Bab 1

765 Words
Kupandangi rumah yang berada di hadapanku dengan lesu. Rumah bergaya minimalis ini terlihat mungil dengan halaman rumah yang tidak begitu luas. Terdapat banyak tanaman berwarna hijau serta beberapa bunga mawar mengiasi halaman rumah.  Sekarang, ini adalah rumahku. “Shaby,” terdengar suara dari arah belakangku. Aku menoleh dan kudapati Papa tengah menutup pintu mobil yang terparkir di pinggir jalan. Papa tersenyum lebar ke arahku. Beliau terlihat sangat bahagia ketika melihatku. “Papa,” ucapku seraya menghambur ke pelukannya. “Shaby kangen sama Papa.” “Papa juga kangen sama kamu, Nak. Sudah lama Papa nggak lihat kamu. Sekarang kamu tambah cantik. Putri kecil Papa.” Papa melepaskan pelukan kami dan memandangku haru. Aku dan Papa memang sudah lama tidak bertemu. Sejak perceraian Papa dan Mama beberapa tahun yang lalu, Mama memintaku untuk ikut dengannya. Papa sendiri pindah ke Semarang ke kota kelahirannya. Meskipun dalam hati yang paling dalam aku tidak ingin meninggalkan Papa, tapi bagaimana lagi, aku pun tidak bisa jauh dari Mama. Dan mungkin sekaranglah waktuku untuk kembali tinggal bersama Papa. “Ayo masuk,” ucap Papa seraya mengambil alih koper yang tadi kubawa dan menariknya menuju dalam rumah. “Papa sekarang kurusan. Papa sehat, kan?” tanyaku seraya mengikuti Papa masuk ke dalam rumah. “Iya, Papa sehat kok. Kamu sendiri sehat, kan?” “Iya, Shaby sehat, Pa. Mama juga sehat.” “Syukurlah.” Papa tersenyum kepadaku. Kupandangi bagian belakang tubuh Papa yang tak setegap dulu. Papaku kini terlihat sedikit rapuh. Apakah perubahan itu karena Papa yang telah termakan usia? Ataukah karena Papa di sini sendirian dan tidak ada yang merawatnya seperti dulu? Seketika aku merasa sangat sedih. Hatiku bagaikan teriris membayangkan hari-hari Papa yang dilewatinya sendirian. Papa pasti kesepian. Aku benar-benar tak tega membayangkannya. “Ini kamar kamu,” ucap Papa seraya membukakan pintu kamar di lantai dua rumah ini. “Memang tidak sebesar kamarmu di rumah yang dulu. Tapi cukup nyaman.” Ada satu lemari berdiri kokoh di depan tempat tidur. Meja rias, di sebelah tempat tidur, meja belajar di sisi yang lain dan ada kamar mandi dalam juga. Ya, kamar ini memang tak sebesar kamarku dulu tapi bagiku ini cukup. “Istirahatlah,” ucap Papa tersenyum lembut ke arahku. “Papa akan siapin makan malam spesial untuk kita berdua.” Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya. Setelahnya, Papa meninggalkanku sendirian di kamar. *** Kulihat Papa tengah sibuk dengan peralatan dapurnya. Papa adalah seorang koki hebat di rumah. Dulu Papa sering memasakkanku makanan. Apa pun yang dimasaknya terasa sangat lezat. “Biar kubantu, Pa,” ucapku mendekatinya. “Nggak usah, Shaby. Kamu istirahat aja, kamu pasti masih capek.” “Shaby nggak capek kok.” Kudengar kekehan dari mulut Papa. Aku tersenyum kecil. “Papa harap, selama kamu di sini, kamu nemuin ide cemerlang buat karya kamu.” “Ha?” Aku menatap Papa bingung. “Mamamu bilang, kamu butuh inspirasi buat nulis. Butuh tempat dan suasana baru buat munculin ide.” Aku diam sesaat. Sepertinya, Mama tidak memberitahu Papa alasan kepindahaku ke sini. “Mama bilang apa aja, Pa?” tanyaku. Papa yang sedang memotong wortel kontan berhenti. Beliau kembali memberiku senyum hangatnya yang membuat hatiku damai. “Mamamu cerita kalau kamu sedang kesulitan dalam membuat cerita. Terus minta izin ke Papa buat nampung kamu untuk sementara waktu. Paling nggak sampai kamu menyelesaikan novelmu. Di Jakarta, terlalu ramai, bising dan akrab. Mamamu bilang kamu butuh tempat yang baru untuk menghasilkan cerita yang baru. Semacam itu,” jelas Papa. “Papa sih, seneng banget kamu bisa tinggal di sini.” Mendadak rasa bersalah itu muncul. Apa tak apa-apa membohongi Papa seperti ini? Tapi, aku pun tak sanggup mengatakan yang sejujurnya. Aku tak bisa terlihat lemah di depan Papa. “Shaby pikir, Mama kurang jabarin satu alasan lagi,” kataku yang membuat Papa menatapku penasaran. Aku tersenyum. “Shaby kangen sama Papa, maka dari itu Shaby ke sini.” Senyum di bibir Papa kembali merekah. Kali ini lebih lebar dari sebelumnya. “Papa juga, Shab.” Tiba-tiba terdengar bunyi bel. Sontak aku dan Papa menoleh ke arah tembok di mana posisi ruang tamu berada. “Ada tamu,” kata Papa seraya meletakkan pisau ke talenan di depannya. “Biar Shaby aja, Pa.” Sebelum Papa beranjak dari tempatnya aku sudah dulu berjalan keluar dari dapur menju ruang tamu. Tanpa banyak berpikir segara kubuka pintu di hadapanku. Senyum yang semula terukir di bibirku langsung lenyap ketika melihat sosok yang berdiri di hadapanku. Untuk beberapa saat aku lupa untuk bernapas. Jantungku pun seakan berhenti berdetak.  “Shaby?” ucapnya terdengar bingung. “Kamu kok bisa ada di sini?” Dia adalah Romi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD