2

1455 Words
Musim gugur masih berjalan beberapa waktu lalu. Namun udara dingin dan sejuk secara bersamaan saling menyapa dalam kurun waktu tak menentu. Seorang gadis dengan rambut cokelat sebahu dengan baju santainya sedang bercengkerama dengan lelaki yang duduk tak jauh di kursi balkon kamarnya. Menghadap langsung kearah danau buatan dibawah sana.   Dengan pandangan nanar tak ada dari keduanya untuk mengakhiri kesunyian yang sedang mereka ciptakan. Sebenarnya, keadaan ini tak berpengaruh apapun, hanya saja saling diam dalam waktu yang cukup lama sangatlah membosankan.   Dengan langkah berat, gadis yang tak lain adalah putri kedua di keluarga Anderson mengarahkan kedua kaki jenjangnya menuju ke dalam. Ranjang yang di butuhkannya. Lebih baik tidur daripada harus berdiam diri seperti kambing congek.   Melihat hal itu, lelaki yang duduk tak jauh dari situ hanya mengikuti ke mana arah pergi calon istrinya. Calon istri? Entah itu pantas atau tidak diucapkannya. Sedikit sumbang dan terdengar aneh.   Pikirannya kembali melayang pada kenangan bersama gadis yang dicintainya, Elle. Gadis yang sangat diharapkannya untuk menjadi istri juga Ibu bagi anak-anaknya dimasa depan. Gadis yang mampu membuat hatinya bergetar hanya dengan menatap bola mata biru cerahnya. Dan gadis yang tak di terima oleh keluarga besarnya hanya karena perbedaan status. Selalu seperti itu.   Lelaki itu, Xander, hanya mampu mengembuskan napasnya kasar juga berat. Sejak kapan bernapas juga terasa sesak. Tak lama berkutat dengan pikirannya sendiri, Xander memutuskan untuk menyusul gadis yang notabennya adalah calon istrinya.   "Boleh aku bertanya?" tanyanya sambil duduk membelakangi disudut ranjang king size nan mewah ini.   Merasa ada suara, Amora kembali duduk setelah tadi membaringkan badan mungilnya untuk memulai tidur siang.   "Hm" jawabnya singkat sambil mengerutkan dahi karena keheranan. Terlebih, Xander menatapnya dengan tajam membuatnya harus cepat mengalihkan pandangan kedepan. Kosong.   "Kenapa kau menerima perjodohan ini? Kau bahkan masih sangat muda dan aku yakin kau pasti ingin hidup bebas." Tanpa rasa bersalah, Xander bertanya masih dengan setia menatap lurus kearah gadis yang tak jauh darinya.   Amora hanya menyunggingkan senyum tipis dan mengembuskan napasnya perlahan. Mencoba berpikir apa maksud dari pertanyaan manusia dingin yang menjelma tampan sedemikian rupa layaknya Dewa Yunani d isampingnya ini.   "Untuk Momku. Aku tak ingin mengecewakan Mom juga Dad. Kau tak perlu khawatir soal hidup bebas. Aku terbiasa menjadi diriku sendiri dan bukan berfoya-foya layaknya gadis di luar sana." Amora menjawab dengan sedikit sinis dan ada nada mengejek, seakan menjawab pernyataan Xander yang sedikit merendahkannya.   Hening sejenak. Hanya deru napas yang saling bersahutan.   "Aku sudah memiliki kekasih dan dia di Los Angeles." Xander memulai dengan pandangan menerawang keatas langit-langit kamar Amora.   Sedikit terkejut dengan apa yang didengarnya, Amora menoleh dengan sigap namun tak lama kembali memandang ke depan. Dengan sedikit senyum kecut diwajah cantiknya.   "Lalu? Untuk apa kau terima perjodohan ini?"   Xander menghela napas sejenak dengan dalam.   "Untuk Mom. Sama sepertimu.Alasan klasik bukan?"   "Hm." Amora menjawab dengan singkat.   "Aku ingin tidur. Bisa kau keluar," lanjutnya lagi tak lama sambil berkata sehalus mungkin untuk membuat Xander keluar dari kamarnya.   "Boleh aku tidur disini? Aku lelah." Tanpa persetujuan apapun dari Amora, Xander sudah membaringkan badan kekarnya di samping Amora juga sambil membuka kemeja yang sedari tadi melapisi tubuh berototnya.   Sejenak, Amora memandangi tubuh lelaki yang ada di depannya. Lengan kekar yang dipenuhi tato juga d**a bidang dengan tato salib yang terukir indah.   "Mengagumi eh?" terka Xander sarkastik dan mampu membuat Amora sedikit gelagapan karena ketahuan mencuri pandang kearahnya.   Rona merah muncul dikedua pipi tirusnya nan cantik. Langsung saja membuatnya menyembunyikan dibalik selimut tebalnya. Hal itu hanya mendapat tanggapan gelengan kepala heran dari Xander dan senyum mengembang.   Perlahan, keduanya memasuki alam bawah sadarnya masing masing dengan dengkuran halus yang tercipta.   ****   Amora menggeliatkan tubuhnya sedikit meregangkan rasa pegel dipunggungnya. Ia tolehkan kepalanya kesisi kiri dan mendapati seorang lelaki tampan yang tertidur dengan pulas seperti bayi. Wajah yang sangat tenang.   "Pantas bukan jika semua gadis diluar sana menginginkanmu. Lihatlah! Kau sungguh diluar dari kata sempurna. Aku bahkan yakin jika kekasihmu tak pernah bisa untuk melepaskanmu barang satu menit saja. Kenapa? Kau yang bodoh atau memang aku yang naif. Tak seharusnya kita menerima ini walau dengan alasan orang tua kita."   Amora tersenyum kecut. Dan berpikir betapa bersyukurnya merasa dicintai olehnya. Lama ia pandangi hingga jenuh, namun Amora tak jenuh untuk memandangnya. Wajahnya bak Dewa Yunani yang terpahat sempurna. Bulu mata lentik, hidung mancung juga rahang yang kokoh. Oh jangan lupakan soal bulu-bulu tipis diatas bibir seksinya yang merah muda. Bibirnya seperti candu. Sungguh.   Amora segera beranjak dan menuju kearah kamar mandi. Membersihkan diri juga berendam dengan air hangat serta harum lavender yang merelaksasi. Amora memang butuh itu.   Sambil menyenandungkan lagu dari ponsel membuatnya semakin merasakan kenyamanan.   Cukup dengan dua puluh menit dan Amora segera membilas badannya lalu bergegas menuju ruang ganti dan memilih baju santai. Hot pants dan tshirt sedikit kebesaran adalah pilihannya.   Ia rapikan rambutnya asal dan membiarkannya tergerai bebas. Ia lihat, Xander bahkan belum bergerak sedikit pun dari peraduan mimpinya. Tidurnya sangat tenang dan nyenyak. Terdengar dengkuran halus keluar dari celah bibir seksinya. Tersenyum dan Amora segera meninggalkannya keluar dari kamar menuju ruang keluarga. Sedikit bermalas-malasan juga menonton acara televisi bisa sedikit membantu kejenuhan.   ****   Melayangkan tatapan keseluruh penjuru rumah. Sepi. Itu awal kata yang tepat. Hanya ada beberapa pelayan yang sedang bersiap menyiapkan makan malam mengingat waktu menunjukkan pukul enam sore.   "Daddy dan Ian akan pulang sebentar lagi dari kantor. Mom pasti pergi keluar dengan Malle."   Amora hanya mengedikan bahu cuek lalu berjalan menuju kulkas. Haus. Itu yang sedari tadi ia rasakan. Amora butuh minum. Beberapa pelayan memberikan senyum ramah kepadanya. Amora hanya membalasnya dan berlalu keluar menuju ke ruang keluarga.   ****   "Tidak sayang. Sungguh, aku tidak apa-apa. Kau tak perlu cemas, oke." Xander mencoba menenangkan seseorang di seberang sana dengan suara khas bangun tidur. Serak, tentu saja.   "Kau tak menelponku dan aku khawatir padamu, kau tahu?"   Suara manja itu, ah sungguh Xander sangat merindukannya. Berapa lama ia tak mendengar rengekan manja juga suara khas merajuknya. Xander terkekeh pelan.   "Aku sangat sibuk sayang. Membantu Dad. Kau tahu bukan. Maaf membuatmu merasa khawatir."   Xander mencoba menenangkan dan benar. Tak lama ia mendengar suara helaan napas lega dari seberang sana.   "Baiklah. Jangan lupa minum vitamin juga makan teratur. Kau juga jangan terlalu larut tidur. Aku mencintaimu."   "Aku juga."   Xander mengakhiri panggilan telpon masuk yang mengganggu tidurnya. Menghempaskan badannya keranjang dan menatap pintu balkon yang tak tertutup. Malam sudah larut. Pukul tujuh malam.   "Kemana gadis itu?"   Xander tak melihat Amora sejak kedua bola matanya terbuka. Entahlah. Xander semakin merasa bersalah pada Elle. Membohonginya seperti tadi. Alasan klise dan langsung di percaya olehnya. Andai masalah ini tak serumit ini. Andai hanya dengan membalikkan telapak tangan dengan mudah. Xander tak ingin menerima perjodohan ini. Sungguh.   "Elle." Erangnya pendek dan menutup kedua matanya dengan tangannya. Entah bagaimana menjelaskannya nanti. Yang pasti dia akan terluka. Dan Xander pun tak sanggup ditinggalkan olehnya.   Lama Xander berpikir, akhirnya ia putuskan untuk membersihkan diri dan segera keluar untuk makan malam. Perutnya terasa melilit karena hanya memakan makanan di pagi hari tadi dan melewatkan makan siang.   ****   "Kau sudah bangun? Makan malammu di meja. Mom dan juga Malle pergi. Dad dan juga Ian  belum pulang."   Xander menoleh dan hanya mengangguk sebagai jawabannya. Dan berlalu pergi menuju meja makan tak jauh dari ruang keluarga.   Sebenarnya, Amora tak jauh beda dari gadis gadis lain. Bahkan lebih cantik dari Elle. Kaki jenjang juga tubuh ramping serta hazle mata indah juga bibir tipisnya. Hanya saja, Xander masih enggan untuk sedikit terbuka dengannya. Entahlah. Rasa ini masih tertanam tulus untuk Elle. Hanya Elle. Yang membuat jantungnya berdebar kencang hanya dalam waktu satu kali pandang. Sulit rasanya walau hanya sebentar untuk menggeser posisinya. Empat tahun bersama, jalinan cinta ini sangatlah kuat.   "Aku merindukanmu Elle. Sentuhan lembutmu juga caramu memanjakanku."   **** "Aku ingin pernikahan ini segera dilaksanakan Ronald. Jika bisa minggu depan kita laksanakan. Aku tak peduli apapun alasannya. Aku tak ingin semuanya sia-sia. Kau pasti ingat bukan dengan janji persahabatan kita. Kita akan menjodohkan anak kita kelak. Hm, aku percayakan padamu dan Malle."   Pria paruh baya itu meletakkan kembali telepon canggihnya diatas meja dan berpikir keras. Usahanya hanya sebentar lagi. Memisahkan wanita sialan itu dari kehidupan putranya. Hanya benalu untuk keluarganya.   Terdengar pintu diketuk dari luar. Setelah menyerukan untuk masuk dan terdengar suara pintu berdecit, Jery Rodriguez, pria paruh baya yang angkuh segera mengangkat kepalanya dan melihat orang kepercayaannya masuk dengan wajah tenang.   "Tuan," sapa lelaki yang berumur 35 tahun itu.   "Aku tak ingin mendapat kabar buruk yang kau bawa," jawab Jery tegas.   "Tuan muda sudah di Toronto. Dan Nyonya menyampaikan acara pernikahan segera dilaksanakan."   "Baguslah. Lalu bagaimana dengan wanita sialan itu? Kau sudah membereskannya?"   "Wanita itu menghilang Tuan. Tak berada di Jerman."   Dengan pandangan mata penuh amarah, Jery mengepalkan kedua tangannya. Menahan sebisa mungkin amarah yang akan keluar.   "Aku tak peduli, bagaimana pun caranya temukan wanita sialan itu."   Lelaki itu hanya patuh dan pergi dari hadapan Jery. Setidaknya, bos besarnya masih mempercayainya untuk bekerja di bawah pimpinannya.   ****   "Kau cobalah gaun ini Amora." Malle mencoba membantu Amora memilih gaun pengantin untuknya.   Ini sudah gaun ketiganya setelah dua gaun tak cocok karena menurutnya sedikit terbuka. Momnya itu sungguh berlebihan. Gadis cantik itu hanya menuruti walaupun dengan sedikit gerutuan.   Sedang Xander, lelaki tampan itu juga sama hanya bisa mengikuti semua keinginan Momnya yang meminta mencoba beberapa Tuxedo mewah di acara pemberkatan juga resepsi pernikahannya nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD