Ciuman Panas

1419 Words
Gatha terkesima melihat kecantikan Ivy, wanita yang pernah dan masih mengisi relung hatinya yang terdalam terlihat begitu cantik bak bidadari, namun ia sedikit kesal karena Ivy mengenakan dress yang terbilang sangat terbuka terutama bagian punggungnya. Beberapa kali ia menelan saliva bahkan tak jarang ia menggertakkan gigi melihat banyak pria yang menatap dalam ke arah Ivy. Gathi sejak tadi memperhatikan sang Adik yang berbeda usia 3 tahun dengannya itu, ia tahu kalau Gatha sedang memperhatikan Ivy. Gathi mengetahui kalau Ivy adalah mantan kekasih Gatha, karena Gatha sempat depresi akibat merasa bersalah pada Ivy dan saat bersamaan ia kehilangan Jenna dan bayi mereka. Belum lagi Gatha mengetahui kenyataan pahit yang baru di utarakan Jenna saat wanita itu sakaratul maut. "Ivy cantik ya," goda Gathi. menyenggol bahu Gatha. "Diamlah!" ketus Gatha. "Dia juga seksi dan lihat semua mata pria melihat ke arahnya," sambung Gathi yang semakin semangat menggoda sang adik yang sudah galau selama bertahun-tahun. "Aku bilang diam!" pekik Gatha menjauh dari sang Kakak. Gathi hanya terkekeh, ia pun pergi mencari keberadaan istri dan anaknya. Gatha berjalan mendekati Ivy dan Ryan, ia tak berani mendekati karena takut terjadi sesuatu lagi pada Ivy seperti di Restoran. Ia hanya bisa memperhatikan sang wanita dari kejauhan sambil sesekali meneguk anggur merah di tangannya. Ivy mulai merasa risih, ia juga masih belum menemukan keberadaan Jenna. "Pak Ryan, apa Pak Gatha masih memperhatikan kita?" tanya Ivy. Ia tak berani memutar tubuhnya dan sengaja membelakangi Gatha karena tak ingin bertatapan dengan pria itu. "Ya Vy, dia bahkan semakin mendekati kita," bisik Ryan. Pria itu sengaja berbicara di telinga kanan Ivy, apalagi musik yang diputar cukup kuat sehingga membuat orang-orang kesulitan untuk berkomunikasi. Ivy menghela nafasnya, ia memang harus melakukan sesuatu agar Gatha benar-benar menjauh dari hidupnya. "Pak Ryan, tolong bantu saya," ucap Ivy. "Bantu apa?" tanya Ryan penasaran. "Rangkul punggung saya lalu cium pipi saya sekarang juga," ucap Ivy tegas dan berani. "A-apa?!" Ryan kaget bukan kepalang. "Kalau tidak bisa-" Cup... Sebuah kecupan mendarat di pipi Ivy, ia juga merasakan tangan Ryan merangkul punggungnya, kulitnya bersentuhan langsung dengan kulit Ryan. Ivy juga kaget karena dia belum selesai bicara, Ryan sudah melakukan aksinya dengan sempurna. Karena semua orang sibuk dengan partner bicara masing-masing, tak ada yang melihat hal tersebut kecuali Gatha yang memang sejak tadi terus memperhatikan keduanya. Gatha mengepalkan kedua tangannya. Ia tidak tahan melihat hal itu. Ia bahkan meneguk minuman anggur beralkohol itu dalam sekali tegukan. Tanpa sadar tubuhnya berjalan cepat ke arah Ivy dan Ryan. "Bu Ivy, saya ingin bicara," ujar Gatha meraih lengan Ivy dengan kasar. Ivy menarik nafas dan ia menahannya sedikit lama. Ia harus bisa menahan diri. Sedangkan Ryan, ia hanya bisa menunduk memberi hormat pada Gatha. "Ya Pak Gatha, saya mendengarkan," jawab Ivy tersenyum ke arah Gatha. Melihat Ivy yang tampak tenang justru membuat darah Gatha mendidih. "Saya tidak bisa bicara disini, saya ingin bicara di tempat lain," ujar Gatha melirik tajam ke arah Ryan. "Kenapa tidak bicara disini saja Pak," sahut Ryan berusaha menyelamatkan Ivy dari cengkraman Gatha. "Saya tidak mau mengulang ucapan saya," "Baiklah, ayo kita bicara Pak," potong Ivy. Ia tak mau Ryan terlibat masalah dengan Gatha yang notabene adalah anak pemilik perusahaan karena dirinya. Ivy juga tak mau Ryan menjadi korban karena masa lalunya dengan Gatha. Lagipula ini saatnya bagi Ivy untuk membuktikan kalau ia benar-benar sudah melupakan Gatha. Ia akan bicara dengan pria itu secara profesional. Ivy menarik tangannya lalu ia berjalan mendahului. Gatha mengikutinya dari belakang. Saat Gatha lewat hampir semua orang menundukkan kepala memberi hormat apalagi saat semua Staff dan relasi mengetahui latar belakangnya yang merupakan putra kedua dari Pemilik perusahaan, sedangkan saat Ivy lewat para pria single terlihat menatap dengan tatapan penuh hasrat membuat Gatha semakin kesal dan kakinya melangkah lebih lebar berusaha menutupi punggung Ivy yang terbuka dengan tubuhnya agar semua pria tak bisa melihatnya. Kini mereka berada di balkon, hawa dingin dan hembusan angin seperti menembus tulang. Gatha langsung melepaskan jasnya dan memakaikannya pada Ivy, apalagi saat ini di balkon hanya ada mereka berdua karena yang lain masih menikmati pesta di dalam. Sayangnya Ivy langsung melepasnya dan melemparkannya pada Gatha. "Saya tidak perlu itu Pak," jawab Ivy datar dengan wajah tanpa ekspresi. "Tapi dress mu terlalu terbuka, kau pasti akan kedinginan dan semua pria di dalam-" "Tolong hentikan pembicaraan tidak penting ini Pak," potong Ivy. Ia memutar tubuhnya ke samping lalu melihat ke arah kota dari balkon, kebetulan saat ini pesta di adakan di ballroom yang berada di lantai 10. Gatha memejamkan matanya, ia memakai jas itu karena tak ingin bertengkar lagi dengan Ivy. "Apa kabar Gatha?" ucap Ivy tanpa menoleh ke arah Gatha. Gatha terkejut. "Vy," lirih Gatha. Ia tak menyangka kalimat itu keluar dari mulut Ivy. "Apakah Jenna dan anakmu kau bawa juga ke Kota ini?" tanya Ivy. "Tidak!" jawab Gatha singkat. "Kenapa kau tidak membawa keluargamu?" tanya Ivy balik. "Karena mereka sudah berada di surga," jawab Gatha. Ivy terkejut, ia menoleh menatap Gatha dan kini matanya membola bahkan sampai menutup mulutnya karena kaget. "Apa maksud mu?" tanya Ivy bingung. "Jenna dan anak kami meninggal, Jenna tidak bisa melahirkan anakku dengan selamat," jawab Gatha. Suaranya terdengar rendah. "A-aku tidak tahu, maaf." jawab Ivy. Jujur Ivy tak menyangka malah mendengar ini dari Gatha. "Ya, " jawab Gatha singkat. Ivy bingung, kata-kata yang sudah ia rancang sempurna tadi tiba-tiba sirna dari pikirannya. Kata-kata kejam dan kasar yang sudah ia persiapkan dari jauh hari untuk sang mantan kekasih, Gatha. Tiba-tiba suasana berubah drastis, udara terasa lebih dingin dan alunan musik yang mengalun bahkan samar-samar mulai tak terdengar. "Kalau begitu apa yang ingin anda bicarakan dengan saya," ujar Ivy berusaha mencairkan suasana. "A-ku ingin kembali padamu Vy, aku sangat mencintaimu," ucap Gatha terbata-bata. Ivy mendelik "Dasar b******k!" batinnya. Rasa harunya kini berubah kembali menjadi rasa muak. "Mencintaiku?" tanya Ivy dengan bibir yang menyungging. "Ya Vy, aku sangat mencintaimu, aku tidak pernah bisa melupakanmu, aku hampir gila mencari mu, aku-" "Cukup! hentikan semua omong kosong mu!" bentak Ivy menyela Gatha. Gatha meraih tangan Ivy lalu menciuminya rakus. "Lepas! dasar gila!" teriak Ivy menghempaskan tangan Gatha. Ia memundurkan langkahnya agar menjauh dari pria yang tampak tak waras itu. "Vy, tolong dengarkan aku kali ini," lirih Gatha. "Tidak bisa! aku-aku sudah memiliki kekasih, Ryan dan aku sedang menjalin kasih, jadi lupakan saja semua niat buruk mu itu!" tegas Ivy. Ivy terpaksa berbohong karena dia bingung harus melepaskan diri bagaimana dari obsesi Gatha. "Maafkan aku Ryan sudah melibatkan mu dalam masalah besar ini, " batin Ivy. Sayangnya yang Ivy pikir sedang menyiram air ke api ternyata ia malah menyiram bensin. Gatha menatap Ivy seolah dunia menyempit hanya pada keberadaannya. Emosi yang lama terpendam antara kerinduan, kemarahan, dan gairah yang tak terkendali meledak tanpa peringatan. Tangannya terulur cepat, menggenggam lengan Ivy dan menariknya dalam satu gerakan tegas. Tubuh mereka bertubrukan, napas bertemu napas, detak jantung saling berlomba. "Ivy..." suaranya parau, terbakar oleh sesuatu yang nyaris mendidih. Ia mencium wanita itu keras, dalam, penuh gejolak. Bukan ciuman yang lembut atau pelan, melainkan desakan dahsyat yang mencurahkan segala isi hatinya yang tersembunyi. Bibirnya menekan bibir Ivy, menggali lebih dalam, seolah ingin menegaskan bahwa perasaannya bukan sekadar kata-kata. Tangannya melingkar di pinggang Ivy, menariknya lebih dekat, hingga nyaris tak ada ruang tersisa di antara mereka. Panas tubuh mereka bertukar lewat sentuhan yang semakin intens, membuat udara di sekeliling seakan menghilang. Namun Ivy terkejut. Tubuhnya menegang dalam pelukan itu. Kedua tangannya mendorong d**a Gatha, mencoba menciptakan jarak yang tak bisa diciptakan. Ia memalingkan wajahnya, terengah. "Gatha, hentikan..." suaranya tercekat, napasnya bergetar antara bingung dan marah. Matanya menatap tajam, mencoba mengerti dan sekaligus menjauh. Sejenak waktu terhenti. Napas mereka memburu, tapi dunia di antara mereka berubah. Ciuman kasar dan penuh hasrat itu meninggalkan jejak. Ivy menangis lalu memalingkan wajahnya dengan paksa dan satu tamparan keras mendarat di pipi Gatha. suara berdebamnya menggema di antara desah napas dan detak jantung yang belum reda. Mereka berdua terdiam. Gatha berdiri terpaku, pipinya merah, matanya membelalak pada Ivy yang kini berdiri dengan d**a naik turun, mata menyala oleh emosi yang campur aduk, marah, bingung, dan terluka. "Apa yang kau pikirkan?!" Ivy bergetar. "Kau tidak bisa... seenaknya begitu!" Gatha tak segera menjawab. Matanya penuh luka, tapi juga ketakutan. Ia menunduk perlahan, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku… aku minta maaf. Aku… kehilangan kendali.” Ivy melangkah mundur. “Kehilangan kendali bukan alasan untuk melukai.” Ia pergi, meninggalkan Gatha sendiri, berdiri di tengah ruang yang kini terasa terlalu sunyi. Aroma ciuman itu masih menggantung di udara yang dingin, membara… tapi juga penuh luka. Dan Gatha tahu, ada garis yang telah ia langkahi. Dan mungkin, tak akan ada jalan kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD