Bab 3

1042 Words
Setelah Romi dan Liny, sekarang Darryl yang muncul di hadapanku. Kebetulan macam apa ini? Oh Tuhan, apa masih belum cukup mempertemukanku dengan Romi saja? Kenapa Darryl juga harus muncul di saat seperti ini? Sebenarnya bertemu dengan Darryl bukanlah masalah besar. Toh kami tidak ada sejarah apa-apa selain kami sama-sama mantan yang tersakiti. Bahkan aku pun hampir tak ingat pernah bertemu dengannya. Tapi karena mantan kami menikah, entah mengapa hal tersebut menjadi sebuah  masalah untukku. Rasanya ini seperti lelucon yang tak lucu. “Jadi lo beneran bakal tinggal di sini?” tanyaku bingung. Darryl mengangguk dan tersenyum. “Dan lo seriusan dosen di kampus tempat Papa ngajar?” “Iya.” Tadi Darryl sempat bercerita bahwa dirinya diterima kerja di salah satu kampus di sini. Dan kebetulan kampus tempatnya mengajar sama seperti tempat Papa mengajar. Bukan hanya itu saja, ternyata Papaku dan Papa Darryl adalah teman lama. Jadi dengan senang hati Papa memberikan tumpangan tempat tinggal selama Darryl di sini. Lagian, Darryl pikir Papa tinggal di sini sendirian, ia tak mengetahui bahwa sekarang aku tinggal di sini juga. “Gue nggak nyangka kita bakal ketemu lagi.” Darryl menyandarkan punggungnya ke punggung sofa. Aku memaksakan tawa lalu meliriknya malas. “Lo nggak akan nyangka siapa lagi yang bakalan lo temuin selanjutnya,” ucapku. Darryl menoleh ke arahku. “Siapa?” tanyanya bingung. “Ikut gue,” ucapku seraya bangkit dari duduk. Darryl sendiri hanya memandangku bingung. “Ayo berdiri, ikut gue.” Dengan tampang tak yakin Darryl ikut berdiri. Kemudian aku mengajaknya untuk pergi ke lantai atas. Setelah itu, kugiring dia agar mendekat ke arah jendela yang berada di seberang kamarku. Kubuka tirai yang menutupi jendela itu dan terlihatlah rumah Romi. Kutatap dua orang yang sedang berada di bawah sana. “Ngapain lo bawa gue ke sini?” tanyanya bingung seraya menoleh ke arahku. “Itu,” jawabku menunjuk ke arah bawah, di mana Romi dan Liny tengah berdiri di dekat jendela ruang TV. Kulihat Darryl semakin mendekat ke arah jendela. Ia kini mengamati baik-baik kedua orang yang berada di bawah sana. “Itu? Mereka …,” ucap Darryl tergagap. Dengan cepat ia menoleh ke arahku. Terlihat kekagetan luar biasa dari wajahnya. “Kenapa mereka di sini—di sana?” Darryl menunjuk kedua orang di rumah sebelah. “Selamat datang masa lalu,” ucapku seraya menatap Romi dan Liny yang kini tengah tertawa berdua. Setelah Darryl melihat kedua orang tersebut, ia tak ada henti-hentinya mengoceh. Ia mempertanyakan kenapa mereka berada di sebelah dan bagaimana bisa. Aku pun sebenarnya mempertanyakan hal yang sama. Keberadaan mereka berdua di sini adalah tanda tanya yang sangat besar bagiku. Bahkan kedatangan Darryl pun sama, dia masih menjadi misteri. Maksudku, aku masih tidak mengerti mengapa Tuhan mempertemukan kami semua di sini. Jika Tuhan ingin bercanda, ini benar-benar tidak lucu. “Mungkin sebaiknya gue cari kontrakan,” ucap Darryl “Kenapa?” tanyaku bingung. Kini kulihat Darryl sangat gusar. Entahlah, dia terlihat sangat gelisah. Aku tak pernah melihatnya seperti ini. Ya memang aku baru melihatnya sekali—dua kali ini—tapi dalam sekali lihat, aku sudah tahu Darryl itu tipe orang seperti apa. Bahkan di acara pernikahan mantannya dulu, dia terlihat sangat santai seperti tak ada masalah yang besar. “Darryl, kamu sudah datang ternyata. Selamat datang di rumah Om,” ucap suara di belakang kami. Kini kulihat Papa tengah tersenyum lebar ke arah Darryl seraya berjalan menghampiri. “Halo, Om,” sapa Darryl. “Lama nggak ketemu. Apa kabar?” “Baik. Kamu apa kabar?” Kemudian terjadilah obrolan ringan seputar kabar masing-masing. Sejujurnya aku sangat terkejut jika Papa mengenal Darryl. Satu lagi kebetulan. Setelah obrolan yang cukup singkat antara mereka berdua, Papa kemudian menunjukan kamar Darryl yang berada di sebelah kamarku. Papa juga memperkenalkanku dengan Darryl—meskipun kami sudah kenal, tapi kami pura-pura tak kenal. Setelah acara perkenalan singkat dan segala macam obrolan, Papa pamit untuk mandi dan beristirahat sebentar. Dan tinggal lah aku berdua dengan Darryl. Kini kami berdua duduk di sofa depan kamar kami. “Terakhir kali kita ketemu, lo nampar pipi Romi di acara pernikahannya,” kata Darryl menoleh ke arahku. “Dan sekarang lo tinggal di sebelah mereka. Apa hal ini baik-baik saja?” Aku mengangkat kedua bahuku. “Entahlah.” “Lo nggak sengaja—” Aku menatapnya tak percaya. “Sengaja pindah ke sini buat ketemu mereka?” tanyaku meneruskan pertanyaan Darryl. “Tentu aja nggak! Gue nggak tahu kalau Romi dan Liny, mantan lo, tinggal di sebelah rumah Papa. Menurut lo, untuk orang yang berniat move on, apa mungkin gue nyari gara-gara dengan ngekorin mereka ke mana pun mereka pergi? Nggak, Darryl.” “Sorry, gue nggak maksud,” ucap Darryl terdengar menyesal. “Gue datang ke sini buat nyembuhin hati gue, Ryl,” kataku lirih. “Gue nggak bisa tinggal di Jakarta dengan kemungkinan bakal ketemu mereka di jalan, entah mal atau salah satu sudut kota itu.” Aku menggelengkan kepala. “Gue nggak sanggup sakit hati lagi.”  “Tapi sekarang lo jadi semakin dekat dengan mereka, Shab.” Aku mengangguk paham. Darryl memang tahu mengenai sejarahku dengan Romi. Dulu aku pernah bercerita kepadanya ketika datang ke pernikahan Romi. Darryl lah yang menahanku untuk tidak berbuat nekat di acara itu. Meskipun akhirnya aku meluapkan amarahku dengan menampar Romi di sana. “Mungkin ini cara Tuhan ngasih gue kesempatan buat balas dendam ke Romi,” ucapku tersenyum tipis ke arahnya. “Balas dendam?” Aku mengangguk. “Romi udah ngacak-ngacak kehidupan gue, dan ketika dia tepat berada di sebelah gue, gue nggak akan tinggal diam. Gue bakalan ngebuat dia menderita,” ucapku berapi-api. “Shaby, gue tahu lo patah hati dan sejenisnya. Gue juga tahu bahwa Romi udah ngecak-ngacak hidup lo. Tapi itu bukan berarti lo harus merusak kehidupannya dengan balas dendam. Lo ngurusin balas dendam nggak bakalan kelar,” ucapnya menasihatiku. “Terus gue harus apa? Ngelihat dia bahagia sama istrinya itu bikin muak! Gue menderita, dan dia bahagia. Itu nggak adil.” “Yang nentuin adil atau enggak itu bukan lo, tapi Tuhan. Gue yakin semua yang kita alami saat ini tuh ada tujuannya. Dan gue juga yakin kalau tujuan Tuhan mempertemukan kita semua di sini tuh bukan untuk saling balas dendam. Mungkin saling memaafkan,” ucapnya lagi. “Omong kosong.” Darryl mengembuskan napas perlahan dan memandangku prihatin. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD