Bab 4

1554 Words
Udara pagi ini terasa sangat dingin. Dengan berbekalkan selimut yang membungkus tubuhku, aku berjalan keluar kamar menuju ke arah jendela berada. Kubuka tirai jendela di hadapanku dan kulihat rumah Romi yang gelap. Seluruh ruang di rumahnya gelap, kecuali ruang TV. Aku begitu sangat membenci Romi. Jika membunuh orang tidak dosa, mungkin aku sudah membunuhnya sejak aku membaca undangan pernikahannya. Aku masih ingat betul hari di mana aku membaca undangan pernikahannya. Saat itu aku sedang berada di tempat Delia, sahabatku. Di sana, dia menunjukkan sebuah undangan pernikahan yang terlihat sangat indah. Melihat undangan tersebut sempat membuatku tersenyum kecil dan membayangankan bagaimana bentuk undangan pernikahanku kelak. Namun ketika aku membaca nama mempelai laki-laki di undangan tersebut, senyum di wajahku seketika hilang. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Yang kutahu, sejak saat itu, duniaku benar-benar hancur berantakan. Semua orang melarangku untuk pergi menemui Romi. Bahkan teman-teman dan Mamaku mengurugku di rumah agar aku tidak pergi ke apartemennya. Tapi untungnya di saat pesta pernikahan Romi berlangsung, aku bisa kabur dari rumah dan pergi ke acara tersebut. Aku tak menyadari betapa menyedihkannya diriku waktu itu. Yang kupikirkan ketika berada di sana adalah bagaimana aku mengacaukan pesta itu. Aku sempat berpikir untuk langsung naik ke atas panggung di mana Romi dan istrinya berada dan langsung menampar, menonjok, menendang bahkan menginjak-injak Romi. Aku juga sempat berpikir untuk melakukan hal yang sama terhadap istrinya. Untungnya aku bertemu dengan Darryl. Dia menyelamatkanku dari semua niat jahat yang kupunya. Jika tak ada dia, mungkin aku akan berakhir di rumah sakit jiwa karena gangguan mental. Atau jika tidak, aku akan berada di penjara karena tuduhan p**********n dan k*******n. “Jam segini lo udah bangun?” terdengar suara seseorang dari arah belakangku. Aku menoleh ke arah tersebut dan kudapati Darryl tengah berjalan ke arah sofa dan duduk di sana. Ia kini melihat ke arahku dengan wajah yang terlihat sangat lelah. “Nggak bisa tidur,” ucapku seraya menutup kembali tirai di hadapanku. Kemudian aku berjalan ke arah sofa dan duduk di sebelah Darryl. “Lo sendiri?” “Sama,” jawabnya singkat. “Ngapain lo lihatin jendela?” “Ngecek masa lalu.” “Berhenti Shaby. Jangan melakukan hal-hal yang ngebuat hati lo tambah sakit.” Darryl selalu saja menasihatiku dengan omongan-omongan sejenis ini. “Lo tahu, gue sempet mau ngirim bangkai tikus ke alamat rumah Romi,” ucapku yang membuat Darryl memandangku dengan ekspresi kaget. “Lo pernah nggak, pergi ke psikiter?” tanyanya. “Lo mikir gue gila?” Dia hanya mengangkat bahunya dan memandangku dengan ekspresi tak bersalah. Mungkin memang aku sudah gila. Tapi aku bukan gila yang gila. Maksudku, aku tidak gila seperti orang gila yang dia maksud. Aku hanya agak tidak bisa berpikir dengan jernih. Itu saja. “Darryl, bantuin gue,” ucapku seraya berdiri dari posisi dudukku. “Berdiri cepet,” ucapku lagi menariknya agar berdiri. “Bantuin apa?” “Pindahin sofa ini ke sana,” kataku seraya mendorong sofa di depanku ini. Aku berniat untuk memindahkan sofa agar menghadap ke arah jendela. Dengan begitu, lebih mudah untukku melihat ke arah rumah Romi. “Ngapain dipindah?” tanyanya bingung. “Biar dekat dengan matahari,” jawabku sembarangan yang membuatnya menghela napas panjang. “Ayo bantuin.” Dengan malas ia membantuku mendorong sofa panjang ini agar menghadap ke arah jendela. Bahkan kini kudorong sofa di hadapanku agar lebih dekat dengan jendela. Kalau begini, hanya dengan duduk di sini saja, aku bisa lebih enak melihat rumah sebelah. Dan lebih mudah mencari ide untuk membalas dendam kepada Romi. “Lo serius mau ngelakuin hal ini? Lo nggak capek lihat mereka, terus marah-marah nggak jelas?” ucap Darryl seraya duduk kembali ke sofa yang kini sudah menghadap ke arah jendela. Kubuka kembali tirai di hadapanku. Dan sekarang, rumah sebelah terlihat sangat jelas. “Nggak,” jawabku enteng seraya duduk di sebelahnya. “Sebenernya apa sih, yang lo pengin dari mereka?” tanyanya terdengar bingung. “Maksud gue, kalau pun mereka—atau Romi—ngerasain apa yang lo rasain, terus apa? Lo bisa bahagia? Lo bisa bahagia dengan melihat orang lain menderita?” Aku menatap Darryl tajam. “Dia bukan orang lain, dia Romi. Dan ya, gue bakalan bahagia banget kalau lihat dia menderita.” “Mungkin sebaiknya lo balik Jakarta, deh,” ucapnya seraya berdiri dan pergi meninggalkanku untuk turun ke bawah. Kenapa Darryl sangat tidak setuju dengan pembalasan dendamku ini? Apa masalahnya? Lagian dia tidak merasakan apa yang aku rasakan. Dia tidak tahu bagaimana rasanya menjadi aku. Jadi bagaimana pun juga, dia tidak akan mengerti. Kembali kulihat ke arah rumah Romi. Sekarang kudapati Romi tengah berdiri di depan jendela ruang TV yang terbuka. Dia sedang memegang sebatang rokok di tangannya. Sejak kapan Romi kembali merokok? Seingatku, dia sudah lama sekali berhenti merokok. Dia hanya akan merokok jika sedang stres. Jadi, sekarang dia sedang stres? Apa yang membuatnya stres? Maksudku, dia memiliki segala. Karir, istri idaman, hari-hari yang indah tanpa diriku. Aku mengembuskan napas dalam. Ya, aku rasa penyebabnya adalah aku. *** Happiness is never come to those who don't appreciate what they already have.   Apa yang aku punya? Aku tak punya apa-apa! Semua yang kupunya telah hilang semenjak Romi pergi dan menghianatiku. Yang kupunya sekarang adalah dendam. Bisakah aku bahagia dengan dendam tersebut?   Be happy ... not because everything is good, but because you can see the good in everything.   Melihat hal baik dari semuanya? Hal baik apa yang dapat kulihat dari Romi yang ternyata berada di sebelah rumahku? Hal baik apa yang dapat kulihat dari Romi yang telah menghancurkan hatiku dan kini dia hidup bahagia berdua dengan istrinya? Tidak ada!   The best revenge is happiness, because nothing drives people more crazy then seeing someone actually living a good life.   Sama seperti yang pernah Darryl ucapkan. Bahagia di hadapan Romi adalah cara balas dendam yang paling benar. Tapi bagaimana aku bisa bahagia jika Romi masih belum merasakan apa yang kurasakan? “Lo lagi ngapain sih, kelihatan bingung banget,” ucap seseorang yang kini sudah duduk di sebelahku. Kontan aku menoleh kaget ke arah tersebut. Sekarang kudapati Darryl tengah duduk di sebelahku dengan pandangan fokus ke arah laptop di hadapanku. Segera kututup laptopku dengan panik. Semoga Darryl tak melihat apa yang sedang kulakukan. Ini sangat memalukan. “Happiness quotes,” ucapnya seraya terkekeh. Dan ternyata dia melihat apa yang sedang kulakukan. Ya, aku tadi sedang mencari tahu apa itu bahagia di google. “Diem.” Aku memukul lengannya dengan kesal. “Ngapain sih, lo masih di rumah? Katanya lo ngajar?” “Enggak. Gue mulai ngajarnya besok kok. Dan gue lagi nunggu motor gue datang.” “Lo beli motor?” “Iya.” “Oh.” Aku kembali membuka laptopku dan berencana mencari arti kebahagiaan itu apa. Maksudku, aku tahu benar bahagia itu seperti apa. Tapi, semenjak aku patah hati dan duniaku berantakan karena Romi-si-super-menyebalkan, aku benar-benar merasa jauh dari apa yang namanya bahagia. Mungkin dengan aku mencari makna kebahagiaan di internet, aku bisa menemukan kebahagiaanku sendiri. Memang bodoh. Bagaimana bisa aku melakukan hal semacam ini? Segera kembali kututup laptopku dan kusandarkan punggungku ke sofa. “Lo ngapain sih, Shab?” “Mereka bilang kita bisa mencari apa pun di google. Tapi gue nggak nemu kebahagiaan di sana. Dasar, manusia semuanya pembohong,” gerutuku sebal. Hal ini membuat Darryl tertawa. Ya, tentu saja dia tertawa. Aku benar-benar menyedihkan. “Shaby, lupakan Romi, lupakan balas dendam, lupakan sakit hati lo. Dan gue yakin, lo bakalan bisa dengan mudah bahagia.” “Itu masalahnya, Ryl. Gue nggak bisa dengan mudah melupakan semua itu. Semakin gue mencoba melupakannya, semakin gue pengen merusak hidup Romi.” “Semuanya butuh proses.” Aku memandangnya yang kini tengah tersenyum kecil ke arahku. Bagaimana dia bisa terlihat seperti tak ada masalah besar? Maksudku, bukannya kemarin dia panik ketika mengetahui bahwa mantannya tinggal di sebelah rumah? Tapi kenapa dia dengan sangat mudah menjadi Darryl yang bijaksana seperti ini? “Bagaimana lo melakukan hal ini?” tanyaku bingung. “Lo kemarin panik setengah mati ketika sadar bahwa mantan lo berada di sebelah rumah. Kenapa sekarang lo terlihat biasa saja?” “Karena jika kita berdua sama-sama panik. Kita berdua beneran bisa berakhir di rumah sakit jiwa. Dan gue nggak mau berakhir di rumah sakit jiwa hanya karena mantan. Jadi ya, I'm fine.” Alasan macam apa itu? Aku juga sering memikirkan diriku yang akan berakhir di rumah sakit jiwa jika aku tak menghentikan sikap gilaku. Tapi aku tak pernah bisa menghentikan kegilaan yang otakku katakan. “Gue yakin bukan karena hal itu,” ucapku memandangnya ragu. “Alasan lain?” Kulihat Darryl menghembuskan napas pasrah sebelum menjawab pertanyaanku. “Karena lo. Jika gue ikut panik, dan berpikir balas dendam kayak lo. Bisa-bisa gue nyakitin Liny. Gue nggak mau nyakitin dia.” “Lo masih suka sama dia?” “Iya.” “Kenapa? Dia kan udah nyakitin lo. Dia mutusin lo demi untuk bersama Romi.” “Ya udah.” “Ya udah?” tanyaku kembali bingung. Aku benar-benar tak mengerti jalan pikiran Darryl. Bagaimana dia bisa sebegitu baiknya meskipun sudah disakiti? Bagaimana bisa? “Kita mencintai orang dengan cara berbeda, Shaby. Gue mencintai Liny dengan cara melepaskannya dan menjaganya agar tetap bahagia meskipun bukan sama gue. Dan lo, lo mencintai Romi dengan cara tetap menjaganya agar tidak pergi dari sisi lo. Lo masih cinta kan, sama dia?” Dan ucapannya tersebut sukses menohok hatiku. Aku masih mencintai Romi? Ini tidak benar. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD