3

1045 Words
             Zoe menginjak tanah kota kecil itu saat gelap baru saja datang. Dia benci berada di kota asing sendirian saat malam seperti ini. Zoe belum pernah pergi ke Sault sebelumnya, bahkan mendengar namanya saja sepertinya tidak pernah. Sault tidak setenar Avignon atau Alcase. Zoe yakin tidak banyak orang tahu di mana itu Sault atau mungkin bahkan pernah mendengarnya.           Sambil menarik kopernya, Zoe memperhatikan jalanan yang dilaluinya. Kota ini tampak indah dengan hamparan perkebunan lavender di sisi kanan dan kirinya. Rumah-rumah mungil dengan dinding batu tampak tidak jauh dari pandangan matanya. Zoe merasa seperti masuk ke abad ke delapan belas di mana tidak ada gedung-gedung tinggi di sepanjang jalan dan rumah-rumah yang tampak seperti dalam dongeng.           Zoe tidak tahu ke mana dia harus pergi. Kakaknya, Zac hanya berkata dia harus pergi ke suatu tempat bernama Bonher atau sesuatu yang terdengar seperti itu. Namun sejak tadi, dia tidak melihat satu buah hotel pun di sini. Zoe lapar dan lelah, juga ingin mandi. Tidak pernah dia merasa selengket ini seumur hidupnya. Bahkan tidak ketika dia selesai menari selama berjam-jam. Ditambah dengan koper berat sialan ini, dia pasti tampak benar-benar menyedihkan.           Jika bukan karena Zac adalah kakak laki-laki satu-satunya yang Zoe punya, dia tidak akan pernah mau berada di tempat terpencil ini. Tempat ini sangat bukan Zoe. Sepi, sunyi, dan sangat tidak modern. Zoe lebih suka berada di tengah hiruk pikuk kota New York daripada harus terjebak di sini selama lebih dari satu minggu. Sampai saat ini, Zoe tidak mengerti mengapa kakaknya yang sangat New York itu mau dan bersedia menikah dengan wanita dari kota kecil ini. Luas kota ini bahkan tidak ada separuhnya dari New York!!           Zoe mengecek ponselnya dan kembali menggerutu. Tidak akan ada keajaiban yang membuat ponselnya yang kehabisan baterai bisa menyala dalam sekejap. Dia benar-benar akan tersesat di kota kecil ini. Atau mungkin saja dia akan ditemukan tewas di tengah perkebunan lavender karena di makan serigala. Oke, itu berlebihan. Tidak akan ada serigala di sini, Zoe yakin itu.           Kakinya berhenti melangkah saat ia melihat sebuah jembatan di atas sungai kecil. Lampu kota yang menyala redup memantulkan bayangannya di atas sungai yang tenang itu. Seketika, sebuah ide cerita mengalir di kepalanya. Ya, selain berprofesi sebagai seorang penari, Zoe juga seorang penulis novel. Walaupun tidak termasuk penulis besar, tetapi novel-novelnya cukup digemari di New York.           Biasanya, Zoe suka berjalan-jalan di Central Park setiap sore selepas dia mengajar menari. Dedaunan yang berguguran, gemerisik angin yang bergesekan dengan daun maple, selalu membuat idenya mengalir dengan lancar. Namun sayang seribu sayang, Zac melarangnya membawa laptop. Dan jika ponsel sialannya tidak kehabisan baterai, dia akan bisa menuliskan beberapa ratus kata yang kini berlarian di kepalanya. Zoe yakin jika menuliskannya di lain hari, hasilnya akan sangat jauh berbeda.           Pada akhirnya, Zoe hanya diam memandangi air yang tenang itu dengan kata-kata yang berkeliaran di kepalanya. Dia yakin akan bisa 'menulis' satu chapter jika tidak ada interupsi itu. Oke, sebenarnya itu bukan interupsi karena pria itu sama sekali tidak menimbulkan suara apapun. Dia berdiri cukup jauh dari Zoe, tetapi Zoe masih bisa menangkap raut wajahnya yang terlihat ... sedih?           Zoe tertawa dalam hati. Pria malang ini pasti sedang patah hati. Apa pria ini berniat untuk bunuh diri? Lagi-lagi Zoe tertawa dalam hatinya. Sedalam apa pria ini mencintai kekasihnya ini hingga ingin mengakhiri hidupnya? Zac dan calon istrinya yang hampir menikah saja, rasanya tidak memiliki cinta sebesar itu.           Oke, mereka memang saling mencintai dan Zoe tahu cinta itu masih menyala-nyala hingga saat ini. Namun, entahlah. Ada sesuatu pada Lena yang membuatnya tidak yakin jika calon kakak iparnya itu sangat mencintai Zac. Satu hal yang paling penting baginya adalah kebahagiaan Zac. Dan jika sampai Lena menyakiti Zac satu saat nanti, dia tak akan segan untuk membuat perhitungan dengan perempuan itu.           Mata Zoe kembali melirik pria yang masih berdiri tak jauh darinya itu. Pria itu cukup tinggi dan sangat besar. Zoe sudah cukup tinggi, tetapi jelas tidak cukup besar untuk dibandingkan dengannya.           "Kau akan bunuh diri?" Zoe menyesal setelah mengucapkan pertanyaan itu. Inilah kejelekannya. Kadang-kadang dia tidak tahan untuk menyuarakan pikirannya.           Pria itu menoleh dan menatapnya tajam. Tampan. Itu satu kata yang sangat cocok untuk pria ini. Rasa-rasanya, Zoe pernah melihat wajah pria ini. Tapi di mana?            Wajahnya terlihat tegas dengan rahang kokoh dan kulit kecoklatan khas pria Hispanik. Dilihat dari wajahnya, sepertinya pria ini bukan orang Perancis. Ada sesuatu yang tidak asing, seperti Zoe pernah melihatnya sebelum ini. Namun jelas, ingatannya buruk jika berhadapan dengan orang.            "Bukan urusanmu!" Bentak pria itu dengan ketus. Wajah tampannya memerah, entah marah atau malu.           Zoe kembali menelan tawanya dan mengangkat bahu. Dia meraih koper, lalu berjalan mendekati pria raksasa itu. Tubuhnya harum dan beraroma seperti hutan pinus yang segar. Siapapun gadis yang menjadi kekasihnya, pasti akan menjadi gadis beruntung karena bisa mencium harum tubuh ini setiap saat.           "Jika kau benar seorang pria, kau tidak akan bunuh diri hanya karena patah hati." Zoe menepuk bahu bidang pria itu dan melangkah pergi.           "Dasar gadis sok tahu!" Teriaknya dengan kesal.           Zoe terkekeh pelan sebelum berbalik. "Kelihatan dari wajahmu."           Beberapa orang tidak susah ditebak. Dan meskipun pria itu kelihatan begitu tenang, Zoe tahu dia menyimpan kepahitan di sana. Dia tahu karena dia sendiri pernah seperti itu. Zoe menggelengkan kepalanya dan memilih untuk melihat-lihat jalanan berbatu yang mulai tampak ramai. Sedang liburan musim panas saat ini, jadi kota terlihat penuh orang. Sejak tadi matanya terus mencari sesuatu atau hotel atau rumah atau apalah itu yang bernama Bonher atau sesuatu yang seperti itu.           Kakinya terus melangkah hingga jalanan berbatu itu berganti dengan jalan aspal biasa. Dia pasti akan tersesat jika tidak bertanya. Namun sayangnya, Zoe tidak bisa berbahasa Perancis. Kosakata yang dia kuasai benar-benar minim. Bahasa Perancis selalu membuat kepalanya berasap. Tadi, dia mempunyai bekal buku saku bahasa Perancis, tetapi dia meninggalkan buku itu di restoran tempatnya makan siang. Ceroboh adalah nama tengahnya.           Matanya menangkap sederet nama bertulis Pays des merveilles. Entah apa artinya itu, tetapi tempat itu tampak seperti kafe atau toko makanan. Dari jendela, dia bisa melihat kursi-kursi yang sudah diangkat pertanda toko itu sudah tutup. Akan tetapi Zoe butuh makan dan dia tidak ingin pergi ke tempat lain.           Zoe berlari saat melihat satu persatu lampu di toko kecil itu mulai padam. Dia membuka pintu dengan tergesa-gesa dan menemukan satu wajah itu lagi. Pria tampan yang dia temui di sungai tadi!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD