Bahaya Club Malam

1426 Words
Ivy terus berlari tanpa henti, ia menyeka air matanya. Tujuannya bukan lagi ballroom tempat pesta sedang dilaksanakan, tapi Ivy berlari menuju lift karena ia ingin keluar dari tempat yang begitu menyesakkan d**a. "Dasar b******n! b******k!" pekiknya. Gatha tak bodoh kalau ia harus terus berdiam diri, Gatha mengejar Ivy yang sudah turun menggunakan lift. Gatha menunggu lift yang satunya terbuka agar ia bisa menyusul Ivy. Gatha tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu. Ting... Pintu lift terbuka dan Gatha langsung turun mengikuti Ivy. Tubuh Ivy sudah menjauh saat ia baru keluar dari lift. Ivy berlari terseok-seok karena dia mengenakan dress yang panjang di tambah lagi heels yang cukup tinggi. Namun Gatha tak menyerah ia berlari sekencang mungkin mengejar Ivy. Ivy mengendarai mobilnya, dan mobil itu terlihat melaju begitu cepat membuat Gatha semakin panik. sangking paniknya Gatha sampai lupa dimana mobilnya ia parkir. Ia merogo-rogo saku celana mencari keberadaan kunci mobilnya. Setelah menemukan kunci mobil ia langsung menekan tombol alarm. Tit... tit... Gatha langsung berlari menuju mobilnya dan masuk dengan cepat. Deru mesin meraung di sepanjang jalan raya yang sepi. Ivy menggenggam kemudi erat-erat, matanya tajam menatap ke depan, tapi sorotnya buram oleh air mata yang belum sempat jatuh. Kaki kanannya menekan pedal gas lebih dalam, mobilnya melesat membelah angin malam dengan kecepatan berbahaya. Ia tak peduli. Ia hanya ingin menjauh dari tempat itu, dari kenangan menjijikkan, terutama dari Gatha. Sementara itu, beberapa ratus meter di belakangnya, Gatha memacu mobilnya tanpa ragu, jantungnya berdebar lebih kencang dari suara mesin. Hatinya kacau. Ia tahu ia salah. Ciuman itu bukan seharusnya begitu. Ia hanya ingin menghentikan Ivy membicarakan pria lain, tapi tangannya terlalu cepat, hatinya terlalu terbakar. Dan sekarang Ivy kabur membawa amarah, luka, dan kecewa yang ia sendiri ciptakan. Lampu jalan berkelebat di kaca depan seperti kilatan kilat, bayang-bayang malam menari liar di permukaan dashboard. Gatha memicingkan mata, menatap ujung jalan, berharap bisa melihat siluet mobil Ivy. Ia tak peduli seandainya harus menerobos batas kecepatan, tak peduli dengan risiko. Yang ia tahu, ia harus mengejarnya. Harus meminta maaf. Harus membuat Ivy tahu bahwa yang ia rasakan itu nyata meski caranya menyampaikan salah besar. Angin malam mengguncang kaca jendela, membisikkan ketegangan yang kian memuncak. Jalan raya kini jadi panggung bagi dua jiwa yang sama-sama hancur, terjebak antara penyesalan dan kemarahan, antara cinta dan keputusasaan. Tiba-tiba saja mobil Ivy membelok ke dalam sebuah Club malam. Gatha terbelalak kaget namun ia menghentikan mobilnya agar tetap berjarak, ia tahu kalau Ivy tahu ada dirinya, wanita itu pasti akan lari lagi. Suara ban mobil Ivy sampai berdecit karena wanita itu mengerem tiba-tiba dan asal memarkir mobilnya. Ia keluar dari mobil lalu membanting pintu mobilnya. Rambutnya yang tadi tersanggul rapi terlihat sudah berantakan. "Apa yang ingin Ivy lakukan di tempat seperti ini!" pekik Gatha. Ia sangat khawatir apalagi Ivy mengenakan dress yang sangat terbuka. "Sial!" umpatnya. Gatha kembali menginjak pedal gas, ia memarkirkan mobilnya yang mewah tepat di sebelah mobil Ivy. Sebelum keluar dari dalam mobil, Gatha melepaskan jasnya lalu melemparkan asal ke belakang, ia juga menggulung lengan kemejanya hingga ke siku hingga menunjukkan urat-urat di lengannya dan juga jam branded yang melingkar di pergelangan tangannya. Gatha segera keluar dari mobilnya. Ia juga masuk kedalam Club setelah melewati pemeriksaan beberapa Petugas keamanan yang berdiri di depan pintu Club. Gatha langsung di sambut oleh Lampu-lampu strobo yang menyambar ruangan dengan cahaya merah dan ungu, menciptakan ilusi gerakan lambat di tengah kerumunan yang memadat. Asap tipis dari mesin kabut menggantung di udara, bercampur dengan aroma alkohol, parfum mahal, dan keringat. Musik berdentum keras dari speaker raksasa. Irama EDM yang menghentak d**a dan memaksa kepala ikut mengangguk. Di balik bar yang menyala dalam neon biru, bartender bergerak cepat, mencampur minuman dengan gerakan otomatis seperti penari bayangan. Tawa tumpang tindih dengan teriakan, obrolan nyaring bercampur dengan gesekan gelas, dan langkah kaki berdansa di lantai yang lengket oleh tumpahan. Orang-orang berdandan seakan malam itu takkan pernah berakhir, gaun mengilap, jas tipis yang terbuka di d**a, dan tatapan yang haus akan hiburan, atau mungkin pelarian. Di sudut-sudut gelap, kesepakatan dan godaan bertukar dalam bisik, tersembunyi dari sorotan lampu utama. Mata Gatha langsung menelisik ke setiap sudut Club malam mencari keberadaan Ivy. Ia akhirnya bisa bernafas lega ketika melihat Ivy duduk sendirian di meja Bartender. "Apa kau suka ke tempat seperti ini Vy?" batin Gatha. Ada perasaan kesal dihatinya. Walaupun kesal, Gatha tahu Ivy melakukan hal seperti ini pasti karena kejadian barusan, wanita itu pasti sangat shock dan ingin melupakan segalanya dengan meneguk alkohol. Gatha memilih duduk sedikit jauh dari Ivy, ia akan menjaga wanita itu dari kejauhan. Ivy duduk di bangku tinggi di depan bar, punggungnya sedikit membungkuk, tangan kanannya menopang dagu sementara matanya menatap kosong ke deretan botol di balik bartender. Lampu neon di atas bar memantulkan kilau aneh di matanya yang tampak lelah. Musik dentum di belakangnya, tapi telinganya seolah tak menangkap irama apapun. Tanpa banyak ekspresi, ia mengangkat tangan, jari-jarinya terangkat setengah malas, setengah putus asa. Bartender yang sedang sibuk memutar shaker akhirnya melihatnya dan menghampiri. Ivy menatapnya singkat, lalu berbicara datar, hampir tanpa intonasi. “Kasih aku sesuatu yang kuat,” katanya, suaranya nyaris tertelan oleh dentuman musik. “Yang bisa bikin aku lupa dengan masalahku!” Bartender tidak bertanya. Ia hanya mengangguk pelan, mengerti tanpa perlu tahu detailnya. Beberapa detik kemudian, segelas minuman berwarna gelap diletakkan di depannya. Ivy meraih gelas itu dengan kedua tangan, menatap isinya sebentar, lalu meneguknya tanpa ragu. Rasanya membakar tenggorokan, tapi ia tidak mengeluh. Malam masih panjang, pikirnya. Dan ia butuh lebih dari satu gelas untuk menenggelamkan semuanya. "Lagi!" teriak Ivy memanggil Bartender. Entah berapa kali Ivy meneguk minuman haram yang memabukkan itu. Ivy sudah kehilangan beberapa gelas, ia bahkan tak bisa menghitungnya. Kepalanya terasa ringan, tapi pikirannya berat seolah semua beban bercampur dengan alkohol, mengambang di tempat yang tak bisa ia jangkau. Matanya setengah terpejam, pandangannya kabur meski lampu bar menyala terang. Ia menyender di meja, dagunya hampir menempel pada lengannya. Nafasnya pelan tapi berat, dan setiap kali ia tertawa kecil karena pikirannya sendiri. Tawa itu terdengar lebih seperti gumaman letih. Suaranya serak ketika ia bicara, kata-katanya kadang tersendat, kadang terpotong oleh cegukan kecil. Sesekali ia memejamkan mata sejenak, lalu membukanya lagi, seolah sedang berjuang agar dunia tidak berputar terlalu cepat. Tangannya masih menggenggam gelas, meski isinya tinggal sisa. Jari-jarinya mulai gemetar halus, dan ia nyaris menjatuhkan gelas ketika mencoba menaruhnya kembali ke meja. Ada noda lipstik samar di pinggiran gelas, dan noda itu semakin kabur setiap kali ia menyesap. Wajahnya memerah, bukan karena malu, tapi karena alkohol yang sudah menyebar ke seluruh tubuh. Di balik senyum tipisnya, ada kesedihan yang tak sempat ia sembunyikan. Mabuk membuatnya jujur, bahkan pada dirinya sendiri. "Sial! kenapa aku menyukai ciuman itu, apa aku juga masih mencintai Gatha," gumamnya. Ivy menangisi dirinya yang bodoh karena cinta. Ternyata ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ivy belum bisa menerima orang lain masuk ke hatinya bukan karena trauma, tapi karena ia memang belum bisa melupakan Gatha. Ivy menangis lalu kemudian tertawa seperti orang gila. "Aku memang wanita bodoh! aku masih menaruh harap pada pria b******n yang sudah menghamili sahabatku sendiri! dasar bodoh! bodoh!" teriaknya pada diri sendiri sambil memukuli kepalanya. Gatha ingin sekali menghampiri, namun ia masih menahan diri karena takut Ivy masih sadar lalu melarikan diri lagi. Gatha akan menunggu sampai Ivy mabuk lalu ia akan mengantar Ivy pulang. "Maafkan aku Vy, aku sendiri sudah berusaha untuk menjauhi dan melupakanmu tapi aku tidak bisa," lirihnya. Ia sedih melihat Ivy terus menerus memukuli dirinya sendiri. Saat Gatha mendongakkan kepalanya kembali fokus ke arah Ivy, ia malah melihat tiga pria berbaju hitam mendekati Ivy. Gatha langsung bangkit dari tempat duduknya. "Hei kalian!" bentaknya. "Siapa kau!" jawab salah satu dari mereka yang sudah berdiri di belakang Ivy, yang satu di kanan Ivy dan yang satu di kiri Ivy. "Aku kekasih wanita itu," jawab Gatha. Ketiga pria bertubuh tegap dan berpakaian serba hitam itu tertawa bersama-sama. "Jelas-jelas wanita ini sendiri, kenapa tiba-tiba kau ngaku-ngaku," ketiganya tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Ivy, ia malah asyik mengoceh. "Namanya Ivy, dia kekasih ku," ucap Gatha. "Kau pasti mengarang, wanita ini terlihat depresi, lihat saja dia sudah mabuk berat," jawab pria yang duduk di sebelah kiri Ivy. "Tanya saja namanya kalau kalian tidak percaya!" bentak Gatha mulai kesal. Ia bahkan sudah menyiapkan tinju-tinjunya bila harus berkelahi dengan ketiga pria itu. "Hei Nona pemabuk! siapa namamu?" tanya pria yang berdiri di belakang Ivy. Ivy mendongakkan kepalanya tapi matanya masih terpejam "Na-namaku I-Ivy Le-vanya," jawabnya terbata-bata namun masih bisa di dengar jelas. "Tuh kan! sekarang sebaiknya kalian pergi," usir Gatha. Ketiga pria itu berdecak kesal. Mereka bergegas meninggalkan Ivy yang sudah membaringkan kepalanya ke meja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD