Bab 3 - Satu Minggu Lagi

1415 Words
Ting tong ting tong   Bel rumah yang cukup besar itu berbunyi menandakan ada seseorang yang berkunjung. “Raka!!! Buka pintunya, nak!” teriak seorang wanita paruh baya dari arah dapur. Raka berdecak kesal dan dengan langkah gontai, pria berumur dua puluh tahun itu berjalan menuju pintu depan untuk membukakan pintu bagi tamu yang berkunjung ke rumahnya di saat cuaca tengah panas terik seperti ini. “Siap..a?” ucapan Raka terbata seketika saat melihat sesosok gadis cantik yang berdiri di depannya itu. “Kak Dara?!” pekik Raka dengan kedua mata berbinar saat melihat Dara dan gadis itu hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar lalu merentangkan kedua tangannya, memberikan kode pada pria tampan di depannya itu untuk segera memeluk dirinya. Keduanya berpelukan dengan erat sambil tersenyum bahagia, menyalurkan kerinduan yang ada di hati mereka masing-masing. “Raka kangen sama kakak!” seru Raka sambil sesekali mencium puncak kepala gadis yang ia sapa dengan sebutan Kak Dara itu. Tubuh gadis itu lebih pendek dari Raka karena pertumbuhan Raka sebagai lelaki normal yang begitu cepat bertambah tinggi dan mulai menampakkan otot-otot di tubuhnya membuat gadis yang lebih tua tiga tahun darinya itu tampak mungil dalam dekapannya. “Ka! Sesak! Badan kamu udah besar banget gini ih!” ucap Dara susah payah sambil menepuk punggung adik sepupunya itu. Dengan sangat terpaksa Raka melepaskan pelukannya pada gadis bertubuh mungil itu sambil terkekeh pelan lalu mengacak-acak rambut sang kakak dengan gemasnya. “Kamu ya Ka, mentang-mentang sekarang lebih tinggi jadi seenaknya sama kakak!” seru Dara sambil balas mengacak-acak rambut adik sepupunya yang tampan itu walau harus berjinjit. “Kaaa! Siapa yang data… DARA!!!” pekik wanita paruh baya yang tadi meminta Raka untuk membuka pintu. Wanita itu berlari menghampiri Dara lalu memeluk gadis itu erat bahkan air matanya ikut keluar karena rasa senang dan rindu yang kini dapat berhenti saat itu juga dengan melihat gadis cantik yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri itu. “Akhirnya kamu datang juga” ucap Arka pada keponakannya yang cantik itu. “Sayang, dua tahun gak ketemu kamu semakin cantik aja!” ucap wanita paruh baya tadi yang ternyata istri Arka bernama Saras. Dara hanya tersenyum sambil menatap wajah-wajah yang selalu ia rindukan itu satu per satu. “Yuk masuk dulu! Raka, kamu bawakan koper kakakmu ke kamarnya!” perintah Arka dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. “Siap DAD!!!” jawab Raka dengan berteriak membua Arka menatap tajam ke arah putranya yang tampan itu. “Minum dulu sayang” ucap Saras yang menyodorkan sirup kesukaan Dara. Wanita paruh baya itu kemudian bergabung di sofa dan duduk di samping gadis cantik yang sudah ia dan suaminya rawat sejak berumur tiga tahun itu. “Bagaimana Dara? Semua urusan di sana sudah beres kan? Jika masih ada yang harus diurus, paman akan minta bantuan keluarga kita yang ada di sana untuk membantumu” tanya Arka sambil meminum kopinya sedikit. Dara mengangguk sambil menampilkan senyumannya yang begitu menawan. “Semuanya sudah Dara urus, paman” jawab Dara. “Syukurlah kalau begitu. Paman benar-benar minta maaf karena memintamu untuk berhenti bekerja di sana secara tiba-tiba seperti ini, hanya saja paman ingin membangun perusahaan sendiri dan ini sudah lama paman impikan. Kebetulan atasan paman di tempat kerja yang sekarang juga ingin pensiun dini jadi ini benar-benar waktu yang tepat untuk paman berhenti dan atasan paman yang sekaligus sahabat paman itu juga mengerti dengan keputusan paman.” “Lalu, apa tidak masalah jika Dara kerja di situ? Dara memang sudah pengalaman kerja dua tahun sebelumnya tapikan paman tau sendiri bagaimana perusahaan tempat Dara bekerja sebelumnya ini, perusahaan itu bukan perusahaan besar dan ternama seperti perusahaan tempat paman bekerja itu,” tanya Dara ragu. “Tidak masalah, Dara. Paman sudah menceritakan dan menjelaskan semuanya pada sahabat paman itu dan dia juga percaya pada apa yang paman sampaikan padanya tentang kamu. Jadi intinya sekarang, buktikan pada kami kalau kamu memang bisa dan layak untuk bekerja di sana. Lagi pula, paman tau kemampuan kamu bekerja itu bagaimana. Itulah sebabnya paman percaya padamu, nak!” jelas Arka panjang lebar dan menatap Dara lembut seolah benar-benar berharap pada Dara. “Paman bukan hanya sekedar ingin kamu menggantikan paman di sana, yang paman inginkan juga adalah karir kamu yang harus lebih sukses. Memang sebelumnya tidak masalah kamu bekerja di Indonesia, menemani kakek dan nenek tapi sekarang kamu harus fokus pada karirmu, jangan sia-siakan kemampuan kamu yang sebenarnya sangatlah berkompeten untuk menjadi seseorang yang lebih sukses,” lanjut Arka lagi yang disambut dengan anggukan sang istri. “Baiklah paman. Dara mengerti. Terima kasih untuk kepercayaan paman pada Dara, tapi… hm… apa Dara boleh minta sesuatu pada paman dan bibi?” tanya gadis cantik berusia 23 tahun itu dengan ragu dan kepala menunduk. Arta dan Saras saling menatap keheranan, sedangkan Raka yang dari tadi menyimak pun ikut penasaran dengan apa kira-kira yang akan kakak sepupunya ini minta. “Apa itu sayang?” tanya Saras lembut sambil menggenggam tangan Dara, membuat gadis itu mendongakkan kepalanya menatap wajah cantik sang bibi yang tak luntur termakan usia. “Hmm… Dara ingin tinggal sendiri, di apartemen. Bolehkah?” tanya gadis itu pelan dan ragu, kepalanya kembali menunduk. Arka ingin berucap namun sang istri menatapnya seolah memberikan kode agar tidak dulu berbicara. Saras menarik nafas sejenak agar bisa lebih tenang karena sejujurnya ia tak mau keponakan yang sudah seperti anaknya ini mengambil keputusan seperti itu. “Ada apa sayang? Kenapa kamu tidak tinggal di sini saja? Apa kamu tidak betah, hm?” tanya Saras lembut sambil terus menggenggam tangan Dara yang terlihat gugup. Dara menggelengkan kepalanya cepat lalu menatap wajah bibinya. “Bukan begitu bi, Dara cuma tidak mau merepotkan paman dan bibi terus” jawab Dara pelan. “Kami tidak merasa direpotkan, Dara. Kami justru senang kamu di sini. Kamu tau sendiri kalau kami begitu sayang sama kamu, Raka juga sayang sama kamu. Iya kan Raka?” tanya Arka pada putranya yang hanya terdiam dengan tatapan yang ingin sendu akibat Dara yang mengatakan ingin tinggal sendiri di apartemen. “Iya kak. Raka sayang sama kakak. Kakak jangan pergi lagi dong, cukup dua tahun ini aja kakak pergi dari sini gara-gara mau kerja di Indonesia. Raka masih kangen sama kakak, Raka gak akan nakal lagi deh, gak akan usilin kakak lagi,” ucap pria bertubuh kekar itu dengan nada manja membuat kedua orangtuanya saling bertatapan karena malu dengan putra mereka yang merengek seperti anak kecil itu, sedangkan Dara terkekeh pelan lalu kembali serius. “Dara bukannya tidak mau tinggal di sini lagi, paman, bibi. Tapi… Dara cuma mau mandiri. Dara mau belajar untuk menghidupi diri sendiri, itu saja. Semoga paman dan bibi mengerti dan Dara janji, walaupun Dara tinggal di apartemen, sebisa mungkin Dara akan sering ke sini untuk berkunjung,” ucap gadis itu bersungguh-sungguh. Arka tampak sedang memikirkan perkataan anak dari saudaranya yang telah tiada bersama dengan istrinya, meninggalkan Dara kecil berusia 3 tahun seorang diri hingga Arka dan Saras memutuskan untuk merawat dan membesarkan Dara. Kini Dara kecil yang mereka peluk dulu sudah berubah menjadi gadis dewasa yang cantik jelita dan belajar untuk menjadi gadis yang mandiri. Arka menghela nafas berat. “Dara, kamu tau sendiri kalau paman kesusahan melepaskan kamu untuk jauh dari kami, tapi kalau itu yang kamu mau dan ini demi kebalikan kamu, paman dan bibi akan mendukungmu asal jangan lupa untuk sering berkunjung ke sini dan kamipun akan tetap mengawasi perkembanganmu,”ucap Arka dengan mata yang berkaca-kaca sedangkan istrinya sudah mengeluarkan air mata karena mendengar perkataan suaminya yang mengizinkan Dara untuk tinggal sendiri di Singapura ini. walaupun mereka berada di negara dan kota yang sama, tapi tetap saja rasanya sedih dan sulit untuk melepaskan Dara. Dara juga tak kuasa menahan air matanya. Ia bangkit berdiri dan menuju ke arah dimana Arka sedang duduk lalu berlutut di kaki pamannya itu, menyandarkan kepalanya di lutut sang paman sambil mengeluarkan air mata. “Terima kasih paman. Paman memang yang terbaik. Dara sayang sama paman” ucap gadis itu di sela tangisnya. “Bangunlah, nak. Paman juga sayang sama kamu” ucap Arka yang kemudian memeluk Dara dengan penuh kasih sayang. Saras menghampiri mereka dan bergantian untuk memeluk Dara dengan air mata yang membasahi pipinya. “Kami selaku orangtua akan selalu mendukung kamu, sayang,” ucap Saras tulus. “Terima kasih, bi” ucap Dara yang juga menangis haru. Raka juga diam-diam meneteskan air matanya karena terharu. Ia ingin menahan kakaknya itu tapi benar yang dikatakan oleh ayahnya tadi yang mendukung Dara untuk mandiri. “Baiklah. Kamu istirahat dulu, nanti kami akan bantu kamu untuk cari apartemen yang akan kamu tinggal,” ucap Arka lembut. Dara mengangguk senang karena pamannya begitu pengertian. “Baik paman. Sekali lagi terima kasih” ucap gadis itu senang. Setidaknya sekarang, keinginannya bisa terkabulkan untuk bisa hidup mandiri. Sesuatu yang sudah ada di dalam angan-angannya sejak dulu. Sekarang tugasnya, ia harus menemukan apartemen sederhana untuk ia tinggali sendiri dan ia harus mempersiapkan diri untuk bekerja di tempat baru, di perusahaan tempat pamannya bekerja selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Dara menarik nafasnya, menyemangati dirinya sendiri untuk lebih bersemangat memulai segala sesuatu hal baru yang sudah di depan mata. ‘Baiklah! Tinggal satu minggu lagi!’ ucapnya dalam hati. Tinggal satu minggu lagi ia akan mulai bekerja di perusahaan yang baru itu sebagai sekretaris.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD