"Kamu taken sama anak tante aja gimana? Gratis kok, nggak perlu nyewa dulu."

2129 Words
Wanita dengan setelah ala anak kuliahan yang masih menempel sejak pagi itu menghembuskan nafas lelah, meletakkan barang bawaannya di lantai, lalu merebahkan tubuh di sofa. Rasa-rasanya hari ini ia ingin pingsan saja, agar tak bertemu dengan Bapak Awan Wawan Bakwan terhormat. Haish! Mengingatnya saja membuat wanita itu menggeram kesal. Setumpuk makalah dan sifat kejamnya berhasil membuat Pak Awan otomatis masuk dalam daftar hitam milik wanita itu. Ingat baik-baik! Pak-Awan-masuk-dalam-daftar-hitamnya. "Argh!" Nia mengusap wajahnya kasar. Bayangan kejadian siang tadi saat dirinya menyerahkan makalah pada Pak Awan benar-benar membuatnya frustasi. "Kamu itu tau PUEBI nggak?" Sinisnya saat ia baru saja membuka lembar pertama dari makalah. "I-iya, pak." Wanita itu menelan saliva susah payah, mengingat cara kerjanya yang asal-asalan tadi. Asal tumpuk, beres. "Kamu SD berapa tahun, hah?" Pak Awan mengetuk-ngetuk bolpoin nya ke meja. "Enam tahun, pak." "Yakin enam tahun?" Salah satu alis Pak Awan terangkat, menatap Nia dengan terang-terangan. Apalagi mimik wajahnya, seperti... menghinanya? Nia mengangguk dalam. Wajahnya, ia tundukkan dalam, tak berani menatap mata Pak Awan secara langsung. "Saya rasa kamu berbohong." "Lihat ini, baris pertama saja PUEBI-mu sudah salah. Penggunaan koma, ini juga penggunaan huruf kapital salah. Kayak gitu kamu ngaku lulus SD?" Pak Awan menatapnya tajam. "Nggak malu sama ijazah kamu? Ck! Kalau guru SD kamu tahu, pasti beliau sudah malu sekali punya murid seperti kamu. Bikin makalah aja nggak becus. PUEBI salah, ketikan nggak rapi, nulis asal-asalan. Sebenernya keahlian kamu itu apa, hah?" Lanjutnya. Wanita yang sejak tadi menunduk itu mengetatkan rahagnya, berusaha menelan mentah semburan naga dari lelaki dihadapannya itu dengan lapang d**a. Ia memejamkan mata. Perih rasanya saat kerja kerasmu sama sekali tak di hargai. Ralat, bukan hanya tak di hargai, tapi di caci maki! "Oh, saya tahu apa keahlian kamu." Pak Awan tersenyum meremehkan. "Murid teladan, kan? Terlambat datang, pulang duluan, eh?" Dasar Awan s****n! ~~~ Plak! "Aduh!" Teriakan kesakitan terdengar melengking dari bibir gadis yang sejak tadi terlentang di sofa. Kakinya yang sejak tadi menggantung pada sandaran sofa otomatis turun kebawah. Tubuhnya reflek menegak saat tahu siapa gerangan yang melakukan tindak k*******n padanya. "Kamu itu cewek. Bangun! Nggak patut cewek tiduran di sofa, mana kakinya naik ke ataa lagi. Bangun!" Nia mencebik kesal. Tangannya mengusap lengan bekas tampolan Ibunya. Mana langsung memerah lagi, ck, panas pula. "Hish! Sakit, bu." Sungutnya sebal. "Nia baru aja rebahan, udah di suruh bangun. Nia capek, bu." belum habis kekesalannya, wanita itu malah ganti merengek. "Kamu itu nggak ada kerjaan lain apa? Kerjaannya cuma rebahan terus." Balas ibu, tak memerdulikan rengekan putrinya. Nia berdecak kesal. Tubuhnya langsung melorot ke lantai saat tahu ibunya duduk di lantai. Sekesal apapun Nia pada ibu, sopan santun tetap nomor satu. Itu yang selalu diajarkan ibunya dulu. "Rebahan itu termasuk pekerjaan, ibuku. Saat rebahan kita berusaha untuk merilekskan badan," Alibinya. "Nggak gampang tahu!" "Halah! Kamu tiap hari kerjaannya cuma rebahan mulu. Kalo kata anak twitter nih, kamu itu termasuk kaum rebahan." Ibu menoyor kepala Nia pelan. Kembali mendapat tindak k*******n, wanita itu memberengut kesal. Astaga! Jika saja yang melakukan bukan ibunya, sudah dipastikan ia akan melapor pada polisi atas tuduhan p**********n dan tindak k*******n. "Ya biarin. Malah enak, kerjaannya rebahan mulu. Surga dunia." "Kamu itu kalo di bilangin ngejawab mulu. Udah sana mandi! Habis itu masak sana! Nanti habis isya ada tamu. Kamu yang masak." Nia membelalakkan mata. Hei, yang benar saja! Itu bukan tamu untuknya, lalu mengapa dirinya hang harus masak? Lagipula, dirinya baru sampai rumah 15 menit lalu. Badannya masih pegal linu, ditambah k*******n fisik dan mental yang ia dapat seharian ini membuat tubuhnya semakin remuk rasanya. "Eit-eit-eit," Ibu menggelengkan kepala dengan telunjuk yang mengikuti. "Ndak boleh protes." Serobot Mama saat mulutku baru saja terbuka. "Masak atau ibu nggak kasih uang jajan seminggu?" Argh! Tidak Ibu tidak Pak Awan sama saja. "Emang siapa sih tamunya? Ngrepotin aja." Gadis itu mencibir pelan. Tangannya lincah meletakkan piringan berisi makanan. Kali ini gadis itu memasak menu simpel, kangkung tumis, udang goreng tepung, ayam goreng krispi, dan sambal terasi. Yah, mengingat tubuhnya yang seperti rempeyek, rapuh dan gampang remuk, ia akhirnya memutuskan masak yang gampang-gampang saja. Terlebih lagi dirinya sedang dikejar deadline, harus merampungkan revisian makalah tadi siang. Jadi ia harus menghemat waktu dan tenaga sebaik mungkin. Baginya, kesehatan fisik, mental, dan batinnya adalah nomor satu. "Udah matang?" Entah muncul darimana, obu tiba-tiba saja sudah berada di samping Nia. "Hm." Jawabnya malas. Kali ini gadis itu masih sedikit merajuk pada Ibu. Udah tau anaknya banyak tugas, masih aja disuruh masak. Bikin repot aja! Ibu mencomot sepotong udang, "Nggak kamu kasih racun, kan?" Tanya Ibu menyelidik. Mata Nia mendelik, "Astagfirullah, ibu! Nia nggak sejahat itu, ya." Enak saja, sudah berbakti dengan memasakkan tamu-tamu ibu, masih saja dicurigai. "Ibu jangan kebanyakan nonton sinetron Ajab deh. Pikiran ibu jadi suudzon mulu," sungutnya kesal. Ibunya yang diprotes hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban, malas mendebat anak gadisnya yang banyak omong itu. "Bu, habis ini Nia mau ngerampungin revisian. Kan masaknya juga udah selesai. Jadi, jangan di ganggu, ya." Ucap Nia saat dirinya meletakkan wajan bekas tumis kangkung ke dish washer. "Eh, ya ndak bisa gitu dong!" Nah kan. ibu sewot lagi. Baru juga antenh sebentar, sudah balik ngajak ribut. "Kalau ibu butuh kamu gimana?" Lanjutnya. "Ya pokoknya Nia nggak mau diganggu. Nia mau ngerampungin revisian dulu. Besok harus sudah di kumpulkan. Kalau nggak di kumpulkan besok, IPK Nia bisa merosot." Tolaknya cepat. Toh, memang benar kan. Makalahnya harus dikumpulkan besok pagi. "Nia naik dulu." pamitnya tanpa perlu menunggu jawaban dari ibunya. ??? Nia mengencangkan volume earbuds yang menggantung ditelinganya. Pasalnya, suara gaduh dari lantai bawah terdengar sampai telinganya dan berhasil memecah konsentrasi. Rasa-rasanya ia ingin berteriak pada semua orang agar bisa diam sejenak. Nia butuh konsentrasi woy! Bagi siapa saja yang berisik, Nia toyor kepalanya. Jari gempal milik gadis itu menari cepat di atas keyboard laptop. Matanya sesekali menyipit saat menemui beberapa kesalahan dalam paragraf yang ditulisnya. Berulang kali telunjuknya memencet tombol backspace keras-keraa, kesal karena terlalu banyak kesalahan dalam makalahnya, dan berulang kali pula mulutnya komat-kamit membaca ulang paragraf yang ia tulis. "Nggak-nggak, ini nggak serasi." Monolognya. Lalu detik berikutnya tangannya dengan lincah menekan tombol backspace di sudut kanan keyboard. "Hih! Ribet banget sih." "Astaga, banyak banget coretannya." "Perasaan salah ku juga cuma sedikit, deh." "Pak Awan minum apaan sih, masa matanya bisa seteliti itu ngoreksi makalah ini." "k*****t! Ini kenapa banyak banget lingkaran merahnya?" "Nia udah nggak kuat Ya Allah. Kamera mana kamera?" Berkali-kali gadis itu memaki diri sendiri saat membaca ulang makalah tersebut. Baru kali ini ia sadar, ternyata dirinya memang segoblok itu. Sia-sia saja kuliahnya selama ini, PUEBI saja masih mengulang. "Ah, bodo amat lah. Capek." Keluhnya. Detik berikutnya tubuh gadis itu sudah menggelepar tak berdaya diatas karpet. Matanya terpejam, sejenak merilekskan diri karena terlalu kesal. Centung! Matanya terbuka lebar saat ponsel disamping kepalanya berbunyi. Tangannya meraba ponselnya dengan malas. Siapa sih yang berani mengganggunya kali ini? Ck, tidak tahu saja Nia sedang badmood super akut seharian ini. Pop up pesan dari salah satu aplikasi layanan chatting berwarna hijau serta-merta menyambut pandangannya. Mata gadis itu seketika terbelalak kaget. Pasalnya, dari sekian banyak kontak nomor di ponselnya, mengapa harus sosok laki-laki titisan jin itu yang mengiriminya pesan. Dan hei? Sejak kapan dia menyimpan nomor lelaki itu? Matanya menyipit mencoba memastikan kualitas retinanya. Bisa saja kan retina matanya tiba-tiba ngebug hanya karena sempat memikirkan lelaki itu. Awan D, S.Pd., M.Pd., Ph.d Sudut bibir gadis itu berkedut menahan geli. Aneh saja kenapa bisa namanya lengkap sekali dengan gelar bejibun milik bapak dosen menyebalkan itu. Makalahnya bisa kamu kumpulkan lusa. Saya tahu kamu bodoh. Makanya saya kasih waktu tambahan. 07.57 p.m. Tidak seperti nama dan gelarnya yang membuat Nia tersenyum geli, isi pesan yang dikirim Awan justru membuat wajah Nia kembali memerah karena panas. Panas karena Awan yang tak pernah luput menghinanya. Bolehkah Nia memaki Pak Awan sekarang juga? Nggak di kampus, atau di WA sama saja. Sama-sama suka nyinyir. Hih! Terkadang gadis itu merasa penasaran pada Awan. Mengapa hanya dirinya yang diperlakukan semena-mena oleh lelaki itu, sedangkan teman-temannya yang lain diperlakukan normal selayaknya dosen dan mahasiswa. Sebagai contoh, pernah suatu kali Nia dan 2 orang temannya terlambat menghadiri kelas dosen menyebalkan itu, dan ya, mereka bertiga berakhir dengan didepak dari kelas lelaki itu. Tapi-tapi, satu hal yang membuat Nia kesal sampai saat ini, mengapa hanya dirinya yang diceramahi, dimaki-maki, dan dipermalukan? Sedangkan kedua temannya yang lain hanya dipersilahkan meninggalkan kelas. Ia jadi berpikir apakah kehidupan sebelumnya ia terlahir sebagai upik abu yang memang ditakdirkan ngenes. Ya tapi, meski begitu tetap tidak adil dong. Kalau kehidupan sebelumnya ia berperan sebagai upik abu, seharusnya kehidupan saat ini ia menjelma sebagai ratu. Hoho. Rania Cans. Baik pak. Terima kasih. Malas rasanya menjawab pesan dari Pak Awan. Jangan lupakan, dirinya masih sangat kesal terhadap sikap Pak Awan yang semena-mena. Seringkali aku berpikir seberapa banyaj dosaku sehingga Pak Awan punya dendam kesumat padaku. Cklek! Netranya beralih melirik pintu yang terbuka. Disana, Ibu menyembulkan kepalanya, menatapku sejenak, lalu membuka mulutnya. "Kamu belum makan, kan? Ayok kita makan bareng." Gadis itu mengernyit heran, bukannya sedang ada tamu ya? "Lah, tamu Mama gimana?" Nia merubah posisinya menjadi duduk. Ibu tersenyum sekilas. "Kita makan bareng-bareng." Bareng-bareng? Hah? Maksudnya? Jangan bilang jika ia harus makan bersama dengan tamu-tamu ibu. Yang benar saja! "Udah nggak usah banyak mikir. Ayo cepetan turun. Udah di tunggu dari tadi." Titah ibu. Mau tak mau, gadis itu akhirnya mengikuti langkah ibunya. Tak apalah, sekali-kali nurut sama ibu. Lagipula ia juga belum makan sedari siang tadi. "Ini beneran Nia, Ni?" Gadis itu menengok cepat kala mendengar suara melengking saat kakinya baru saja menginjak undakan terakhir. Netranya langsung bersirobok dengan sosok yang terasa familiar dihadapannya. "Tante Yuli?!" Wanita yang hampir menginjak setengah abad itu tersenyum lebar padanya sampai deretan gigi putih bercampur gigi emas itu terlihat. Sedikit bercerita, Tante Yuli adalah teman dekat ibu saat masih di Jakarta, bahasa gampangnya temen satu gengnya ibu. Seringkali ibu mengajakku menginap ke rumah Tante Yuli untuk sekedar menemani Ibu ngerumpi sampai pagi. Ya, tapi itu sudah lama sekali terlewat. Terakhir kali aku bertemu tante Yuli saat berada di terminal 6 tahun lalu, saat hari kepindahanku dari ibukota. "Sekarang tambah cantik, ya?" Tante Yuli menghampiri. Sebagai anak yang baik dan cantik, Nia tentu saja menyambut tante Yuli dengan baik. Tangannya terulur untuk menyium punggung tangan wanita yang sudah tak muda lagi itu. Meski begitu, kelihatannya Tante Yuli masih sangat energik seperti ibu. Bagaimana lagi, mereka berdua seperti pinang dibelah dua dalam hal sifat, sikap, dan kemampuan kognitif. Nah loh, sudah seperti guru saja diriku menganalogikan ibu dan Tante Yuli. Nia menggenggam erat tangan tante Yuli setelah sebelumnya ia cium. "Tante apa kabar?" Tanyanya. "As you see. Tante baik. Tante kangen banget sama kamu." Gadis itu tersenyum lebar, "Nia juga kangen tante." Tante Yuli tersenyum sumringah. Detik berikutnya beliau menggiringku menuju meja makan dan mendudukkan diriku tepat disampingnya. "Nia udah taken belum nih?" tanyanya. Gadis itu mengerutkan kening, "Tante tahu istilah taken?" Tante Yuli mengangguk, "Iya, udah punya pasangan kan maksudnya," Gadis itu terpana dibuatnya. Kan, ibu dan Tante Yuli itu sama, emak-emak gahol yang tidak ingin ketinggalan zaman. "Ehe," Nia meringis kecil. "Belum tante." jawabnya. Bibir tante Yuli mengerucut. "Loh... kenapa? Nia kan cantik, udah jadi anak gadis lagi. Pasti banyak yang naksir, nih." Nia yang dipuji hanya mampu meringis. Tidak tahu saja bagaimana sosok Nia dikampus. Tomboy dan pecicilan. Hobinya main poker dan tepok nyamuk dikelas. Ya dilogika saja, mana ada cowok yang mau bersanding dengannya yang pecicilan ini. Nia ini tipe ukhti-ukhti tersesat yang akan insyaf kalau kepepet. Astagfirullahaladzim. "Aduh, eman-eman banget. Sama anak Tante aja gimana?" Tawar Tante Yuli. Nia mendesah pelan agar tak terdengar oleh Tante Yuli. Sudah ia duga sebelumnya, pada akhirnya pembicaraan ini akan mengarah pada jodoh-menjodohkan. Sudah hafal betul Nia kalau masalah ini. Pasalnya, bukan hanya sekali atau dua kali ibunya berkomplot untuk menjodohkannya dengan anak-anak sahabat ibu. "Pasti ibu, ya?" Mata Nia menyipit menatap ibunya yang hanya mesem-mesem tak jelas. Tante Yuli tertawa renyah. "Anak tante ganteng loh, masih ingat si Arta? Anak cowok tante," Tante Yuli sepertinya tak perlu repot untuk membuat alibi. Sudah kepalang ketahuan, langsung tabrak saja dengan memperkenalkan anaknya pada Nia. Alis Nia terangkat, "Tante punya anak cowok?" Sebelum-sebelumnya ia tak pernah tahu wanita dihadapannya ini punya anak laki-laki. Setahunya Tante Yuli hanya punya anak cewek, Artyas namanya. "Loh, kamu nggak tahu?" Suara melengking milik tante Yuli kembali terdengar. Pertanyaan wanita setengah abad itu disambut gelengan kepala oleh Nia. Tante Yuli berdecak keras hingga terdengar jelas di telinga Nia. "Si Arta itu emang nggak pernah pulang kerumah. Kerjaannya pergi terus, kalau nggak kuliah ya ngurus kebun di Tawangmangu." Nia hanya mengangguk saja mendengar cerita tante Yuli. Toh dirinya baru tahu kalau tante Yuli punya anak cowok. "Eh," seakan tersadar dengan sesuatu, Tante Yuli kembali menatap Nia yang berada di sampingnya. "Kamu taken sama anak tante aja gimana? Gratis kok, nggak perlu nyewa dulu." ~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD