Bab 1

1483 Words
Tubuh yang berjalan sambil membawa payung itu membuatnya terpaku. Tanpa sadar gadis itu berlari dan menahan langkah lelaki itu dengan memegang tangannya. Tangan itu bergetar dengan hebatnya saat memegang tangan lelaki di depannya yang merupakan suaminya.   “Aku percaya sama Mas.”     Pria itu menahan napasnya, dadanya terasa sesaak saat mendengar suara lirih itu. Dia perlahan melepaskan tangan yang memegangi tangannya itu. Diapun berbalik sehingga dia akhirnya bisa melihat wajah istrinya yang menangis. Tanpa membuang waktu dia memeluk istrinya itu dengan erat.   “Terima kasih, Najma, terima kasih sudah mempercayaiku.”   Mereka saling memeluk satu sama lain, menyalurkan semua emosi yang mereka tahan sedari tadi.   “Ya, Cut!” teriakan itu mengintrupsi semua hal yang sedang berlangsung di depan sana.   “Istirahat 30 menit sebelum ke scene selanjutnya,” teriak sang sutradara dengan nyaringnya yang dijawab ‘iya’ oleh semua orang yang ada di sana.   Dua orang yang berpelukan dibawah hujan itupun saling melepas. Hujan buatan itupun berhenti dan seorang gadis berlari ke tengah set tempat syuting sambil membawa handuk. Dia segera menghanduki pemeran wanita yang sedari awal kebasahan.   “Melodi.”   Melodi menoleh ke arah lawan mainnya Gibran, lelaki yang tadi berpelukan dengannya yang menjadi suaminya di sinetron ini.   “Iya Kak, kenapa?” tanya Melodi. Dia sudah mengulang adegan ini selama beberapa saat padahal adegan ini terlihat sangat gampang tapi si sutradara meminta terus menngulang-ngulangnya dan jadilah Melodi harus menerima dinginnya air di hari yang berangin dan mendung ini.   “Maaf ya untuk adegan tadi terus ke ulang-ulang.”   “Santai aja kali Kak, itu juga salah aku juga.”     “Ya udah Mel, sana ganti baju nanti malah sakit.”   “Iya Kak, ini juga mau ganti baju. Duluan ya Kak.” Melodi melirik ke arah Asistennya Tiara dan meminta Tiara itu untuk mengikutinya.   “Dia keliatannya suka sama Mbak Melo deh.”   Melodi menatap Tiara dengan pandangan horornya. Bisa-bisanya Tiara mengatakan hal itu, bagaimana jika orang yang dibicarakan mendengarnya apalagi jarak mereka tidak jauh. Melodi menoleh ke belakang dan mendapati Gibran yang masih berbicara dengan seorang kru, saat itu juga Melodi menghembuskan napas lega.   “Kamu udah empat kali bilang gini,” ucap Melodi yang saat itu langsung memutar bola matanya bosan. Bagaimana tidak, Melodi ingat betul dengan 3 judul film yang pernah dimaininnya dan Tiara mengatakan hal serupa hanya karena lawan mainnya perhatian padanya. Padahal hal semacam itu sudah sangat biasa karena mereka menghabiskan waktu yang lama di lokasi syuting.   “Tapi tadi beda banget loh tatapannya.” Tiara kembali menjelaskan tentang apa yang dia perhatikan sedari tadi.   “Ngomong gitu sekali lagi, gajimu kupotong.”   Melodi masuk ke dalam ruang gantinya yang diikuti oleh Tiara membuat Melodi sontak menatap Tiara malas. “Enggak mungkinkan aku telanjang di depan kamu Ra?” tanya Melodi.   “Baik Mbak Melo!”   “Buatin aku teh hangat,” perintah Melodi sebelum Tiara pergi. Sepeninggalan Tiara, Melodi menghela napas kemudian dia segera mengganti pakaiannya dengan yang lebih hangat. Dari dalam ruang gantinya, Melodi bisa mendengar suara hujan tiba-tiba jatuh dengan derasnya. Sepertinya syuting akan ditunda? Tapi mungkin saja tidak karena suasananya sangat pas dengan adegan-adegan yang akan mereka lakukan selanjutnya.   Setelah mengganti pakaiannya Melodi menyuruh Tiara masuk dan saat Tiara masuk ke dalam ruang gantinya, Tiara langsung melakukan pekerjaannya yaitu mengeringkan rambutnya yang basah. Sambil rambutnya dikeringkan, Melodi menikmati teh hangatnya yang terasa nikmat di hari yang dingin seperti ini.   “Sayang banget rambut panjang Mbak Melo dipotong sebahu.”   “Nanti juga panjang lagi,” jawab Melodi tanpa ragu. Dia tak masalah jika rambutnya dipotong seperti ini, selama apa yang dilakukannya bisa membuatnya menjiwai karakter yang diperankan.   “Mbak Melo nggak tertarik ni, ngambil sinetron yang kemarin ditawarin itu? Syuting sinetron inikan mau selesai.”   “Yang nawarin sintron kemarin bukan dari stasiun tv yang ini. Tahu sendirikan gimana sinetron Indonesia? Episodenya panjang, makin tinggi rating makin panjang, terus alur ceritanya makin enggak jelas. Ini aku ngambil sinetron ini ya karena episodenya cuman 30 episode, suatu kemajuan dipersinetronan Indonesia yang udah mulai enggak jelas.”   Tiara yang mendengarnya takjub, padahal bayaran yang ditawarkan cukup banyak dan Melodi menolaknya begitu saja. Melodi yang tidak lama terjun ke dalam seni peran bisa dibilang cukup beruntung karena setelah tiga kali menjadi pemeran pembantu di film layar lebar Melodi langsung mendapatkan tawaran sebagai pemeran utama di sinetron salah satu stasiun tv yang mencoba mengubah persinetronan di Indonesia. Sinetron yang dibintangi Melodi ini bahkan tengah hebohnya di masyarakat sana, rating sinetronnya bahkan mengalah sinetron-sinetron yang awalnya menjadi kesayangan pemirsa.   “Jalan pikirnya Korea banget,” kata Tiara yang membuat Melodi tertawa terbahak saat itu juga.   “Idih, apa hubungannya sama Korea deh, Ra, jangan ngaco kamu.”   “Iyakan Ayah Mbak Melo orang Korea, jadi pemikirannya jauh lebih maju gitu.”   “Lama-lama kamu jadi pelawak aja deh sana,” saran Melodi karena semakin lama Tiara sukses membuatnya tertawa dengan celetukan-celetukan anehnya. Melodi tak percaya bahwa Tiara dibawa oleh manajernya Putri yang merupakan orang yang seakann tidak mungkin bergaul dengan orang yang seperti Tiara.   “Nggak laku aku Mbak, kalau sama Mbak Melo kan nanti aku bisa diajak pulang kampung ke Korea.”   Lagi dan lagi Melodi tertawa mendengarnya. “Aku belum sekaya itu ngajak kamu jalan-jalan ke Korea.”   “Amin-in aja Mbak, Tiara yakin Mbak Melo bakalan sukses setelah ini.”   “Iya, Ra, amin.”   Saat melihat ke arah cermin Melodi bisa melihat ada seseorang yang berdiri di ambang pintu. Mata mereka saling bertatapan yang akhirnya membuat Melodi mau tidak mau menoleh ke arah pintu.   “Udah mau take lagi?” tanya Melodi,   “Yang lain udah nunggu buat makan bareng jadi kalau udah selesai mending langsung ke ruang makan.” Setelah mengatakan itu Alice pergi begitu saja.   “Sombong,” celetuk Melodi setelah Alice, gadis yang tadi ada di ambang pintu pergi. Jelas sekali terlihat bagaimana tatapan permusuhan yang diperlihatkan oleh Alice padanya, padahal Alice tidak pernah melakukan itu sebelumnya.   “Keliatan jelas kali kalau dia itu sirik karena kalah populer sama Mbak Melo.”   “Emang ada buktinya?” tanya Melodi.   “Yang aku denger-denger katanya Alice itu kesel karena peran utamanya diambil ama Mbak. Terus setelah aku bandingin followers Mbak Melo sama Alice, eh… banyak followers Mbak Melo dong. Terus ya, denger-denger dia sama asistennya bicarain Mbak Melo yang dikatain milih-milih job,” jelas Tiara karena dia sangat akrab dengan asisten yang lainnya dan tak jarang bergosip bersama.   “Pantes aja sikapnya semakin hari semakin buruk,” simpul Melodi setelah melihat sikap Alice tadi.   Tiara menghentikan kegiatannya menata rambut Melodi kemudian berucap, “Udah ni Mbak Melo.”   “Yuk ke tempat makan,” ajak Melodi pada Tiara.   “Aku mau bersihin ini dulu baru bisa nyusul.”   “Iya udah deh.” Sebelum pergi Melodi tak lupa menyapukan lipstick tipis di bibirnya dan dia tersenyum kecil melihat pantulan dirinya di cermin yang terlihat sempurna walau hanya menggunakan lipstick saja.   Setelah itu Melodi segera keluar dari ruang ganti karena dia yang sudah terlalu lapar. Di jalan Melodi bertemu dengan Gibran yang membuatnya harus berjalan beriringan dengan Gibran. Suasana mendadak terasa aneh saat Gibran mulai membuka suaranya.   “Sepertinya untuk scene selanjutnya bakalan ditunda deh, ujan di luar deres banget.”   “Oh… uhm, bagus dong.” Melodi tersenyum canggung ke arah Gibran. Perasaan canggung yang melingkupi Melodi tak lain tak bukan karena ucapan Tiara. Jika di film-filmnya yang lain   Sialan Tiara, omonganmu bikin kepikiran. Melodi menahan dirinya untuk tidak memperlihatkan emosinya, padahal tadi dia menganggap ucapan Tiara hanya angin lalu tapi saat dia bertemu dengan Gibran, mendadak Melodi merasa segan.   “Yang ditunggu-tunggu dateng juga,” celetukan Alice langsung menyambut Melodi ketika dia baru saja masuk bersama Gibran.   “Maaf ya bikin nunggu lama.” Melodi sedikit menundukkan badannya.   “Nggak masalah Melodi, ayo sini makan,” ucap sang Sutradara.   Melodi kebagian duduk di dekat Alice, gadis itu lagi-lagi memperlihatkan tatapan tak sukanya yang membuat Melodi hanya bisa mendumel dalam hatinya. Melodi sudah tahu bahwa dunia keartisan itu sangat berat, saling membenci itu hal yang biasa tapi tak pernah sekalipun Melodi berniat melakukan hal itu jika tidak dipicu duluan seperti ini.   Sutradara dan kru-kru lainnya tampak senang dengan Melodi karena selama ini Melodi selalu bersikap sopan pada mereka. Melodi bukannya tengah berakting baik karena dia memang akan bersikap seperti itu pada orang-orang yang baik padanya. Pada orang yang berperilaku buruk padanya Melodi hanya bisa acuh tak acuh, jika sudah mengancam Melodi tidak akan segan membalasnya. Yang jelas Melodi tidak ingin mencari musuh jadi dia tidak akan memulai sebuah permusuhan jika tidak diusik duluan.   Acara makan itu berlangsung hingga hujan mulai mereda di siang hari itu. Melodi merasa perutnya sangat penuh karena tanpa sadar dia makan cukup banyak hari ini.   “Nggak takut gendut?”   Melodi menoleh dan di sampingnya Alice menunggu jawaban. Pertanyaan yang dilontarkana oleh Alice membuat Melodi tersenyum kecil. “Aku sering makan banyak tapi badan aku selalu segini-segini aja. Padahal aku pengen sedikit lebih berisi lagi.”   “Nggak ada orang yang seperti itu,” balas Alice.   “Mungkin juga karena aku olahraga rutin? Tapi yang jelas aku nggak pernah diet.” Melodi memberikan senyum terbaiknya yang di mana senyumannya ini malah membuat Alice kesal. Sengaja? Ya, Melodi memang sengaja mengatakan hal itu.   Suara dentingan gelas yang dipukul membuat semua orang mengalihkan pandangannya ke asal suara. Di sana Sutradara tampak akan mengatakan sesuatu yang penting.   “Setelah hari terakhir kita syuting aku mengundang kalian semua datang untuk menikmati perayaan atas kesuksesan sinetron kita dan juga tentunya akan ada bonus untuk kalian semua.”   “Di tempat yang mahal dong biar lebih semangat lagi,” celetuk salah satu pemain pembantu yang dijawab anggukan sang Sutradara.   “Tenang aja, nggak mungkin kita merayakannya di tempat biasa-biasa aja apalagi  sinetron kita ini selalu masuk ke jajaran rating teratas.”   “Jadi, ayo mulai kerja, kerja, kerja!” teriak sang Sutradara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD