4. Rindu menguras hati

1262 Words
*** "Messy!" "Hadir, Pak!" Messy terkejut ketika secara tiba-tiba Kiano datang menghampiri meja kerjanya. Lipstik yang harusnya dioleskannya ke bibir, justru meleset membentuk coretan panjang hingga ke pipi. "Nanaz ke mana? Kok, dia nggak ada?" Messy menunjuk ke arah pintu keluar. "Katanya sih tadi sama Messy pergi ke makam, Pak." "Apa? Makam? Makam siapa?" "Memangnya ada perlu apa, ya, Pak? Telpon aja, Pak, suruh balik. Pasti entar Mbak Nanaz-nya gercep. Soalnya, dia pernah bilang, mending digigit buaya ketimbang digigit Bapak. Eh!" Kiano menatap Messy dengan alis berkerut-kerut. "Memangnya saya apaan mau gigit-gigit anak orang? Monyet?" "Kalau kata Mbak Nanaz, sih, bukan monyet, Pak. Tapi, kucing garong." Kiano mendengus. "Kalian sering gibahin saya, ya?" "Ehhhm, nggak sering, sih, Pak. Tapi, ada sih sesekali kalau lagi gabut. Hehehe." Kiano menggelengkan kepalanya, tak habis pikir bagaimana dia bisa mempertahankan karyawati seperti Nanaz maupun Messy yang menurutnya terkadang bukan seperti perempuan pada umumnya. Yang satu kurang ajar, yang satunya kelewat polos dan b**o. "Kamu tahu di mana makamnya?" "TPU Pondok Kelapa sih kalo nggak salah, Pak." Kiano diam sejenak, ekspresinya seolah terkejut mendengar nama tempat itu. "Oke, makasih," lanjutnya lantas beranjak menuju pintu keluar gedung. "Ah, Bos bangsul. Ngangetin aja. Tuh, kan, jadinya muka gue kecoret!" cibirnya ketika melihat pantulan wajahnya di cermin kecil yang selalu dibawanya ke mana-mana. *** Sudah lebih lima belas menit Nanaz di sini, di depan makam dengan nisan bertuliskan Arkan Wicaksono, yang wafat tahun 2017 silam. Ia mungkin bersedih, namun air matanya sudah kering, sehingga ia tidak bisa menangis lagi. "Aku rindu ...," lirihnya. Menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Aku udah kuat kan, Ar? Aku udah nggak nangis lagi kalau ke sini. Itu artinya, aku mulai baik-baik aja, tanpa kamu ...." Arkan merupakan pacarnya sejak di SMA sampai di bangku kuliah. Di mata Nanaz, Arkan adalah suami yang baik, pengertian dan penyayang. Yang paling Nanaz suka darinya ialah, Arkan tidak pernah berbicara dengan nada tinggi padanya sekalipun jika ia sedang marah. Dia hanya akan mendiamkan Nanaz selama satu hari, lalu keesokan paginya ia akan memeluk Nanaz dan bersikap seolah-olah masalah kemarin tidak pernah ada. Ia murah senyum dan sangat menyukai anak kecil. Meski selama dua tahun pernikahan Nanaz belum memberikannya keturunan, namun kasih sayangnya tidak pernah luntur sedikit pun. Ia mencintai Nanaz apa adanya, dengan segala kekurangannya. Namun, Tuhan begitu menyayanginya sehingga ia dipanggil begitu cepat. Arkan meninggal karena kecelakaan tunggal dua tahun yang lalu di sebuah jalan raya. Ia pergi meninggalkan Nanaz, tanpa pesan, tanpa pertanda. Kepergiannya meninggalkan banyak luka, menciptakan ruang rindu yang setiap saat terasa kosong. Nanaz merindukannya. Sangat merindukannya. Itu sebabnya ia ada di sini sekarang. Sudah dua tahun, namun rindu ini masih menguras hati. Bagi Nanaz, hal yang paling sakit dari kepergian seseorang untuk selamanya adalah, ketika merindu, tidak akan ada masa untuk bertemu. "Aku pulang dulu, ya?" Nanaz mengusap lembut nisan berwarna hijau tersebut lalu berdiri. "Besok-besok aku dateng lagi." Saat ia berbalik, betapa terkejutnya ia ketika mendapati sosok Kiano berdiri di depannya dengan kedua tangan di dalam saku celananya. "Bapak tuh ngagetin tahu nggak?" semprot Nanaz. "Ini makam siapa?" "Suami saya," jawab Nanaz agak lambat. Kiano mengangguk dan tidak bertanya lagi. Ia hanya melirik sekilas nama yang tertera di nisan itu, juga tanggal lahir dan wafatnya. "Bapak sendiri ngapain ke sini?" Nanaz bertanya sambil berjalan menuju tempat parkir. Kiano menunjuk ke sebuah makam di bagian lain. "Saya habis ziarah ke makam istri dan anak saya." Nanaz mengerjapkan matanya. "Oh," cicitnya, tiba-tiba merasa tak enak hati. Nanaz tahu kalau tiga tahun yang lalu, Kiano kehilangan anak dan istrinya sekaligus akibat kecelakaan beruntun di sebuah jalan tol. Dalam kecelakaan itu, hanya Kiano yang selamat, sementara istri dan anaknya yang berusia satu tahun meninggal dunia di tempat. Nanaz mengetahui cerita itu dari salah seorang rekan kerjanya di kantor. "Udah dua tahun saya nggak ke sini." Alis Nanaz terangkat. "Hah? Selama itu?" Kiano mengangguk. "Datang ke sini hanya bikin saya sedih." Nanaz tidak tahu harus berkata apa. Ini kali pertama ia melihat sisi lain dari Kiano. Selama ini, ia pikir pria itu tidak punya hati jadi dia mungkin tidak pernah merasa sedih atau apa. Akan tetapi, saat ini, ia melihat ada kesedihan yang sama di matanya. Tenyata, mereka sama-sama kehilangan orang yang mereka cintai dengan cara yang sama. Karena Nanaz tidak memberikan respons, Kiano menambahi, "Nanti malem saya makan di rumah. Tolong kamu masakin makanan buat saya." Nanaz mendecih. "Iya, Pak, nanti saya masakin." Kiano kemudian berjalan menuju mobil miliknya, begitupun Nanaz. Mereka berjalan beriringan keluar dari area TPU.  Ketika melintasi jalan yang terbilang sepi, Nanaz mendengar Kiano membunyikan klaksonnya berkali-kali. Nanaz lalu menghentikan mobilnya dan mengeluarkan sedikit kepalanya melalui jendela. Dilihatnya Kiano turun dari mobil dan mendekatinya. "Kenapa, Pak?" Kiano mendengkus. "Ban mobil saya kayaknya bocor." Nanaz melirik mobil mewah tersebut dari kaca spionnya kemudian terkikik geli. "Terus?" Kiano lagi-lagi mendengkus. "Ya saya numpang kamulah balik ke kantor." Nanaz pura-pura berpikir. "Hmmm, gimana, ya ...." "Oke, makasih," ucap Kiano dan memutari mobil Nanaz lalu masuk dan duduk di jok sebelahnya. "Saya kan belum bilang, oke, Pak." "Oh, jadi maksudnya kamu mau ninggalin saya di tempat ini sendirian, gitu?" "Ya tapi gimana itu mobilnya? Entar dimaling loh! Mana sepi lagi di sini," ucap Nanaz, menakut-nakuti sambil melihat ke sekitar. "Nanti di depan kita cari bengkel, suruh mereka benerin. Buruan jalan, saya masih banyak kerjaan di kantor." "Hadeeeh. Bapak tuh ngerepotin saya aja deh." Kiano tidak merespons. Ia melipat tangan di depan d**a sambil menatap Nanaz. Sialnya, pandangan mereka langsung bertemu dan Kiano merasa sosok di hadapannya itu terlihat indah ketika dihujani sinar matahari sore. Bagaimana bisa, seorang perempuan yang kerjanya ngeluh dan protes ini terlihat istimewa dibandingkan dengan wanita-wanita yang selama ini dekat dengannya? "Bapak ngapain ngelihatin saya kayak gitu? Muka saya ada yang aneh?" Nanaz merasa, ia lalu mengusap wajahnya sebanyak dua kali. "Iya, muka kamu aneh." Nanaz mendecih lalu menginjak gas dengan tiba-tiba sehingga Kiano sedikit agak terdorong ke depan. Melihat itu, Kiano hanya bisa mendengus sebal. Ia memandang sekeliling mobil. Meski sudah dimakan usia, ternyata isi mobil ini masih sangat mulus. Tahu-tahu, sebulan lagu dari Sheila On 7 bertajuk "Hari bersamanya" menjadi backsound perjalanan mereka. Semilir angin yang berhembus dan sinar matahari sore yang menerobos masuk ke dalam mobil, membuat Kiano merasa saat itu adalah saat paling nyaman ketika ia bersama seseorang. Ia kemudian menoleh menatap Nanaz yang membuang muka pada detik yang sama, seolah-olah ia baru saja memandangnya lebih dulu. "Bapak kenapa nggak menikah lagi?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Nanaz. Kiano berdeham sebelum menjawab, "Saya belum ketemu sama yang pas." "Masa? Apa kabar tuh pacar-pacarnya Bapak yang banyak itu? Masa satu pun dari mereka nggak ada yang pas. Kebanyakan milih, sih ...." "Kenyataannya memang nggak ada. Saya sama mereka cuma temen kencan biasa." "Oh." Nanaz manggut-manggut mendengarnya. "Kamu sendiri, kenapa nggak menikah lagi?" Nanaz hanya tersenyum, tidak memberikan jawaban sama sekali. "Masih belum move on?" Suara tawa keluar dari bibirnya. "Saya baru aja memutuskan untuk mencintai seseorang." Kiano mengangkat alisnya. "Siapa?" Nanaz mengedikkan bahu. "Nggak tau siapa. Yang jelas bukan, Bapak." "Kamu bisa nggak kalau di luar jam kerja, jangan panggil saya Bapak. Memangnya saya Bapak kamu apa?" "Terus, saya manggil apa dong? Masa nama? Kan, nggak etis." "Ya nggak masalah. Panggil aja nama saya. Apa susahnya?" "Nggak bisa, Pak. Udah mendarah daging panggilan Bapak buat saya." Kiano mendesis, Nanaz terkikik geli. Melihat bagaimana wajah kesal Kiano membuatnya cukup merasa terhibur. "Di depan ada bengkel," kata Kiano seraya menunjuk ke sisi kiri jalan. "Okey!" Nanaz membawa mobilnya ke sana. Setelah Kiano turun, ia langsung tancap gas, membuat Kiano terkejut. Bisa didengarnya dengan jelas suara Nanaz berteriak dari dalam mobil. "Saya tinggal, ya, Paaak! Daaah!" Kiano mengembuskan napas panjang, lalu berseru, "Cuma dia yang berani giniin saya! Heran ...." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD