3. Ambyar

1597 Words
**** Jam menunjukkan pukul sebelas siang ketika Nanaz dihampiri oleh seorang nenek-nenek berusia sekitar 60 tahun. Nanaz pun menyambut kedatangannya dengan baik. "Selamat siang, Nek, ada yang bisa saya bantu?" Selama Nanaz bekerja di sini, baru kali ini ada seorang nenek yang datang ke kantor. Ia bertanya-tanya dalam hati siapakah gerangan nenek ini dan apa tujuannya. "Jangan panggil Nenek, ah. Panggil aja aku, Mbah," ralat beliau dengan logat jawa yang kental. Ia membuka tas yang diapitnya di bawah ketiak, kemudian mengambil ponsel pintar dari dalamnya. "Sebentar, ya. Aku telpon dulu." Nanaz mengangguk, masih dengan ekspresi penuh tanya. "Halo, Kiano? Ini aku, si Mbah. Aku udah di kantormu. Lah, iya, sekarang. Kamu di mana?" Nanaz mengamati nenek tersebut dengan seksama, masih menerka-nerka. Apakah ini neneknya si Bos? Tapi, sepertinya bukan. Setahunya, Kiano sudah tidak punya nenek lagi. Terus, kok, bicaranya ... aku-kamu, ya? Tiba-tiba, pintu ruangan milik Kiano terbuka dengan dramatis, lalu sosoknya yang rupawan muncul. "Mbah?!" seru Kiano, seolah-olah sedang menemukan oase di padang pasir. "Nah, itu dia orangnya!" kata si Mbah pada Nanaz yang masih berpikir keras. "Ayo, Mbah! Saya udah nggak tahan lagi!" Kiano mendekat, menarik tangan keriput si Mbah dengan semangat. Nanaz mengamatinya dengan curiga. Dan tanpa bisa dicegah, otak korengannya langsung terkontaminasi. Ditambah lagi ketika Kiano berseru padanya, "Kalau ada yang nyari saya, bilang aja saya lagi makan siang di luar. Dan jangan panggil saya sebelum kami selesai. Oke?" Nanaz mengerjapkan mata. "Memangnya Bapak mau ngapain?" Bukannya menjawab, Kiano segera masuk ke ruangannya sambil menyeret nenek tadi dengan antusias. Kiano juga menutup seluruh tirai jendela seperti biasa saat ia mengajak pacarnya untuk ajojing di dalam sana. "Astaga!" Nanaz menutup mulut dengan kedua tangannya. Pikirannya mulai kotor, membayangkan kalau-kalau Kiano dan si Mbah tadi akan melakukan hal-hal yang tidak dinginkan. Dilihat dari cara Kiano menatap si Mbah saja pun sudah terlihat mencurigakan. Awalnya, Nanaz berusaha untuk berpikir positif. Otaknya memang senantiasa berpikiran kotor, namun kali ini ia berharap ia salah. Mungkin Kiano ada urusan penting dengan si Mbah. Tapi, kenapa tadi dia bilangnya sudah tidak tahan lagi? "Nggak mungkin, otak korenganku plis berpikirlah positif," katanya pada dirinya sendiri. Lima menit kemudian, ia mendapati dirinya tak lagi konsentrasi melakukan pekerjaannya. Ia lalu beranjak, mengendap-endap menuju pintu ruang kerja Kiano lalu menempelkan telinganya di pintu. "Aaaah! Jangan di sana, Mbah! Geli!" Nanaz merosot jatuh ke lantai dengan mulut terbuka lebar ketika mendengar suara Kiano barusan. "Yang ini, geli ndak?" "Yang itu nggak. Aaaah, agak ke bawah sedikit, Mbah!" kata Kiano terdengar seperti sedang mendesah keras. Hidung Nanaz kembang kempis mendengar percakapan tak senonoh tersebut. Gimana bisa mereka?! "Iya, begitu, Mbah! Ehmm, enak banget, Mbah! Ahhh!" Anjirrrrrr. Dasar Bos lucknut! Tak tahan mendengarnya, Nanaz langsung berdiri dan menggedor-gedor pintu tersebut. "Pak! Buka, Pak!" serunya. "Pak Kiano! Buka, Pak, pintunya!" Tak lama kemudian, pintu terbuka, namun hanya sedikit. Dari balik pintu itu, Kiano melongokkan kepalanya. "Ada apa kamu panggil-panggil saya?" Melihat Kiano tak lagi memakai kemejanya, Nanaz langsung melotot. "Bapak lagi telanjang, ya?!" serunya, berusaha mendorong pintu, namun Kiano menahannya dari dalam. "Eh, eh, mau ngapain kamu? Saya lagi nggak pake celana ini!" Nanaz semakin kesetanan. "Astagfirullah, Pak! Buka nggak pintunya! Minggir, nggak? Saya mau lihat!" "Lihat apa? Kamu mau lihat saya nggak pakai celana?" "Saya mau lihat semuanya! Buka, nggak, Pak?" Kiano menatap Nanaz dengan pandangan horor. "Kamu ini kenapa, sih? Saya tuh lagi sibuk di dalam. Nanti kalau sudah selesai, saya kasih lihat semuanya!" Blam! Pintu di depan wajah Nanaz tertutup rapat dan kembali dikunci. "Ya Allah. Apa salah gue.... Kenapa gue punya Bos yang kerjanya kimpoi melulu...," Nanaz kembali ke mejanya dengan langkah terseok-seok. "Mbak Nanaz kenapa?" tanya Messy yang datang sambil membawa beberapa berkas dan ditaruhnya di atas meja kerja Nanaz. "Gila sih ini, Mes, gue nggak nyangka kalau Bos kita itu ternyata udah jadi maniak seks, sampe nenek-nenek pun dia embat juga." Messy kaget dong. "Hah, maksudnya gimana ya, Mbak?" Nanaz menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Kamu tadi lihat nenek-nenek masuk sini nggak?" "Iya, lihat. Katanya mau ketemu Pak Kiano. Memangnya kenapa, Mbak?" "Mereka lagi ...," cicit Nanaz, tak sanggup lagi berkata-kata. "Lagi apa?" "Ajep-ajep." "Hah? Maksudnya, lagi sawadikap skidipapap biskuit ahoy?" Nanaz mengangguk lemas. "Gue nggak nyangka, Mes." "Mbak taunya dari mana?" "Gue denger sendiri si Boss mendesah-desah gitu. Gue ngerasa jyjyk." Tak percaya begitu saja, Messy lalu mendekati pintu dan menempelkan telinganya di sana. Samar-samar bisa didengarnya suara Kiano mendesah dan menggeram. "Udah, keluarin aja. Jangan ditahan-tahan. Mbah ikhlas kok, lahir batin." "Ya ampun, Mbak? Mereka lagi ngapain itu di dalem?" Dengan wajah pias, Nanaz menggeleng. "Masa iya sih, Bosque mau ajep-ajep sama nenek-nenek? Kok, Messy nggak percaya, ya?" "Jadi, ngapain coba mereka di dalam? Tirainya aja ditutup gitu. Terus, tadi si Bos bilangnya udah nggak tahan lagi. Gila nggak, tuh?" "OMG. Serius, Mbak? Ini juga barusan kata si Nenek suruh keluarin, jangan ditahan-tahan." "Astaga." Nanaz menutup mulutnya, terperangah. Pikiran kotor seakan memenuhi kepalanya. Tiga puluh menit kemudian, pintu ruangan itu terbuka dan si Mbah muncul dengan wajah sumringah. Messy dan Nanaz menatapnya penuh selidik. "Eh, kamu sekretarisnya Kiano, ya?" tanya si Mbah pada Nanaz. "I-iya, Mbah." "Aku disuruh minta bayaran sama kamu." Messy menutup mulutnya, kaget. Nanaz terkesiap. "Bayaran?" Si Mbah tersenyum. "Lah, iya. Katanya, Kiano lagi nggak punya uang cash. Jadi, aku disuruh minta sama kamu. Ndak banyak. Seratus ribu aja." Messy dan Nanaz saling pandang beberapa saat. "Sebentar, Mbah." Nanaz merogoh tasnya, mengambil dompet dan mengeluarkan selembar uang. "Maaf, Mbah, memangnya segini cukup?" "Ya cukup, yang penting bisa buat makan." Hati Nanaz teriris mendengarnya. Messy lalu bangkit, mendekati si Mbah. "Maaf, Mbah, kalau boleh tahu, apa Mbah sering melakukannya dengan Bos kami?" "Ya sering. Setiap ada kesempatan." Messy melongo. "Apa Mbah ikhlas melakukan semua ini?" "Aku ikhlas, lahir batin." Nanaz berdeham. "Mbah melakukan ini tanpa paksaan sama sekali? Kok bisa sih, Mbah ...." "Hari ini, sebenarnya aku tuh ndak mau ke sini. Tapi, karena dia sudah ndak tahan, ya mau ndak mau, aku datang." Messy memegang tangan Nanaz dengan lemas. "Ya ampun, Mbak. Messy nggak nyangka." Nanaz mengangkat kedua tangannya lalu membuat gerakan seperti meremas-remas. "Mbah sama si Bos habis gini-gini?" Si Mbah mengangguk. "Lah, iya! Ngapain lagi, toh?" Messy merosot ke lantai. "Ya ampun." Nanaz menyerahkan uang seratus ribu tersebut kepada si Mbah lalu berjalan menuju ruangan Kiano. Tanpa ba-bi-bu, ia masuk dan menghampiri Kiano yang sedang mengancing kemejanya. "Mulai hari ini, saya mengundurkan diri, Pak!" Kiano mengangkat alisnya. "Mengundurkan diri? Kok tiba-tiba? Memangnya ada apa?" "Saya capek, Pak, hidup kayak gini. Dosa saya udah banyak, Pak." "Maksudnya gimana? Kamu mau mati?" Nanaz memejamkan matanya sejenak, berusaha mengendalikan emosinya. "Bisa-bisanya, ya, Bapak melakukan hal kayak gitu. Saya benar-benar nggak nyangka. Selama ini saya udah cukup bersabar menghadapi Bapak. Jangan mentang-mentang saya diam aja, Bapak jadi seenak-enaknya aja melakukan perbuatan itu di depan saya!" Melihat Nanaz begitu murka, Kiano mengerutkan keningnya. "Kamu kenapa, sih? Kerasukan setan?" "Udahlah, Pak! Nggak usah pura-pura b**o! Memangnya nggak ada perempuan lagi apa, sampai nenek-nenek pun Bapak embat juga?!" Nanaz kemudian meremas kemeja bagian atas miliknya, lalu memalingkan wajahnya seolah tak sudi menatap Kiano. "Bapak itu benar-benar ... menjijikkan." "Hei, hei, Nanaz. Kamu kok ngomongnya gitu? Saya Bos kamu loh ini." "Saya tuh lelah, Pak. Selama saya kerja di sini, saya banyak bohongnya. Itu semua gara-gara Bapak. Saya selalu bohong sama pacar-pacarnya Bapak. Belum lagi saya cuma bisa diam setiap Bapak ajep-ajep di dalam ruangan ini sama perempuan-perempuan itu. Saya jadi merasa ikutan kotor, Pak. "Tapi, yang bikin saya nggak nyangka, Bapak tega memanfaatkan seorang nenek-nenek hanya untuk kepuasan napsu sesaat. Dibayar seratus ribu doang, dan itupun pake duit saya!" Kiano akhirnya mulai paham arah pembicaraan ini. Ia kemudian berdiri, membuka kancing kemejanya. "Eh, eh, Bapak mau ngapain?" "Kamu mau lihat semuanya, kan?" Kiano berjalan mendekat. Di saat seperti ini pun, mata Nanaz yang kurang ajar itu tetap melihat betapa seksinya d**a bidang plus perut kotak-kotak milik Kiano yang benar-benar spektakuler itu. "Jangan macem-macem, ya, Pak! Walaupun Bapak itu ganteng, bukan berarti saya mau diajakin ajojing sama Bapak. Gini-gini, saya punya harga diri, Pak!" Tepat saat itulah Kiano membalikkan badannya. Dan, Nanaz langsung terperangah. Mampus! Ternyata ... "Kamu lihat ini? Saya habis dipijat dan dikerok sama si Mbah." Kiano mundur sehingga jarak wajah Nanaz begitu dekat dengan punggungnya yang terdapat garis-garis merah akibat kerokan. "Ehm, a-anu, sa-saya—" Kiano memutar tubuhnya sehingga menatap Nanaz. Ia memajukan wajahnya ke wajah Nanaz lalu menyentil dahinya. "Dasar otak korengan!" "Aah!" Nanaz mendesah kesal, lebih kepada dirinya sendiri. "Ya-ya salah sendiri, kenapa nggak bilang. Kan saya jadinya—" "Jadi apa? Kamu pikir saya laki-laki macam apa?" "Eummm." Nanaz mati kutu. Dasar bodoh! makinya pada diri sendiri. "Pake bilang saya menjijikkan segala, lagi. Terus, itu apaan tadi pake bahasa-bahasa aneh. Ajep-ajep, ajojing?" "Maaf, Pak. Saya salah paham," ucap Nanaz kepalang malu. Kiano tergelak. "Asal kamu tahu, ya. Si Mbah itu tukang pijat langganan saya sejak dulu. Biasanya, saya yang datang ke rumahnya. Tapi, hari ini saya nggak bisa ke sana. Semua badan saya sakit-sakit nggak tau kenapa." "Ya iyalah sakit, kebanyakan ajep-ajep," gumam Nanaz pelan. "Apa kamu bilang?" "Eh? Enggak. Ya udah, maaf, ya, Pak. Saya benar-benar nggak tau." Nanaz menundukkan kepalanya dalam-dalam, dan mendongak dengan wajah penuh penyesalan. "Jadi, kamu masih mau mengundurkan diri?" tanya Kiano dengan senyum menyeringai. Nanaz nyengir. "Ehehehe, enggak, Pak. Saya masih betah kok kerja di sini." "Tapi, tadi bukannya kamu bilang kerja di sini banyak bohongnya?" "Eemm, itu. Ah, ya udahlah, Pak. Anggap aja tadi bukan saya yang ngomong, tapi setan." Kiano terkekeh-kekeh. "Ya udah, kamu boleh pergi." Nanaz merasakan wajahnya menghangat. Rasanya malu banget. Sumpah, malu sekaleee. Ketika ia hampir mencapai pintu, Kiano berseru padanya. "Makasih, ya, kamu udah ngelawak. Saya jadi terhibur. Hahahaha." Ah, k*****t. Siapa juga yang ngelawak! Nanaz keluar dari ruangan itu dan langsung memukuli kepalanya dengan gemas. "Haduuuh, dasar bodoh! Dasar otak ya mikirnya jorok mulu! Heran. Aahhh! Ngeselin!" Messy menghampirinya sambil berseru, "Mbak, ternyataaaa ... si Mbah yang tadi itu, tukang pijat langganannya Bos kita. Terus, yang dikeluarin dan jangan ditahan-tahan itu maksudnya, Pak Bos mau kentut pas lagi dpijat sama si Mbahnya. Huahahahahaha!" Nanaz memberengut. "Udah, ah, nggak usah dibahas." "Hihihi, terus tadi di dalam, Mbak Nanaz ngomong apa aja sama si Bos?" "Nggak mau bahas itu. Mending kamu ngelawak deh biar aku terhibur." "Messy kan nggak bisa ngelawak, Mbak. Messy pinternya gibah. Gibah aja yuk?" Nanaz mendengkus kesal lalu beranjak. "Lah? Mau ke mana, Mbak? Nggak jadi nih gibahnya?" Nanaz terus berjalan, meninggalkan Messy bersama jiwa gibahnya yang menjerit-jerit. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD