1. Bertemu Dengannya

1453 Words
Author’s POV “Apa kalian sudah mendengarnya?” ujar Lia dengan berbisik-bisik kepada rekan kantor lainnya. Ketidaktertarikkan Amanda mengundang helaan nafas kesal dari rekannya itu, hingga ia sendiri menoleh karena kesal disikut oleh Lia. Saat ini, “Apa sih, kak!” “Huh kamu ini, merapat kesini,” ujarnya dengan kesal. Dengan malas, gadis itu merapat untuk mendengar apa yang ingin Lia beritahu kepada rekan-rekannya, “Besok senin, kita ada GM baru,” “Lalu? Kenapa memangnya?” tanya lainnya dengan penasaran, “Aku dengar, GM kita dipecat karena korupsi,” “KORUPSI?!” “Sssh! Suara kalian!” bisiknya dengan nada yang menaik tinggi. Seisi restoran hampir saja melihat mereka sebagai subjek yang empuk jika mereka bersuara lagi seperti tadi. Amanda bukanlah tipikal gadis yang senang untuk bergosip, bagi Lia, hidupnya sangatlah membosankan karena hidup Amanda hanyalah seputar pekerjaan, pekerjaan dan pekerjaan. Hanya saja, mendengar kata ‘korupsi’ tadi memancing telinganya untuk mendengar lebih lanjut. Hal ini disenangi oleh Lia, ia bahkan tersenyum samar ketika gadis itu mulai tergerak. “Darimana kau mendengarnya?” tanya Amanda, memecah pandangan rekan-rekannya yang lain. “Temanku memberitahuku,” ujarnya dengan mudah, “Memangnya temanmu siapa bisa tau hal seperti ini?” “Memangnya aku perlu perdu-“ “Tentu saja kau harus perduli, kau tidak berniat untuk menjilat ludahmu suatu saat nanti kan?” ujarnya Amanda dengan santai. Ia melihat dengan jelas air muka Lia yang sudah tidak mengenakkan dan atmosfir disekitar mereka juga sudah tidak baik, “Sudah-sudah. Intinya kita akan dapat GM baru senin ini,” ujar Linda menengahi permusuhan antara mereka berdua, “Mau kayak mana pun alasan pak Yoraldi mengundurkan diri, itu bukan urusan kita. Yang jelas, kita tetap harus bekerja sama, oke?” ujarnya lagi yang mengundang anggukan pada lainnya terkecuali Lia yang masih memicingkan matanya kepada Amanda yang ikut mengangguk setuju, “Ayolah, kalian bahkan tidak tertarik mengapa pak Yoraldi mengundurkan diri?” “Aku tentu tertarik,” ujar Amanda, membuat mata semua orang tertuju padanya. “Tapi aku perlu data dan informasi yang valid,” lanjutnya lagi, “Jadi maksudmu, infor-“ “Cukup!” pekik Linda menengahi keduanya lagi, “Lia, mari kita sudahi sampai disini saja. Dan Amanda...” semuanya diam, menunggu perkataan Linda selanjutnya, “Amanda... kamu...” gadis itu menatap Amanda dengan sangat sebelum dia memberi jempolnya, “Kamu bagus,” ujarnya dengan savage. “Ah kakak ini lah! Amanda terus, Amanda terus!” ujar Lia dengan kesal. Kekesalannya ditunjukkan secara gamblang bersamaan dengan seringai tipis gadis itu yang membuatnya tidak bisa melepas tatapan kesalnya kepada Amanda. Amanda sudah menduganya, karena inilah memang yang biasa terjadi, Lia selalu menebar gosip dan Amanda lah yang selalu menangkisnya, “Sudahlah Lia... kakak tau loh kenapa Pak Yoraldi mengundurkan diri. Kamu ini jahat banget kalau bilang dia korupsi. Dia itu pindah karena anaknya sakit, dirawatnya di Malaysia, makanya dia mengundurkan diri karena keluarganya mau pindah ke Malaysia,” ungkap Linda yang mengundang tundukkan memalukan dari Lia. Gadis itu itu menunduk dengan gugup, ia bahkan memelintir bajunya karena ia tidak lagi dapat menahan rasa malunya terhadap teman-teman kantorannya. “Sudahlah… bukankah kita memang sudah terbiasa melewati hal seperti ini? Bukan Lia kalau tidak menebar gosip yang tidak berguna,“ Gadis itu mengetatkan rahangnya, menahan amarah dan kekesalannya. Nafasnya membara hingga ia berdiri dengan tangan yang terkepal dan mengejutkan beberapa rekannya yang lain ketika ia pergi tanpa kata-kata, “Akhirnya dia pergi juga,” ujar Amanda yang mendapatkan senggolan bahu dari Linda, “Kamu keterlaluan tahu, lihat gak sih gimana dia marahnya,” “Aku tahu dan aku tidak mau perduli,” Linda menghela nafasnya. Amanda memang selalu begini, tidak memikirkan perasaan orang lain ketika dia beragumen. **** Amanda mengutuk dirinya karena ia telat bangun. Alarm yang ia pasang tidak berbunyi dan beruntung dirinya dibangunkan oleh mamanya. Kalau tidak, mungkin ia akan tidur pulas sampai siang. Seharusnya ia berangkat lebih awal karena akan ada pengenalan GM baru di kantornya. Dengan cepat, gadis itu berlari dari parkiran, mengabaikan high heels yang ia pakai. Karena terlalu memaksakan, kaki gadis itu terpeleset oleh hig heelsnya ketika ia menaiki tangga hingga ia terjatuh. Gadis itu meringis karena kesialannya itu, ia mengigit bibirnya dengan kesal. “Duh!” erang gadis itu karena kakinya yang sakit. Ketika gadis itu berusaha untuk berdiri, sebuah tangan menggantung di udara, tepatnya berada di depannya. Ketika gadis itu mengangkat kepalanya, alangkah kagetnya dia jika seseorang itu adalah sahabat lama nya yang sudah lama tidak ia temui, Dengan canggung, gadis itu mengambil tangan pria itu untuk membantunya berdiri, “Terimakasih,” ujar gadis itu, menunduk dengan sopan dan kembali naik ke atas. Gadis itu menelan ludahnya ketika pria itu mengikutinya naik ke atas tangga. Ia berusaha untuk menenangkan dirinya yang grogi, dan tidak lama setelah itu sampai lah dia ke lantai dua. Disitu terdapat rekan-rekannya sedang berdiri bersama dengan Linda, yang seakan menunggunya. Ia mengerutkan dahinya ketika mereka tercengang melihat dirinya. Ketika gadis itu sudah berdiri di antara rekan-rekannya, Linda menyapa pria itu dengan ramah, “Selamat pagi, pak,” ujar Linda yang menunduk hormat. “Pagi,” Pria itu berdiri di samping Linda dan hal itu membuat Amanda tercengang, “Jangan bilang-“ “Pagi semua, perkenalkan… ini pak Jayden yang akan menjadi GM baru kita,” ujar Linda yang sukses membuat rekan-rekannya terkejut. Mereka tidak menyangka jika GM mereka akan setampan ini dan semuda ini. “Pagi semua,” “Pagi pak…” sahut mereka, “Mohon kerjasamanya, saya harap tidak ada kecanggungan diantara kita. Perlakukan saya seperti GM kalian yang sebelumnya, mengerti?” “Baik pak,” Amanda terdiam, bahkan sedari tadi ia menyadari jika pria itu beberapa kali meliriknya. “Kamu,” tunjuk Jayden kepada Amanda, “Setelah ini, kamu ke ruangan saya,” lanjut Jayden yang mengundang tegukkan ludah oleh rekan-rekan yang lainnya. Sepertinya Amanda akan di semprot karena keterlambatannya. “Baiklah, kalian bisa bubar,” Semuanya bubar dari tempatnya, namun tidak untuk Amanda. Gadis itu masih mematung di tempatnya. Dengan takut, gadis itu mengikuti Jayden ketika pria itu memberinya gestur untuk mengikutinya. Sudah sangat lama ia tidak bertemu dengan pria itu. Amanda melihat punggung Jayden yang sudah berbeda ketika mereka masih duduk di bangku sekolah pertama. Amanda selalu mengejeknya pendek karena dulu ia dan Jayden memiliki tinggi yang sama. Namun siapa sangka, sekarang malah pria itu jauh lebih tinggi dari gadis itu yang memiliki tinggi hanya 165 cm. “Masuk,” ujar pria itu, membiarkan gadis itu masuk terlebih dahulu sebelum dia sendiri yang masuk ke ruangannya. Gadis itu berbalik ketika pria itu menutup pintunya, dan pria itu juga berjalan melewati Amanda untuk dia dapat berdiri di depan meja kerja barunya, “M-maaf pak, tadi saya telat. Saya janji tidak akan telat lagi, dan juga terima kasih sudah membantu saya pak,” ujar gadis itu menunduk. Pria itu mendekati Amanda hingga jarak diantara mereka semakin menipis. Semakin pria itu berjalan, semakin juga gadis itu memundurkan langkahnya hingga temboklah yang menghentikannya, “Mengapa kau pergi?” tanyanya yang terdengar pilu bagi gadis itu. Amanda hanya diam dan membuang pandangannya dari pria itu. Ia membungkam mulutnya, tidak mungkin ia mengatakan hal yang sebenarnya kepada pria itu. Gadis itu sudah lama mengubur perasaannya kepada pria itu, dan dia tidak ingin pria itu mengetahui perasaannya karena ia merasa itu akan mempengaruhi pekerjaannya. Bagaimana jika pria itu malah menolaknya atau berkata sesuatu yang menyakitkan? “Manda…” panggilnya dengan lembut, Gadis itu merasa terpanggil ketika pria itu memanggilnya demikian. Akhirnya, kedua pasang mata saling bertemu dan bertatapan satu sama lain. Hanya saja, itu tidak bertahan dengan lama karena gadis itu membuang manik matanya ke arah lain, “Kau mengabaikanku?” Amanda menatap Jayden dengan ketidakpercayaannya. Ia tidak bermaksud untuk mengabaikannya, ia hanya tidak nyaman karena pria itu menyudutkannya hingga ke tembok, “Bisakah kita melupakan apa yang sudah terjadi? Kita hanyalah masa lalu,” Jayden mendekatkan dirinya kepada Amanda, ia ingin melihat sirat kebohongan dari gadis itu tapi dia tidak menemukannya. Salah satu cara supaya ia mengetahuinya adalah ketika ia mempersempit jarak keduanya dan mengambil bibir gadis itu untuknya. Amanda terdiam, mengatup bibirnya sebagai tanda perlawanan terhadap apa yang Jayden lakukan kepadanya. Namun, tidak ada kata tidak untuk pria itu karena ia memaksa gadis itu untuk membuka mulutnya. Merasa risih, gadis itu mendorong pria itu dengan sekuat tenaganya namun semua sia-sia. Malah pria itu semakin gencar untuk mendapatkan lumatan gadis itu. Gadis itu pun pasrah dan membuka mulutnya untuk pria itu mendapat akses ke dalam mulutnya. Keduanya seakan sepakat untuk menyudahi sebentar kecupan mereka untuk mengambil udara segar sekitarnya. Gadis itu tidak berani menatap Jayden, berbeda dengan Jayden yang melihat gadis itu dengan intens seakan tidak ada yang boleh ia lewatkan. Ketika Amanda mulai menengadahkan kepalanya, disitu lah pria itu kembali menciumnya.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD