1. Kerja rodi

1485 Words
Syahnaz Wijaya, 29 tahun. Pernah menikah di usia 25 tahun dan menjadi seorang janda saat menginjak usia 27 tahun hingga sampai saat ini. Diamond Velvet merupakan perusahaan unicorn, tempatnya bekerja menjadi sekretaris Bos selama kurang lebih dua tahun. Banyak yang bilang Nanaz beruntung karena bisa bekerja jadi sekretarisnya Bos yang gantengnya kelewatan itu. Tapi, bagi Nanaz, dia sama sekali tidak beruntung. Bagaimana tidak? Kerjaannya setiap hari harus menghadapi wanita-wanita sosialita yang mengaku pacarnya si Bos. Nanaz wajib menjawab setiap pertanyaan nggak penting yang mereka ajukan. Belum lagi Nanaz harus bohong kalau pertanyaan itu memang tidak bisa dijawabnya dengan jujur. Bahkan, yang lebih mengerikan lagi, pacar-pacarnya si Bos itu akan menerornya melalui telpon maupun WA dan media sosialnya yang lain. Gila nggak tuh? Kurang kerjaan banget, kan, mereka? Mentang-mentang Nanaz bekerja hampir 16 jam sehari dengan laki-laki itu, bukan berarti Nanaz tahu semua tentangnya. Adalah Kiano Sanjaya, seorang duda berusia 33 tahun. Lulusan MBA di Harvard university. Jika tampan adalah musibah, maka Kiano akan menjadi musibah paling dahsyat yang melanda Indonesia. Setidaknya, walau berat, Nanaz mengakui belum pernah melihat orang yang lebih tampan selain Kiano di Indonesia ini, bahkan artis-artis sekalipun. Walaupun nih, ya, dia punya tampang yang Indonesia banget. Tapi, sayang, ganteng-ganteng kayak srigala. Galak, egoistis, super nyebelin, nggak punya perasaan, kalau ngomong nggak pake mikir dulu, terutama sama Nanaz. Ah, pokoknya Nanaz benci bangetlah sama Bos-nya itu. Kalau bukan karena butuh duit untuk bertahan hidup, Nanaz sudah dari dulu angkat kaki dari perusahaan ini. Tapi, masalahnya, hidupnya bergantung dengan apa yang didapatnya di Diamond Velvet. Selain untuk membiayai hidupnya sendiri, dia juga memiliki seorang adik perempuan yang menjadi tanggung jawabnya sejak orangtuanya meninggal. Nanaz membuka pintu di depannya dengan pelan lalu nyengir ketika Kiano menoleh menatapnya. "Tadi ada apa, ya, Bapak manggil saya?" Kiano memiringkan kepalanya ke satu sisi. "Apa tadi ada yang nyariin saya?" "Banyak, Pak! Pacar-pacarnya Bapak nelpon ke saya semua nanyain kenapa telpon dari mereka nggak diangkat-angkat. Mereka neror saya nanyain Bapak lagi di mana, sedang apa, dan sama siapa?!" jawab Nanaz berapi-api. "Kamu kok ngegas gitu?" "Ya, gimana nggak ngegas? Bilangin dong, Pak, sama mereka jangan telpon saya melulu. Masa nanyain semua tentang Bapak sama saya, sih? Lagian, kenapa sih Bapak kasih nomer WA saya sama mereka? Saya sampe takut loh ngangkat telpon yang masuk ke WA saya!" Ada sebuah seringai muncul di wajah Kiano. "Ya itu, sih, derita kamu." Ah, bangkelah! "Kamu ngomong apa barusan?" "Eh?" "Dari muka kamu kelihatan kalau barusan kamu maki-maki saya dalam hati." "Bapak tuh buruk sangka, ya! Mana ada saya maki-maki Bapak." Kiano mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Ya udah, kamu boleh balik kerja." Nanaz mengangguk. "Baik, Pak, permisi ...." Nanaz kemudian beranjak, tanpa tahu kalau Kiano terus memandangi punggungnya sampai hilang di balik pintu. *** Seperti biasanya, setelah pulang dari kantor, Nanaz akan lanjut kerja menjadi asisten rumah tangga Kiano. Sekarang pukul lima, itu artinya sekitar jam sepuluh malam nanti, ia baru bisa pulang ke rumahnya. Menjadi ART, sebenarnya adalah pilihan yang harus diambilnya demi menambah pendapatannya untuk biaya kuliah adiknya. Selain itu, ada sesuatu yang sedang dibangunnya saat ini. Sesuatu yang menjadi keinginan kedua orangtuanya sejak dulu. Dan Nanaz berharap, usahanya ini tidak akan mengkhianati hasil. "Hah!" Nanaz mengembuskan napas lega lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa. "Akhirnya selesai juga kerjaan gue. Gila ya ini rumah gede banget! Apa nggak bisa dia nyari pembantu lagi buat bantuin kerjaan gue? Punya duit banyak juga. Dasar pelit! Sengaja kali ya pengen nyiksa gue?" Nanaz kemudian melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan mengecek notifikasi yang masuk. Ada banyak, termasuk dari pacar-pacarnya si Bos yang Nanaz beri nama Mak Lampir 1, 2, 3 dan seterusnya. Seperti biasa, mereka bertanya keberadaan Kiano dan apa yang sedang dilakukannya. "Meneketehe dia lagi di mana? Gue blokir aja deh, ah!" Nanaz kemudian memblokir semua nomor-nomor itu lalu membuka aplikasi game cacing yang sedang trend. "Mampus lu!" teriaknya tak lama kemudian. "Eh, k*****t! Gue yang bunuh, dia yang makan! Awas lu, ya! Gue matiin!" Nanaz tampak asik dengan permainan tersebut, dengan lihai ia menekan-nekan layar ponselnya dengan kedua jempolnya.  "Ya ampun, yang ini mirip banget sama si Bos kalau lagi marah! Hahaha!" serunya ketika melihat cacing berwajah vampir. "Yang ini juga mirip kalo lagi lihat cewek yang montok dikit. Dasar, mupeng lu! Gue matiin lu!" Sampai akhirnya, Nanaz ketiduran tepat pukul sepuluh malam. Ponsel yang tadi digenggamnya terjatuh ke lantai. Saat itulah Kiano datang dan menghampirinya. Pria itu berjongkok di sisinya, menatap wajahnya dengan perhatian penuh. "Kamu kerja keras kayak gini ... buat apa?" Kiano lalu memiringkan kepalanya ke sisi  lain, sedikit lebih dekat ke wajah Nanaz. "Berkali-kali saya meyakinkan diri saya kalau kamu itu biasa aja," lirihnya, "tapi nyatanya kamu itu sebenarnya memang cantik." Sejujurnya, Kiano sangat kagum dengan sosok Nanaz. Dia berbeda dari wanita-wanita yang selama ini dekat dengannya. Di matanya, Nanaz adalah wanita pekerja keras, rendah hati, sederhana dan sepertinya selalu punya alasan untuk bahagia. Kiano baru menemukan orang sepertinya. Nanaz juga satu-satunya karyawan perusahaan yang berani mengemukakan pendapat dan ketidaksukaannya terhadap dirinya. Selain itu, Nanaz suka mengeluh seolah-olah ia adalah istrinya, dan suka mengomel seakan-akan ia adalah ibunya. Namun, di balik sikapnya yang blak-blakan alias kurang ajar itu, Kiano sebenarnya .... "Hmmmhh." Nanaz tahu-tahu berganti posisi miring ke arahnya. Kiano menyunggingkan senyum tipis. Nanaz memiliki wajah khas Indonesia. Bulu matanya lentik, hidungnya lumayan mancung dan beralis tebal. Jika kebanyakan karyawati di kantornya melukis alis mereka, maka Nanaz tidak melakukannya. Dan bibirnya yang selalu dilapisi warna nude itu, membuat Kiano menatapnya lama-lama. Rasanya, ia ingin menciumnya. Akan tetapi keinginan itu luntur ketika melihat ada air mengalir dari sudut bibir tersebut. Saat ia hendak membangunkan Nanaz, tahu-tahu, ponsel di bawah kakinya menyala. Kiano mengambilnya dan melihat ada notif pesan WA dari kontak bernama m***m. Penasaran, Kiano pun membuka layar chat tersebut. Mbak Nanaz, mau nanya ... Kondom itu ada ukurannya, nggak? Kiano menyeringai lalu melirik Nanaz yang masih tertidur pulas. Ia kemudian mengetikkan balasan untuk si kontak bernama m***m itu. (Ada) Bagusnya ukuran apa, ya, Mbak? (XL) Oke, Mbak, Makasih hihihi Setelah mengirim pesan tersebut, Kiano lantas menghapus semua chat itu dan membangunkan Nanaz. "Hem." Kiano berdeham. "Naz? Nanaz?" panggilnya kemudian. Sudah jam sepuluh malam lewat, waktunya untuk pulang. "Nanaz!" Kiano berseru lebih keras. "Siap, Bosque!" Nanaz terbangun dengan wajah kaget bukan main. Karena gerakan Nanaz yang tiba-tiba tersebut, jarak wajah keduanya sangat dekat sehingga Kiano bisa melihat mata Nanaz yang merah akibat masih mengantuk. "Kamu sebaiknya pulang, ini udah lewat jam kerja," ujar Kiano sambil bangkit dan mengangsurkan ponsel milik Nanaz di tangannya. Nanaz memandang sekeliling, mengambil ponsel tersebut sambil berkata, "Ya ampun, udah jam segini! Ketiduran saya, Pak!" "Cuci muka sebelum pulang. Bahaya nyetir kalau lagi ngantuk. Entar yang ada kamu malah nabrak rumah orang, terus minjem duit sama saya buat ganti rugi." Perhatian yang terselubung, namun sayang Nanaz tidak peka. Nanaz tidak menyahut lalu beranjak menuju kamar kecil. Tak lama kemudian, ia muncul dengan wajah fresh dan senyum lebar. Melihat itu, lagi-lagi Kiano kagum dengan dirinya. Sudah lelah bekerja seharian begini, masih aja bisa ceria, seolah-olah tidak ada beban yang dipikulnya. "Saya pulang dulu, ya, Pak. Selamat malam dan selamat beristirahat." "Kamu juga," ucap Kiano acuh tak acuh. Nanaz kemudian melenggang menuju pintu. Tiga menit kemudian, saat Kiano hendak menutup pintu, Nanaz muncul lagi dan meneriakinya. "Pak!" "Kenapa? Ada yang ketinggalan?" Nanaz nyengir. "Pak, itu ... si Beno mogok lagi. Bantuin si Ujang dorong, ya? Hehehe." Beno merupakan mobil butut yang senantiasa mengiringi perjalanan hidup Nanaz sejak jaman SMA. Mobil yang selalu menyusahkan orang-orang di sekitarnya, termasuk Kiano yang tak jarang selalu ikut andil untuk mendorongnya. "Kamu itu, ya, gaji jadi sekretaris saya kan lumayan banyak. Kenapa nggak ganti sama yang baru aja?" Nanaz tergelak. "Ya ampun, Pak. Beno itu udah seperti belahan jiwa saya sejak SMA. Mana mau saya ganti dia sama yang lain. Lagian, masih bisa dipake juga kok." "Bisa apanya? Yang ada nyusahin saya terus." "Astaga naga, Bapak. Sekali-kali dong saya nyusahin Bapak, masa Bapak terus yang nyusahin saya?" Tuh, kan? Mulai kurang ajarnya. Kiano mendengkus. "Ya udah, ayo saya bantu dorong." Nanaz tersenyum senang lalu memanggil Ujang, satpam yang menjaga rumah Kiano. "Ujang, sini buruan!" "Iya, Mbak!" Ujang mendekat dan tersenyum pada Kiano yang menatap keduanya dengan tampang masam. Nanaz kemudian masuk ke mobil sedan keluaran tahun 1990-an tersebut lalu melongokkan kepalanya dari jendela. "Ayo, gaes! Semangat ya dorongnya! Jangan kasih kendor!" Kiano memutar bola matanya namun tetap ikut membantu Ujang untuk mendorong mobil Honda Genio tersebut.  Saat mobil itu hampir menuju gerbang, mesinnya menyala dan terdengar suara Nanaz mengucapkan terima kasih dari dalam mobil. Lalu, mobil tersebut pelan-pelan menjauh, meninggalkan halaman rumahnya. "Hati-hati di jalan," ucap Kiano pelan, namun rupanya bisa didengar oleh Ujang. "Kenapa baru bilang, Pak? Orangnya udah pergi." Kiano menoleh menatap Ujang dengan ekspresi tak suka, Ujang pun seolah-olah seperti kerupuk yang disiram air panas. "Selamat malam, Pak. Saya balik ke Pos dulu," ucapnya takut-takut lalu ngacir. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD