris kepala 3, namun masih single dan payah. Payah karena tidak punya kekasih di usia setua itu, dicap introvert parah dan tidak bisa membuka diri, juga payah di bidang pekerjaan. Bayangkan saja dia belum pernah naik pangkat sejak 6 tahun ia mengabdikan diri di perusahaannya. Demi pertemuan dengan Keluarga Ayahnya ini, ia pun mengambil cuti tiga hari untuk dapat mengurus kepindahannya dan berbagai hal lainnya. Keputusan pindah pun sudah ia pikirkan matang-matang. Salah satu alasannya adalah untuk mengirit pengeluarannya. Ia tidak perlu lagi membayar kos, dan bisa membiayai hidup adik tirinya yang saat ini sedang sedang KoAs di rumah sakit. Adik tirinya adalah mahasiswa kedokteran dengan predikat murid terbaik di kampus. Meski mereka berdua tidak terikat darah, Mika sangat membanggakan adik tirinya itu. Kembali ke kenyataan di mana Mika yang terabaikan di depan pintu gerbang. Ia menghela napas, mengguncang pintu gerbang besi beberapa kali. Gerbang itu benar-benar digembok. Aneh sekali tidak ada satpam yang menjaga gerbang. Bukankah biasanya orang-orang kaya sangat ketat dalam sistem keamanan rumah mereka? Ia pun mencari-cari tombol bel. Ia berhasil menemukannya setelah nyaris putus asa, tombol itu rupanya tertutup oleh tumbuhan merambat. Ia pun menekannya beberapa kali dengan jengkel. Ia sangat yakin rumah ini jarang kedatangan tamu. Walau pun ada orang yang datang untuk bertamu, Mika sangat yakin, orang itu tidak akan pernah berhasil masuk karena bel yang tertutupi tumbuhan merambat dan tidak adanya satpam. Ia sudah menekan bel berkali-kali namun tetap saja tidak ada tanda-tanda kedatangan orang yang akan menyambutnya. Apa-apaan ini? "Duh, lapar..." keluh Mika. Seharusnya ia tidak perlu terburu-buru. Padahal ia bermaksud datang tepat waktu karena tidak ingin menampilkan kesan sembrono. Jika dia tahu dia tidak akan disambut seperti ini, lebih baik dia datang setelah makan siang. "Ah, sial..." Mika terus mengeluh. Ia mondar-mandir di depan gerbang. Apakah ia pulang saja? Tiba-tiba ia menyadari sesuatu. Ada pintu pagar kecil di samping pintu gerbang besar. Biasanya memang begitu, jika ada pintu gerbang besar untuk kendaraan besar lewat, juga ada gerbang kecil untuk keluar masuk orang-orang. Ia mengecek pintu pagar itu yang hanya dikaitkan dengan sebuah engsel. Ia semakin meragukan jika orang-orang ini benar-benar kaya karena memiliki keamanan yang luar biasa payah. Mika meninggalkan mobilnya di depan setelah mengambil tas kecilnya, juga tak lupa mengunci mobil. Ia berjalan masuk melewati pintu pagar besi setelah melepas engsel di kunciannya. Mika berjalan pelan ketika sudah menapaki jalan setapak. Ia memandang ke sekeliling dengan kebingungan. Terlalu sunyi dan aneh. Pagar tanaman yang berdiri di kanan kirinya bagaikan tembok yang memerangkapnya, membuatnya merasa seperti memasuki taman labirin. Sepanjang matanya memandang, ia hanya dapat melihat tembok tanaman yang terus mengiring jalannya. Sekitar kurang dari 5 menit berjalan, akhirnya ia lepas dari apitan tembok tanaman. Ia menginjakkan kaki di halaman luas berumput, tak jauh di hadapannya berdiri menjulang sebuah bangunan besar, sebuah rumah mewah bergaya Belanda campuran modern dengan mayoritas cat berwarna putih. Sesaat Mika hanya berdiri diam, terperangah memandang rumah itu. Tidak cukup jalan labirin, bangunan modern seperti istana campuran kolonial yang unik itu juga membuatnya terkaget-kaget Ia berjalan menuju rumah itu, kemudian menaiki undakan terasnya. Ia menjejakkan kaki pada lantai keramiknya yang bersih dan licin. Terasnya besar sekali, perabotan kursi meja terbuat dari rotan asli, ada guci dan pot-pot bunga, yang nilainya mungkin tidak akan Mika coba pertanyakan, ditata sedemikian rupa di teras yang luas itu. Gaya lawas dan modern pada rumah itu bercampur baur dengan gaya yang unik. Tak pernah sekali pun ia mengetahui jika rumah seperti ini ada di Indonesia. "Assalamualaikum?" sapa Mika. Ia mengetuk pintu rumah yang bergaya kolonial itu. Namun tidak ada sahutan. Ia pun memberi salam dengan suara agak lebih nyaring serta mengetuk daun pintu hingga bergetar. "Assalamualaikum!!" Bukannya mendapatkan balasan, Mika malah mendengar suara dentingan benda berat yang terjatuh dengan keras. Mika yang terperanjat kaget membalikkan tubuh. Ia memandang ke sekitarnya dengan bingung. Kemunculan suara itu masih tidak menunjukkan adanya keberadaan penghuni rumah. Ia segera meninggalkan teras, melangkah menuju ke samping bangunan rumah, mengira-ngira sumber suara itu. Berikutnya ia kembali dibuat terkaget-kaget. Di samping rumah terdapat sebuah hamparan taman bunga. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terhampar petak deretan bunga matahari yang berdiri tegak dengan bunga mekar menghadap ke langit. Mika belum pernah pergi ke taman bunga sama sekali semasa hidupnya. Baru kali ini ia melihat secara nyata taman bunga matahari terhampar luas secara nyata di depannya. Mika memandang terkagum-kagum, ia pun memiliki keinginan untuk mendekati taman itu. Kakinya melangkah meninggalkan halaman rumah yang masih tidak menunjukkan sang penghuni rumah. Ia berjalan menuju ke taman bunga matahari. Karena pandangan matanya lurus ke arah taman, ia tidak melihat apa pun yang ada di bawahnya hingga... BRUK! Mika menjerit kaget dan tahu-tahu ia sudah berada di dalam lubang yang cukup dalam. Ia telah terperosok ke dalam lubang ini tanpa ia sadari. Ia menengadah ke atas, masih syok dan bingung. Lubangnya bisa dibilang cukup rendah, mungkin jika ia berdiri hanya setinggi perutnya saja. Ia bisa saja keluar dari lubang ini. Konyol sekali, Mika. Kenapa kau bisa sampai masuk ke dalam lubang?! Ia merutuki dirinya sendiri. Ketika ia bergerak berdiri, ia menjerit sendiri. Astaga, kaki kanannya keseleo. Rasanya benar-benar menyakitkan. Apa yang harus ia lakukan sekarang? "Ya Tuhan..." Mika terkejut ketika sebuah bayangan gelap muncul dari atas. Ia menyipitkan mata karena sinar matahari bersinar terang di balik sosok seorang pemuda yang berdiri di atas pinggir lubang. "Apa kamu baik-baik saja?" Tanya pemuda itu. Mika gelagapan. Apa yang harus ia jawab? Sangat tidak lucu kan menemukan seorang tamu di dalam sebuah lubang? "Tunggu sebentar," pemuda itu bergerak turun ke dalam lubang. Lalu pemuda itu berjongkok di depan Mika. Seketika Mika membeku dengan mulut terbuka, sungguh, seharusnya ia tidak menunjukkan wajah itu pada pemuda yang kini tepat berada di depannya. Pemuda itu luar biasa tampan! Mika seperti melihat Leonardo Dicaprio di usia 23 tahun ketika masih memerankan Jack di film Titanic. Atau bahkan seperti melihat Oppa-oppa idol korea yang selama ini menjadi pacar halunya. Hanya saja pemuda di hadapannya ini berkulit sawo matang, mata yang lebar dengan iris kecokelatan yang terang, alis mata tebal, dan rahang yang tegas. "Bisa berdiri?" Mika mengerjapkan mata, berusaha menarik kesadarannya kembali ke dunia nyata. "Eum..." ia mendadak menjadi gagap. "Ayo." Mika belum sempat memberitahukan kondisi kakinya yang keseleo, karena pemuda itu tiba-tiba menarik lengannya untuk berdiri. "Aduh," Mika meringis kecil, dan menarik dirinya untuk duduk kembali. "Oh, maaf," ujar pemuda itu, agak kebingungan, memandangnya dengan sorot bertanya-tanya. "Kakiku keseleo," akhirnya Mika terpaksa berkata dan wajahnya memanas karena merasa malu dan syok. Syok karena ia terperosok ke dalam lubang, juga syok karena seorang pemuda tampan berada di depannya. "Oh, ya ampun." kata pemuda itu. "Sama sekali nggak bisa berdiri?" Mika mencoba untuk berdiri, dan pemuda itu segera membantunya dengan memegangi lengannya. Jantung Mika langsung berdebar kencang ketika tangan pemuda itu menyentuh kulitnya. Mika kembali terduduk, menyadari usahanya sia-sia saja. Nampaknya posisi ketika ia terjatuh benar-benar tidak bagus hingga membuat kakinya keseleo sangat parah. Atau mungkinkah patah?! Ah, tidak. Tidak mungkin. "Sini," kata pemuda itu yang bergerak mendekati Mika. Mika merasa merinding karena suara pemuda itu yang sedikit berat sangat dekat terdengar di telinganya. Dan ia tidak tahu bagaimana hal itu dapat terjadi, karena si pemuda sudah menyelipkan satu tangan di bawah kedua lutut kakinya dan satu tangan lainnya di punggungnya. Pemuda itu segera mengangkat tubuh Mika naik ke atas. Benar, mengangkat tubuhnya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD