2

1087 Words
 Pertanyaan itu membuat Byron mengerutkan alisnya. Dia menoleh pada gadis yang juga tengah menatapnya itu. Di bawah temaram lampu, Byron bisa melihat mata gadis itu berwarna coklat terang hampir seperti emas. Sangat serasi dengan rambutnya yang hampir pirang. Byron tidak terlalu suka gadis berambut pirang. Mereka biasanya bodoh.           "Bukan urusanmu!" Byron menjawab dengan ketus. Satu lagi, dia benci gadis yang mengajak bicara seorang pria asing terlebih dahulu. Satu pertanyaan basa basi biasanya akan menjadi awal dari sebuah godaan yang akan membuat mereka berakhir di ranjang. Dia sudah hapal tentang hal-hal seperti itu.           Gadis itu mengangkat bahu dan menarik kopernya. Dia melangkah mendekati Byron dan berhenti tepat di depannya. Kepala gadis itu sejajar dengan dagu Byron. Gadis yang cukup tinggi mengingat tinggi Byron lebih dari seratus delapan puluh sentimeter.           "Jika kau benar seorang pria, kau tidak akan bunuh diri hanya karena patah hati." Gadis itu menepuk bahunya dengan pelan dan melangkah pergi.           Apa? Atas dasar apa gadis sok tahu itu menuduhnya akan bunuh diri?           "Dasar gadis sok tahu!" Byron berteriak hingga di rasa gadis itu bisa mendengarnya.           Gadis itu menoleh dan menyeringai. "Kelihatan dari wajahmu!" Tangannya memutari mukanya sendiri. “Kau patah hati berat.”           Byron mencibir mendengar analisa sok tahu si pirang itu. Wajahnya tidak mungkin terlihat seperti itu. Dia aktor yang hebat bukan? Tidak akan ada orang yang tahu bagaimana perasaan Byron yang sebenarnya.           Yah, mungkin memang gadis itu tidak sepenuhnya salah. Byron memang pernah berniat bunuh diri, tetapi itu dulu. Saat Lena baru saja memutuskan jalinan cinta mereka. Saat ini, Byron sama sekali tidak ingin melakukan hal itu, meskipun Lena akan menikah.           Byron memejamkan matanya dan menghirup napas dalam-dalam. Memikirkan pernikahan Lena dan kenyataan dia akan mengambil bagian dalam pesta pernikahan itu, membuat jantung Byron berdenyut-denyut perih. Sial, kenapa sulit sekali melupakan Lena seperti gadis itu telah melupakannya?           Selama ini orang selalu beranggapan jika para pria selalu lebih cepat untuk move on, padahal yang terjadi tidaklah seperti itu. Bagi kaum pria, kehilangan itu justru akan semakin terasa setelah sekian lama. Para wanita selalu lebih bisa mengekspresikan dirinya sehingga mereka akan lebih mudah untuk menangis atau bahkan mengurung diri berhari-hari setelah patah hati. Berbeda dengan para pria yang justru merasa seolah mereka baik-baik saja setelah hubungan itu berakhir. Namun, lubang itu semakin besar dan semakin membesar pada akhirnya.           Getaran di saku mantel, membuat Byron membuka matanya. Dia merogoh mantel tipisnya dan mengangkat telepon yang ternyata dari ibunya.           "Lord Byron, kau di mana??"           Byron terkekeh mendengar pertanyaan itu. Ana sangat menyukai penyair kenamaan Inggris, George Gordon Byron, karena itulah sang ibu menamainya Byron dan bahkan selalu memanggilnya dengan nama kondang sang penyair, Lord Byron. Nama itu pula yang sekarang dikenal para penggemarnya.           "Ada apa, Mom? Aku hanya berjalan-jalan sebentar."           Memiliki ibu orang Brazil dan ayah orang Perancis, membuat mereka lebih sering berbicara dalam bahasa Inggris. Sang ayah tidak terlalu pandai berbahasa Portugis, dan meskipun Byron juga ibunya menguasai bahasa Perancis, tetapi mereka tetap lebih sering berbahasa Inggris karena Byron juga sudah terlalu lama tinggal di New York.           "Ini sudah hampir larut. Pulanglah."           Byron hampir memutar bola matanya. Ana selalu menganggapnya anak kecil jika dirinya sedang di rumah. "Mom, ini bahkan belum pukul sembilan!"           Astaga! Dia sudah dua puluh sembilan tahun. Dia sudah cukup dewasa dan mampu untuk melindungi dirinya sendiri. Apalagi hanya di kota kecil seperti ini. Byron bahkan yakin tingkat kejahatan di kota ini tidak ada sepertiganya dari New York.           "Ini bukan New York, Kiddo. Pulang sekarang!"           Kali ini dia benar-benar memutar bola matanya. Di saat seperti ini, dia sangat ingin memiliki seorang saudara hingga ibunya memiliki anak lain untuk dikhawatirkan. Menjadi anak tunggal itu tidak enak!           "Ya, Mom, aku pulang sekarang."           "Ke toko dulu ya, bantu ayahmu membereskan toko."           Orangtuanya memiliki sebuah toko roti kecil. Roti-roti itu dibuat sendiri oleh ayah dan ibunya. Mereka tidak memiliki karyawan. Hanya berdua saja sejak awal membuka toko hingga saat ini. Frank tidak pernah mau menuruti saran Byron untuk memperbesar toko dan mempekerjakan karyawan. Bahkan, kedua orang tua itu juga tidak pernah mau menerima uang pemberian Byron. Mereka bilang sudah cukup hidup dengan hasil dari toko roti mereka.           Byron sangat mengagumi kesederhanaan orangtuanya. Sampai saat ini, ayahnya tidak memiliki mobil. Padahal Byron yakin sang ayah mampu membelinya. Mereka lebih suka berjalan kaki dari rumah ke toko. Jika terpaksa harus bepergian jauh, mereka akan naik bus dan berganti taksi saat sudah sampai di kota. Toko itu warisan turun temurun dari kakeknya. Dari toko itu pulalah, mereka mampu menguliahkan Byron di Columbia.           Frank selalu berpesan untuk selalu hidup sederhana meskipun dia adalah bintang besar dengan bayaran jutaan dollar dalam satu kali syuting film. Dan Byron selalu mengingat itu. Frank adalah idolanya. Byron tidak pernah ingin membuat orangtuanya kecewa karena dia adalah harapan mereka satu-satunya. Dia akan selalu menuruti perintah orangtuanya selama itu dia rasa masuk akal. Seperti saat ini.           Toko sudah sepi saat Byron sampai. Ana sedang membersihkan meja, sementara Frank membungkus beberapa roti yang tidak terjual hari itu. Dalam perjalanan pulang, mereka akan membagikan roti-roti itu kepada para tetangga. Itulah yang membuat Frank disukai banyak orang di Sault. Frank adalah pria paling murah hati yang pernah Byron kenal.           "Dari mana saja kau, Nak?" Tanya Ana saat Byron mulai mengangkat kursi dan membalikkannya di atas meja.           "Seperti kau tidak tahu saja, Ana. Dia pasti pergi ke sungai." Frank bersuara sebelum Byron membuka mulutnya.           Byron memilih untuk tidak menjawab dan membereskan kursi-kursinya. Setelahnya, dia mengambil sapu dan mulai menyapu. Toko roti ini tidak besar, tidak butuh waktu lama untuk membereskannya.           "Apa Lena sudah menghubungimu?"  Ana bertanya lagi.           Byron menggeleng. Terakhir Lena menemuinya, itu dua minggu yang lalu. Gadis itu memintanya untuk mencoba tuxedo, tetapi karena terlalu kecil, Lena membawanya lagi.           "Tadi dia kemari. Dia bilang besok kau diminta ke rumahnya."           "Untuk apa? Kenapa dia tidak menelepon saja?"           Ana mengangkat bahu. "Dia hanya berpesan seperti itu, Nak."           Tentu saja ayah dan ibunya tahu tentang hubungan mereka. Bahkan hampir semua orang di kota ini tahu tentang itu. Sault kota kecil, hampir semua warganya saling mengenal satu sama lain. Tidak ada yang bisa disembunyikan di sini.           "Kenapa kau mau saja menjadi best man-nya, Kiddo?"           Frank tidak pernah setuju tentang ini. Pria itu beranggapan jika Lena tidak berperasaan karena meminta Byron menjadi pendamping pengantin prianya. Bagi Frank akan lebih baik jika Lena hanya mengundangnya saja untuk hadir.           "Dad, kita sudah pernah membahas ini."           "Ya, terserah kau sajalah," sahut Frank sambil mulai membereskan bawaannya. "Ayo, kita pulang. Aku lelah."           Frank baru akan mematikan lampu saat pintu terbuka dengan tiba-tiba. Seorang gadis berdiri di belakang pintu yang terbuka itu. Byron melotot melihat penampakan itu. Si pirang sok tahu!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD