Chapter 3

2003 Words
"Ada apa dengan raut wajahmu itu?" Zero menatap aneh pelayannya itu. "I-itu ... saya tidak bisa mengajari Anda, Pangeran," jawab Eather sambil mengalihkan pandangannya. "Jangan bercanda, banyak gadis yang yang mengejarmu." Zero bangkit dan merenggangkan tubuhnya. "Saya sendiri tidak paham akan hal itu, Pangeran," jawab Eather kembali dengan wajah datarnya. "Apa kau  punya kekasih?" tanya Zero sambil berjalan ke jendela besar dekat sofa yang ia duduki tadi. "Tidak, Pangeran. Saat ini saya hanya ingin melayani Anda," jawab Eather sambil membungkuk dalam. "Mengapa kau  sangat setia sekali padaku? Apa alasanmu? Aku tahu ini tidak ada hubungannya dengan kenyataan kau  adalah sepupuku," tanya Zero sambil melirik Eather dari ekor matanya. Eather tertegun, tidak ada yang mengetahui jika dirinya adalah sepupu dari Pangeran kecil di depannya, termasuk Ratu kerajaannya sendiri. "Tidak perlu sekaget itu, kudapat merasakan darah Phanthom di dalam tubuhmu," kata Zero sambil terkekeh. "Alasankah?" Eather terkekeh lalu menyeringai menatap Zero. "Alasanku adalah karena kupercaya Anda akan menjadi Raja dari Para Raja Iblis menggantikan Yang Mulia Viper," lanjut Eather. "Kau  lancang sekali berkata seperti itu." Zero terkekeh lalu membalikkan tubuhnya untuk melihat Eather. "Tetapi belum saatnya kau  mati. Apakah kau  tahu? Jika aku menggantikan Ayah Viper, pasti Beliau akan senang sekali untuk tinggal di sini," lanjut Zero kembali membalikkan tubuhnya menatap luar jendela. Eather tidak menjawab, ia hanya terkekeh. Jarang sekali Eather banyak tersenyum mengingat ia selalu menampilkan wajah datarnya. Lama mereka berdua terdiam akhirnya Zero kembali bersuara. "Eather," panggil Zero. "Ada apa, Pangeran?" jawab Eather yang masih setia berdiri di belakang Zero. "Aku lelah menggunakan tubuh ini," jawab Zero setengah berbisik. "Bertahanlah, Pangeran. Hanya butuh satu tahun lagi untuk kembali ke tubuh normal Anda," jawab Eather menatap prihatin sang Pangeran. Zero mengangguk, pemuda bersurai emas itu memiliki rahasia terbesar yang ia simpan dari siapa pun kecuali pelayan setianya itu. Zero berjalan menuju sofa dan kembali duduk dengan tenang, tetapi sedetik kemudian ia dikejutkan oleh seseorang bersurai emas beriris hijau duduk di sebelahnya. "Hallo, Pangeran kecilku. Apa kabarmu hari ini?" sapa lelaki itu. "Baik, apa yang Ayah Shine lakukan di sini? Bukankah Ayah kembali ke kerajaan?" jawab Zero tersenyum riang. "Aku baru saja menyelesaikannya, kau  tahu banyak p*********n terjadi di Kerajaan Leviathan. Itu mengesalkan, membuat Ayah jadi tidak bisa bermain denganmu," jawab Shine menggebu-gebu. "Apa ada perang?" tanya Zero menahan rasa antusiasnya. "Sepertinya dan tidak akan lama lagi. Ayah jadi tidak bisa bermain denganmu, maafkan Ayah," jawab Shine sambil mengelus kepala putranya. "Apakah Ayah bisa mengajakku? Monster iblis yang diturunkan Ibu dan Ayah Sebastian sangat membosankan," tanya Zero sambil menundukkan kepalanya. "Jika Hime mengizinkanmu, Ayah akan membawamu dan kau  bisa bersenang-senang dengan mereka di medan peperangan," jawab Shine sambil tersenyum lebar. "Benarkah?" Wajah Zero berbinar-binar. "Ya, tanyakanlah pada Hime. Ayah harus mengerjakan sesuatu terlebih dahulu," jawab Shine lalu menghilang sebelum putranya sempat menjawab. Zero bangkit lalu berlarian di ruangan itu sambil tertawa riang.  "Akhirnya ... aku bisa keluar dari kerajaan ini dan melihat perang dengan kedua mataku," teriak Zero yang masih berlarian di dalam kamarnya yang luas itu. Eather hanya tersenyum samar melihat keriangan tuannya. Baginya pemuda bersurai emas itu tidak pernah berubah selama ia menjadi pelayannya.   ***   Beberapa hari setelah itu, Zero diizinkan untuk turun ke medan perang setelah berdebat singkat antara Sebastian, Shine dan Sakura. Zero diizinkan dengan syarat tidak boleh membunuh iblis-iblis yang bukan musuh. Dengan begitu Zero dapat mengontrol rasa ingin membunuhnya. Beberapa ribu musuh terlihat di area medan perang. Sedangkan di depan mereka hanya ada seorang pemuda bersurai emas dengan iris merah tengah tersenyum senang dengan seorang lelaki berpakaian pelayan yang berdiri tidak jauh di belakang pemuda itu. Terlihat pangeran dari Kerajaan Leviathan tengah terbang mendekati sang pemuda. Shine menapakkan kedua kakinya tepat di belakang sang putra. "Bagaimana menurutmu?" tanya Shine sambil mensejajarkan tubuhnya dengan Zero. "Mereka lemah, beberapa yang kuat menunggu di belakang barisan. Sepertinya ini lebih menyenangkan daripada di kabut terlarang," jawab Zero tanpa menoleh ke arah Shine. "Baguslah jika kau  senang, jika kau  mau habisi saja semua. Ayah lelah harus selalu kembali ke kerajaan hanya untuk menghajar musuh yang sama," kata Shine lalu dengan sigap Eather membuat sebuah singgasana yang terbuat dari tanah untuk Shine duduk. Terlihat seorang iblis berjalan sendiri mendekati Zero, tetapi tatapan iblis itu terkunci pada Shine. Iblis itu berdiri tidak jauh dari Zero dan menatap tajam Shine. "Apa maksud dari semua ini, Pangeran Shine? Apa Kerajaan Leviathan menyerah begitu saja?" tanya iblis itu dengan nada mengejek. Shine tertawa lalu menopang dagu dengan tangan kirinya. "Hahaha ... jangan bercanda, menyerah? Itu hanya dalam mimpimu," jawab Shine tersenyum lebar.  "Lalu hanya kalian bertiga yang hanya melawan kami? Jangan bercanda, kalian datang hanya untuk bunuh diri," jawab iblis itu. "Bertiga? Suatu penghinaan yang besar terhadap Putraku," jawab Shine sambil menyisir rambut emasnya lembut. "Cukup Putraku saja yang melawan kalian," lanjut Shine sambil menunjuk Zero. "Hahaha, sepertinya kau  sudah gila dengan membawa Putramu ke dalam medan perang, Pangeran Leviathan," jawab iblis itu sambil tertawa. "Sebaiknya kau  bunyikan pengumuman perang akan dimulai daripada membuat Putraku lama menunggu," jawab Shine dengan seringaiannya. Iblis itu hanya berdecih lalu membalikkan tubuhnya dan pergi memasuki barisannya. Raja dan Ratu Kerajaan Leviathan menatap khawatir terhadap cucu pertamanya yang menurut mereka imut dan masih terlalu kecil untuk terjun ke dalam peperangan sebenarnya.   Wuuunggggg   Suara dengungan terdengar cukup keras, tanda peperangan sudah dimulai. Pangeran kecil itu semakin tersenyum riang. Dibuatnya sebuah garis di belakang kakinya tepat di hadapan Shine. "Ayah cukup menonton saja dari sini, mereka tidak akan ada yang bisa melewati garis ini," ucap Zero lalu berbalik melihat ribuan iblis mulai menyerbunya. "Pangeran," panggil Eather yang menatap datar tuannya. "Ada apa?" jawab Zero tanpa menoleh. "Anda bisa mengeluarkan semuanya saat ini, tidak perlu menahannya karena saya sudah memeriksa semuanya," jawab Eather membuat Shine menatap Eather tidak mengerti. "Baguslah, aku sudah lama menahannya," jawab Zero yang langsung menghilang dari hadapan Shine. "Apa maksud perkataanmu, Eather?" tanya Shine menatap tajam sang pelayan. "Anda cukup menyaksikannya untuk saat ini," jawab Eather sambil menunduk dalam.  Shine tidak membantah, ia memilih melihat pertarungan apa yang akan dibawakan putranya itu. Zero yang tiba-tiba saja sudah berada di tengah-tengah kerumunan musuhnya itu membuat para iblis itu terkejut. Zero tersenyum lembut saat perlahan-lahan para iblis di dekatnya menjadi abu. "Apa-apaan Pangeran kecil itu?!" kata salah satu iblis yang melihat kejadian itu dari kejauhan. "Baiklah, kita mulai permainannya, siapa saja yang bisa melukaiku akan kuberi hadiah kematian yang paling menyenangkan," kata Zero sambil tersenyum riang. Para iblis yang mendengarkan langsung menyerbu Zero. Akan tetapi, sebelum sempat mendekati Zero mereka semua menjadi abu. Akhirnya mereka memilih menyerang Zero dari jarak jauh dengan melemparkan tombak, panah hingga pedang. Dengan lihai Zero menghindari semua lemparan senjata tajam berbalut api itu. Hingga tidak ada jarak untuk Zero menghindari, seluruh senjata tajam itu langsung menghantam tubuh Zero hingga membuat dentuman keras.   Duummmm   Shine bangkit dari tempat duduknya menatap khawatir sang putra. Eather menahan Shine untuk duduk kembali, ia yakin tuannya tidak akan semudah itu terluka. Sekiranya kabut tebal itu menghilang dengan terlihat jelas semua senjata tajam itu menancap tanah dengan Zero yang berdiri tenang sambil tersenyum riang di atas sebuah tombak. Semua iblis bergerak mundur saat melihat Pangeran kecil itu melompat turun menginjakan kakinya ke tanah. "Huph ... ahh," desah Zero lalu memasang wajah datarnya. "Tidak ada yang lebih kuat dari melempar senjata-senjata tidak berguna itu?" tanya Zero menatap sekitar, tidak ada yang menjawab sehingga membuat dirinya menjadi bosan. "Menyebalkan, padahal kukira akan lebih menyenangkan dari membunuh monster iblis di kabut terlarang," gumam Zero lalu ia merentangkan kedua tangannya ke samping. "Enyahlah," ucap Zero yang pada saat itu juga iblis-iblis dengan radius 200 meter dari posisinya menjadi abu seketika. Para iblis itu mulai melangkah mundur ketakutan saat melihat kekuatan Zero. Zero menatap kosong di depannya, tangan kirinya terbuka dan merentang di depannya. Aura kegelapan berkumpul di telapak tangannya. "Maaf, aku harus menghabisi kalian semua," ucap Zero detik berikutnya sebuah laser berwarna hitam keluar dari telapak tangannya.   Wusshhh Grrrrr Booommmm   Dalam sekejap semua iblis itu menjadi abu, semua orang yang melihat kejadian itu dari istana menatap terkejut pada sang Pangeran Kecil. Tanah yang hangus terbakar dengan menyisakan lahar merah yang keluar dari tanah. Shine yang melihat itu hanya bisa membelalakkan matanya. Sedangkan Eather hanya mendengkus pelan. "Sepertinya Pangeran bosan dengan para musuhnya," kata Eather saat melihat tuannya sudah di hadapannya. Belum sempat meredakan keterkejutannya, Shine sudah mendapatkan celotehan dari putranya. "Ayah, mereka membosankan. Carilah musuh yang lebih kuat lagi agar aku bisa bermain dengan mereka. Bahkan mereka lebih lemah dari monster yang kulawan di kabut putih–" "Pangeran," potong Eather, Pangeran kecil itu menoleh ke arah pelayannya itu. "Sebaiknya kita kembali ke istana terlebih dahulu," ucap sang pelayan. Pangeran kecil itu hanya mendengkus lalu menarik tangan kanan Shine agar mengikutinya menuju istana. Sesampainya di aula istana Zero dan Shine disambut hangat oleh keluarga kerajaan. Raja dan Ratu Leviathan itu memeluk tubuh cucunya dengan penuh rasa bangga. "Kau  hebat sekali, Pangeran kecilku," kata sang Ratu sambil mengecup kedua pipi Zero. "Monster iblis di kabut terlarang jauh lebih kuat dari mereka, Nenek," jawab Zero dengan polosnya. "Monster iblis di kabut terlarang? Bukankah itu di perbatasan wilayah Kerajaan Phanthom?" tanya sang Raja. "Ya, Ayah Viper dan yang lainnya selalu melemparku ke tempat itu jika aku mengganggu mereka," jawab Zero, Shine yang mendengar itu langsung menatap tajam putranya. Keberadaan Zero memang tidak diumumkan, karena Zero sangat berbahaya. Baginya yang tidak layak untuk hidup harus mati saat ia melihatnya. Karena itu, hanya segelintir iblis saja yang dapat menemuinya. Bahkan pelayan pun tidak diperbolehkan bertemu dengan Zero jika tidak ingin mati. Saat pertama kali Zero menginjakkan kakinya di Istana Kerajaan Leviathan. Tidak ada yang menyambutnya karena perintah Shine, bahkan Raja dan Ratu Leviathan sebelumnya tidak diperbolehkan bertemu dengan cucu mereka sendiri oleh Shine. Setelah Zero diberitahu sosok Raja dan Ratu Leviathan. Zero hanya berkomentar jika mereka layak, tetapi hanya untuk saat ini. Lagi pula Zero juga sedang dalam masa mengontrol kekuatannya untuk tidak seenaknya membunuh. Betapa terkejutnya Raja dan Ratu Leviathan yang mendengar kekuatan cucunya itu, bahkan awalnya mereka shock karena baru saja diberitahu jika mereka memiliki seorang cucu. "Kau  terlalu jujur, Pangeran kecil," bisik Shine di telinga Zero, sedangkan Zero hanya tersenyum lebar. "Pangeran Shine! Kau  kejam sekali membiarkan mereka melempar cucuku seperti itu." Sang Ratu menatap tajam putra ketiganya itu. "Ibunda, Zero bahkan bisa masuk kembali ke istana sesuka hatinya dari kabut terlarang jika ia ingin." Shine membela diri. "Ohh ... Cucuku yang malang, sebaiknya kau  tinggal di sini daripada kau  diperlakukan dengan kejam seperti itu." Sang Ratu tidak mendengarkan Shine. "Tidak! Zero tidak akan bisa tinggal di sini," tolak Shine dengan cepat, Ratu dan Raja Leviathan itu menatap aneh ke arah putranya. "Mengapa tidak bisa?" tanya sang Raja. "Aku tidak ingin mengambil resiko jika ada yang mati di sini. Asal kalian tahu saja, Zero sangat berbahaya dari kelihatannya," jawab Shine mencoba membuat kedua orangtuanya mengerti. "Apa maksudmu?" tanya sang Raja. Tiba-tiba saja seorang pelayan wanita masuk ke dalam aula untuk mengantarkan makanan. Sayangnya Zero melihatnya pelayan itu.   Praankkk   Nampan yang dibawa pelayan itu jatuh di atas abu yang langsung saja membuat hening ruangan itu. Shine bergegas keluar lalu terdengar teriakan dari suara manis Shine. "SUDAH KUKATAKAN UNTUK TIDAK MASUK SEBELUM MENDAPAT IZIN DARIKU!" teriakan Shine menggema hingga kesuluruhan istana. Shine kembali masuk dengan wajah kesalnya, ia mendekati sang putra lalu mengelus kepalanya dengan lembut. Iris hijau Shine kini menatap kedua orangtuanya. "Itulah yang akan terjadi jika Zero melihat iblis lain. Ayahanda dan Ibunda pun bisa bernasib sama jika aku tidak memberitahukan kalian sebelumnya pada Zero." Shine menjelaskan apa yang terjadi, kedua orangtuanya hanya diam masih terkejut dengan apa yang terjadi. "Mereka yang tidak pantas hidup lebih baik mati, bukan?" ucap Zero sambil tersenyum riang. "Lebih baik aku pulang ke Kerajaan Phanthom saat ini juga." Shine tidak menjawab pertanyaan Zero. Eather langsung saja membuat portal dengan menjentikkan jarinya. Seketika lingkaran sihir terbentuk di kaki Shine, Zero dan Eather. "Jika ada waktu kami akan kembali bermain. Kami permisi, Yang Mulia," pamit Shine yang saat itu juga menghilang dari hadapan Raja dan Ratu Leviathan. "Apa Istri Pangeran Shine telah melahirkan seorang Raja Iblis?" tanya sang Ratu. "Sepertinya begitu," jawab sang Raja lalu kembali terdiam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD