CHAPTER 2

1499 Words
I believe that God created you for me to love. He picked you out from all the rest cause He knew I’d love you the best! ⁂ ⁂ ⁂ ⁂ ⁂ Berada di kawasan Karibia, membuat pulau Cyrille menjadi perhiasan yang cantik. Bentangan laut biru serta pasir putih pantai yang indah menawan siapapun yang melihatnya. Tidak heran penduduk di pulau Cyrille sebagian besar adalah nelayan. Seperti biasanya ketika menjelang sore, banyak nelayan berkumpul di tepi pantai mempersiapkan peralatan untuk melaut. Hal itu pulalah yang dilakukan oleh Adrian Leandre. Pria dengan tinggi 191 centimeter itu sedang membantu ayahnya merapikan jaring yang akan digunakan nanti malam.  "Jonathan." Sebuah panggilan mengalihkan perhatian ayah dan anak itu. Seorang pria seumuran dengan ayah Adrian berjalan menghampiri mereka. Jonathan yang mengenali pria berpakaian rapi itu langsung tersenyum.  "Danny." Seru Jonathan. Pria dengan rambut coklat tua itu melihat ayahnya meletakkan jaring dan berjalan menghampiri pria yang dipanggil 'Danny' itu. Jonathan terlihat mengelap tangannya ke baju. Dia tidak ingin tangan kotornya mengotori tangan temannya yang tampak bersih.  "Sudah lama tidak bertemu." Jonathan mengulurkan tangannya.  Danny menatap tangan Jonathan. Lalu dia menepis tangan Jonathan dan memeluknya. "Jangan mengubah kebiasaan kita, Jonathan." Danny melepaskan pelukannya dan menyunggingkan senyuman. "Tapi pakaianku akan mengotori pakaianmu, Danny." Danny memandangi kemeja birunya. Tak ada noda sedikit pun yang mengotori pakaiannya.  "Ini hanya pakaian, Jo. Bukan hal besar yang perlu dikhawatirkan. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini." Danny tak menutupi rasa bahagianya bertemu dengan kawan lama.  "Aku juga tidak menyangka bertemu kau kembali. Apa yang kau lakukan di pulau kecil ini?" "Aku datang untuk menemui Mr. Beaufort. Apakah dia putramu?" Danny menunjuk ke arah Adrian.  "Benar. Adrian kemarilah." Jonathan melambaikan tangan ke arah putranya.  Adrian meletakkan jaring di atas pasir lalu menghampiri ayahnya. Tatapannya tertuju pada Danny yang tersenyum ramah.  "Danny, ini putraku Adrian. Adrian, ini adalah sahabat lamaku Danny Caldwell." Adrian mengulurkan tangan yang langsung dibalas pria itu, "Senang berkenalan dengan anda, Mr. Caldwell." "Aku juga senang bertemu putra Jonathan. Kau sangat mirip dengan ayahmu sewaktu muda, Adrian." Danny mengamati Wajah Adrian yang mengingatkannya pada Jonathan saat masih muda.  "Banyak yang mengatakan hal itu, Mr. Caldwell." "Berapa usiamu, Adrian? Delapan belas?" "Tidak, Mr. Caldwell. Usiaku genap dua puluh tahun." Adrian tersenyum mendengar Danny mengira dirinya lebih muda dua tahun. “Dua puluh tahun? Jadi kau sudah kuliah?”  Perubahan ekspresi Adrian terlihat jelas di wajahnya. Sudah setahun yang lalu dia ingin meneruskan pendidikannya. Namun kala itu dia terhambat oleh perekonomian keluarga yang sedang tidak baik. Pada akhirnya Adrian harus menelan impiannya itu. Jonathan menepuk bahu putranya lalu memandang ke arah sahabatnya, “Seharusnya setahun yang lalu dia kuliah. Tapi kami terhambat oleh biaya. Karena itu dia membantuku menjaring ikan.” “Bukankah sangat disayangkan? Kau bisa mengambil beasiswa bukan?” Danny menatap Adrian. “Meskipun ada beasiswa tetap saja kami harus memikirkan biaya hidupnya bukan. Apalagi dia tidak akan tinggal di sini.” Sedih Jonathan. Danny mengeluarkan dompet dan mengambil kartu namanya. Dia menyerahkan lembaran kertas kecil itu kepada Adrian. “Jika kau masih mengejar impianmu itu, aku akan membantumu.” Baik Jonathan dan Adrian sama-sama memandang kartu nama itu lalu menatap Danny. Jonathan mengulurkan tangan bukan untuk menerima kartu nama itu, melainkan untuk mendorongnya. “Tidak, Danny. Kau tidak perlu berbuat sejauh ini.” Jonathan menolak tawaran itu. “Sangat perlu, Jo. Dulu kau selalu membantuku dengan menampung berandalan kecil ini di rumahmu. Aku jauh lebih menyusahkan, bukan?” Jonathan tidak bisa menahan tawanya mengingat masa lalu mereka. Danny yang selalu bertengkar dengan kedua orangtuanya selalu kabur dan menginap di rumah Jonathan. Bahkan hingga berbulan-bulan. Pria dengan rambut putih di beberapa bagian itu menggelengkan kepalanya, “Aku tidak pernah mengharapkan imbalan apapun karena menolongmu, Danny. Bahkan sekarang pun aku tidak akan melakukannya.” “Ini bukan imbalan, Jo. Anggap saja sebagai hadiah balasan. Lagipula ini bukan bantuan besar. Aku hanya akan membantu Adrian mencarikan beasiswa di Universitas yang diinginkan juga tempat tinggal untuknya. Setidaknya pikirkanlah dulu.” Danny kembali mengulurkan kartu namanya. “Baiklah. Aku akan memikirkannya bersama Adrian.” Jonathan pun mengambil kartu nama itu dan memasukkannya ke dalam sakunya. “Baguslah. Aku harus pergi. Mr. Beaufort tidak menyukai keterlambatan. Hubungi aku jika kalian sudah memutuskannya.” “Baik. Terimakasih, Danny.” Danny kembali memeluk sahabatnya sebelum akhirnya beranjak pergi. Jonathan dan Adrian kembali berkutat dengan jaring. Ayah itu menatap putranya yang serius merapikan jaring. “Jika aku menyetujuinya apakah kau setuju untuk kuliah?” pertanyaan sang ayah sukses menghentikan gerakan tangan Adrian. “Aku... Aku tidak tahu, Dad.” “Mengapa? Bukankah kau sangat menginginkan kesempatan ini?” “Dulu aku menginginkannya. Tapi sekarang banyak hal yang perlu kupikirkan untuk meninggalkan pulau ini.” “Termasuk Valerie Beaufort?” Seketika tubuh Adrian sekaku batang pohon. Dia terkejut sang ayah mengetahui alasan utamanya menolak tawaran itu. “Apa maksudmu, Dad? Mengapa hal ini bisa berhubungan dengan putri sulung Mr. Beaufort?” Adrian tidak bisa menatap sang ayah karena berusaha menyembunyikan kebenaran. “Jangan mencoba membohongiku, Adrian. Aku melihatnya. Melihat kau bertemu dengan Valerie di gua bagian barat pulau ini.” Lidah Adrian seakan keluar mendengar ayahnya mengetahui rahasia yang dia sembunyikan selama sebulan ini. Menjalin hubungan dengan putri pemilik pulau ini tidaklah mudah baginya. Meskipun Adrian mencintai Valerie, tapi dia juga takut dengan reaksi ayah Valerie jika mengetahui kebenaran ini. “Hubungan itu buruk, Adrian. Kau tidak bisa menjalin hubungan asmara dengan Valerie.” “Mengapa? Bukankah dia juga manusia bukan makhluk asing, Dad.” “Tapi Mr. Beaufort tidak akan menyukai putrinya berkencan dengan nelayan.” “Apa salahnya menjadi nelayan, Dad? Bukankah aku tidak melakukan pekerjaan yang membuatku menjadi pelaku kriminal?” Adrian tidak terima ayahnya memandang rendah profesi mereka. “Bukan seperti itu, Adrian. Tapi...” “Aku mencintainya, Dad. Dan percayalah dia juga mencintaiku. Aku tidak akan memutuskan hubungan ini jika itu yang kau maksud.” Adrian menjatuhkan jaring di tangannya lalu beranjak pergi. Jonathan memejamkan matanya mendengar ucapan putranya. Putra tunggalnya sedang dibutakan oleh cinta sehingga membuat Adrian menolak apapun yang menghalangi cinta mereka. Jonathan hanya berharap yang terbaik bagi putranya. ⁂ ⁂ ⁂ ⁂ ⁂ Valerie duduk di atas pasir di tepi gua bagian barat pulau Cyrille. Dia menoleh ke kiri dan kanan berharap Adrian segera datang. Seharusnya dia sudah datang. Karena Adrian tidak memiliki alat komunikasi, maka mereka sepakat untuk bertemu tepat di tengah hari. Karena pertemuannya dengan sang ayah, Valerie pikir dia terlambat datang. Tapi ternyata Adrian juga belum tiba. Gadis itu mengambil satu kerikil dan melemparkannya ke depan. Batu kecil itu pun terlontar dan menggelinding di atas pasir. Valerie kembali melakukannya untuk menyingkirkan rasa bosan. Tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki. Sikap waspada Valerie mendorong gadis itu untuk berdiri. Dia berharap itu adalah Adrian. Jika ada penduduk di pulau ini yang melihatnya di sini, maka mereka akan menanyakan apa yang dilakukan Valerie di gua ini. Dan dia yakin saat mulutnya mengatakan tujuannya, maka dia juga tidak sengaja memberitahu ayahnya. “Adrian.” Pekik Valerie. Gadis itu berlari dan memeluk pria itu. Seketika kebahagiaan membanjiri hatinya. Adrian yang sama bahagianya dengan Valerie langsung membalas pelukan gadis itu. Kemudian pria itu sedikit mendorong bahu Valerie sehingga bisa menangkap jelas wajah sang kekasih tanpa melepaskan pelukan mereka. Tangan Adrian menangkup pipi Valerie dan mengelus lembut kulit gadis itu. Matanya terperangkap pada bulatan abu-abu gelap yang menawan. Lalu tatapannya beralih pada bibir Valerie. Bibir berwarna pink lembut itu sangat menggiurkan untuk dinikmati. Sehingga Adrian pun menunduk untuk mengecup godaan itu. “Aku merindukanmu, Vallie.” Valerie tersenyum mendengar panggilan khas yang dibuat oleh Adrian. Hanya pria itu saja yang memanggil Valerie dengan panggilan ‘Vallie’. “Aku juga merindukanmu, Adrian. Kupikir kau tidak akan datang.” “Tentu saja aku datang untuk menemui gadis yang kucintai.” “Kau selalu saja manis. Tapi aku mencintaimu.” Valerie berjinjit untuk mengecup bibir Adrian. Setelah saling melepaskan kerinduan, pasangan muda itu memasuki gua dan duduk menghadap pantai. Mereka melihat bagaimana indahnya ombak bergulung-gulung sebelum akhirnya menyapu pasir pantai. “Apa yang membuatmu terlambat?” Valerie menoleh ke arah Adrian. “Aku bertemu dengan sahabat lama Dad.” “Padahal kupikir aku terlambat.” Adrian menatap sang kekasih, “Kau juga terlambat?” “Father ingin bertemu denganku lebih dulu. Dia membicarakan tentang kuliah yang harus kuambil.” “Jadi kau akan pergi kuliah?” Adrian terkejut mendengarnya. “Jika Father sudah menentukannya.” “Baguslah. Kita bisa kuliah bersama.” Valerie memicingkan matanya, “Apa maksudmu?” “Tadi sahabat Dad menawariku akan mencarikan beasiswa. Bukankah itu bagus? Kita bisa kuliah bersama tanpa harus bersembunyi di gua ini.” Sayangnya Valerie tidak merasa senang seperti Adrian, “Aku tidak tahu, Adrian. Aku tidak bisa meninggalkan Cecile.” “Mengapa? Bukankah Cecile sudah berusia tiga belas tahun? Lagipula ada seseorang yang menjaganya, bukan?” Gadis itu menggeleng lemah, “Kau tidak mengerti, Adrian.” “Aku tidak mengerti karena kau tidak menceritakan segalanya, Vallie. Bisakah kau mempercayaiku?” Jutaan kali Valerie ingin menceritakan keburukan ayahnya. Tapi dia tidak bisa melakukannya. Bukan karena Valerie tidak percaya pada Adrian, tapi rasa takut dalam hati Valerie kepada ayahnyalah yang menahannya. “Maafkan aku, Adrian. Kau tahu aku tidak bisa melakukannya.” Valerie menundukkan kepalanya. Adrian menghela nafas berat. Kemudian dia bergeser dan meraih dagu gadis itu. Mengangkatnya hingga dia bisa melihat sepasang bola mata yang indah milik Valerie. “Maafkan aku. Seharusnya aku tidak memaksamu untuk bercerita. Pasti berat untukmu. Kemarilah.” Adrian membentangkan tangannya. Valerie tersenyum mendengar pengertian Adrian. Gadis itu langsung berhambur ke dalam pelukan pria itu. Hanya dalam dekapan kedua tangan Adrian sudah membuat Valerie merasa sangat nyaman. Dia bisa melupakan sejenak ketakutan yang melandanya tadi. Tidak ingin gadis itu melepaskan pelukan hangat ini. Bahkan dia ingin menukarkan apapun demi merasakan pelukan ini setiap hari. Tanpa mereka sadari, seseorang tidak sengaja melihat pasangan muda di dalam gua itu. Pria berkulit coklat gelap baru saja mengambil beberapa buah kelapa. Saat berjalan kembali dia mendengar suara Adrian dan Valerie. Dan dia semakin terkejut melihat pemandangan itu. Bukan karena mereka pasangan muda yang sedang berkencan. Tapi karena Valerie adalah putri Searlus yang akan membuat hidupnya tidak akan tenang. ⁂ ⁂ ⁂ ⁂ ⁂
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD