BAB 1: PERTEMUAN & PERSIAPAN

1839 Words
Gyeongseong, 7 Juli 1930. Hingar-bingar hujan musim panas memeriahkan suasana malam di kala itu, seolah-olah alam tengah bosan dengan atmosfer hening dengan tiupan angin malu-malu yang biasa diiringi oleh alunan suara jangkrik – ciri khas malam di musim itu. Rinai air yang tertumpah dari langit mengetuk-ngetuk atap sebuah kedai kayu sederhana, tampak beberapa orang yang tengah duduk berkumpul untuk mengobrol seraya sekadar menghangatkan tubuh dan suasana. Setelah menenggak segelas minuman, seorang pemuda bangkit dari bangkunya dan menghampiri pintu kedai. Terdengar suara pintu kayu yang digeser disusul siulan pawana yang ramai dan gemerisik air hujan dari luar. Pemuda itu pun melihat-lihat sekelilingnya, matanya memperhatikan jalanan kota yang sepi sambil sesekali melirik arlojinya, lalu terdengar hembusan napasnya melenguh ketika menatap cuaca yang kurang bersahabat. Setelah berdiri agak lama, Ia kemudian berbalik dan berpamitan dengan teman-temannya yang masih memilih untuk menetap di tempat itu. Tangannya menyambar topi homburg usang yang tadi Ia letakkan di meja lalu bergegas meninggalkan tempat itu seraya menyusuri trotoar yang sepi dengan tuntunan lampu jalan. Akhirnya pemuda itu sampai di sebuah bangunan yang berdiri di antara pertokoan tua yang sudah tutup, dari tempatnya berdiri terlihat cahaya menyeruak dari dalam sebuah ruangan di lantai dua. Ia memasuki bangunan tersebut melalui sebuah pintu samping dan melangkahkan kakinya menaiki anak-anak tangga kayu yang samar-samar menimbulkan bunyi berdentam, dari ruangan di atas terdengar percakapan dari beberapa orang. “'Kupikir kau tidak akan datang,” sapa seorang pria yang sedang duduk sambil memainkan tali bretel yang tersambung pada celana cokelatnya, terlihat tatapan matanya seakan menantikan kemunculan si pemuda dari balik tangga. “Maaf,” pemuda itu menyahut sembari melepaskan mantelnya, “hujan lebat sekali, aku terpaksa menempuh perjalanan dari tempat kerjaku sampai basah kuyup.” “Tempat kerja, atau tempat minum?” terdengar suara wanita menimpali dari samping, raut wajahnya mengejek, “Kau pasti kerja dengan sangat keras sampai-sampai wajahmu merah merona seperti itu,” lanjutnya kemudian. Pemuda itu menatapnya dengan kesal, tetapi Ia sadar bahwa dirinya tidak berdaya untuk menyanggah pernyataan tersebut sebab nuraninya mengakui kebenaran perkataan si wanita. Pria berbretel tadi pun bangkit dari tempat duduknya sambil membentangkan sehelai peta di atas meja tua yang berada di tengah ruangan, orang-orang itu pun mulai berkumpul dan memperhatikan gerak-geriknya. Ia menarik sebuah garis dari satu titik yang diberi lingkaran, digoreskannya ujung pensil tersebut mengikuti jalur jalanan, hingga tiba di sebuah titik yang diberi tanda silang. Tertulis ‘Hotel Chōsen’ pada tanda itu. “Sebagian persiapan sudah selesai dan telah dipastikan bahwa tanggal 27 Juli nanti Gubernur Yamanashi Makoto akan menghadiri sebuah pertemuan bersama beberapa pejabat militer lainnya di Hotel Chōsen, di mana Kolonel Koichiro Ono pun akan hadir dalam pertemuan tersebut,” jelasnya sambil menggerakkan pensil yang berada di genggamannya, “perjalanan dari Kantor Chōsen Sotokufu menuju hotel diperkirakan 30 menit, para pejabat akan diantar menggunakan lima buah mobil yang terpisah, dengan kemungkinan adanya mobil pengumpan di antara iring-iringan tersebut,” Ia pun menggores-goreskan kepala arang pensil di titik yang diberikan lingkaran tadi. “Jam keberangkatan?” “Iring-iringan akan mulai meninggalkan kantor kira-kira jam 7 pagi.” “Jam berapa kita akan berkumpul?” “Tentang itu akan diberitahukan sehari sebelum waktu eksekusi,” sahut pria itu seraya melayangkan pandangannya pada salah satu anggota yang berdiri di seberangnya, “Kyu-Ju, ada jawaban dari kelompok di barat?” Pria bernama Kyu-Ju itu menganggukkan kepalanya, “Kita sudah sepakat. Saat ini mereka juga sedang melakukan persiapan meskipun ada beberapa hal yang masih harus dibicarakan, tapi...,” kalimat yang terpotong itu berhasil menarik perhatian para anggota yang berkumpul, serempak mereka memberikan tatapan yang seolah-olah berusaha membongkar maksud raut wajah Kyu-Ju, “...sepertinya kepolisian Jepang sudah mulai mencium pertemuan kita dengan pihak lain,” ucapnya kemudian, “Beberapa kali kami memergoki penguntit yang ketika diselidiki memiliki afiliasi dengan pihak militer Jepang di Korea.” Mendengar hal tersebut pria tadi menggosok kumisnya yang tipis seraya berpikir, “Aku memang curiga kalau mereka sudah memperhatikan gerak-gerik kita, namun aku tidak menyangka mereka mengambil inisiatif secepat ini. Setidaknya sudah ada kesepakatan yang dicapai dan kita sudah duluan bergerak.” “Yun-Won,” tegur pemuda yang kehujanan tadi sehingga membuatnya menoleh, “Masih ingat penyelunduk dari Pusan – ‘si siluman’ – yang berhasil menyusupkan barang-barang ilegal serta mata-mata dari Korea menuju Jepang? Dua minggu yang lalu aku dengar Ia melarikan diri ke Gyeongseong setelah kelompoknya ditundukkan oleh polisi Jepang, dan beberapa hari yang lalu aku berhasil mengontaknya melalui seorang kenalan. Apakah kita bisa memanfaatkan keahliannya untuk berkirim pesan dengan kelompok di barat?” “Terlalu berisiko,” sahut Yun-Won, “Apakah ada jaminan bahwa Ia sendiri bukan mata-mata yang dikirimkan oleh Jepang?” “Kalau Ia adalah mata-mata, kenapa harus bersembunyi?” “Kalau sedang bersembunyi, memang mau diajak bekerja sama?” “Kami berhasil membujuknya setelah bertemu beberapa kali. Walaupun awalnya keberatan, Ia bersedia selama diberikan kompensasi dan identitasnya tetap dirahasiakan,” jelas pemuda itu. Kendati demikian Yun-Won menggelengkan kepalanya, “Maaf Jin-Wu, aku masih belum yakin dengan posisi orang itu, sebab kau tahu kalau operasi ini sangat ambisius.” Setelah berpikir sejenak Kyu-Ju pun mengangkat tangannya untuk menyela, “Kalau untuk saling mengirimkan pesan, aku sebenarnya memiliki sebuah ide,” ucapnya sembari mendongakkan dagunya seolah-olah menunjuk pada sesuatu. Para hadirin di ruangan itu mengarahkan pandangan ke arah yang dimaksud; di sisi ruangan di dekat tembok, tengah duduk seseorang yang tampaknya dari tadi bersikap masa bodoh dengan pembicaraan malam ini. Ketika orang-orang itu berhenti berbicara, kondisi ruangan pun menjadi hening. Srek! Pelan-pelan terdengar suara lembaran kertas yang dibuka, gerakan kepala dan bahunya seirama sementara sosok itu masih berkutat dengan buku di hadapannya. Melihat itu rasa gemas Yun-Won pun tergelitik sehingga dihampirinya sosok tersebut. “Hei, jagoan. Bagaimana sekolahmu?” tegur Yun-Won kemudian. “Biasa saja,” pemuda itu menjawab tanpa membalikkan tubuhnya, “Dua minggu lagi aku ada ujian; aku harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin.” Yun-Won menepuk-nepuk bahu lawan bicaranya itu, “Bagus! Bagus!” pujinya dengan nada bicara yang sulit ditebak maksudnya, “Sekarang Kyo-soo-nim (Pak Profesor), kita berkumpul untuk membahas sebuah rencana besar.” “Aku dengar, kok. Maaf jika aku mengusik kalian.” Setelah tidak mampu menahan diri, Jin-Wu yang mulai emosional pun berjalan menghampiri pemuda itu dengan langkah tergesa-gesa namun Yun-Won sempat menahannya sehingga terdorong dan menghempas tubuh pemuda itu. “Apakah kau mengerti seberapa penting rencana ini!?” seru Jin-Wu dengan kesal, “Inilah sebabnya aku benci jika seorang bocah yang sok diikutsertakan dalam kelompok kita!” Pemuda itu pun bangkit sambil membenarkan posisi kacamatanya, bola matanya yang sipit justru memandang lurus kepada Kyu-Ju, “Senior, sepengetahuanku sebuah kios di wilayah Jongno sedang memerlukan pegawai baru. Kios itu biasa menjajakan koran dan berbagai buku sehingga tidak akan menarik perhatian jika didatangi oleh orang yang sama. Kita bisa menempatkan informan di kios itu untuk bertukar informasi. Kebetulan besok aku ada keperluan di Seodaemun, mungkin aku bisa memberitahukan lowongan itu pada informan dari kelompok barat.” “Jangan di Seodaemun. Aku pastikan besok Ia menemuimu di kedai makanan di Gwanak – yang tidak jauh dari kampusmu – ketika jam makan siang.” Kyu-Ju kemudian mengambil sehelai topi kain bercorak kotak-kotak dari kursi seraya berkata, “Orang yang kumaksud akan mengenakan topi ini.” Jawaban Kyu-Ju ditanggapi dengan sebuah anggukan dari si pemuda, Ia kemudian berbalik dan kembali ke tempat duduknya serta membolak-balikkan halaman bukunya seperti sedia kala. Yun-Won hanya tersenyum dan berjalan kembali mendekati meja tadi. Pria itu kembali menjelaskan tentang detail-detail yang mencakup pembagian tugas pengintaian, pengalihan perhatian, penyerangan, dan rute melarikan diri sambil menggoreskan pensilnya pada denah-denah di peta tersebut. Perundingan malam itu cukup alot karena setiap eksekusinya harus direncanakan dengan matang mengingat “mahalnya” objek misi mereka kali ini, yaitu pembunuhan terhadap Gubernur Yamanashi Makoto dan Kolonel Koichiro Ono. Eksekusi akan dilakukan kira-kira tiga minggu dari pertemuan malam itu. “Kyo-soo-nim, kau mendengarkan pembicaraan kami dengan baik, ‘kan?” tanya Yun-Won ketika hendak menutup pertemuan tersebut. “Semuanya jelas.” “Mengenai tugasmu, ada pertanyaan?” Si pemuda menutup buku dan bangkit dari tempat duduknya, “Tidak ada. Toh kita sudah hafal dengan wajah target,” ucapnya sambil berjalan mendekati orang-orang yang sedang berkumpul itu. Cahaya lampu menerangi wajahnya, terlihat guratan luka di alis kanannya yang menjadi khas rupa pemuda itu. “Aku akan mengabarkan tentang pertemuan selanjutnya. Pastikan semuanya melakukan persiapan dengan baik,” Yun-Won pun menutup diskusi mereka. Derai hujan yang bergelora sudah lama berlalu sehingga satu per satu para anggota kelompok meninggalkan bangunan itu dan masing-masing memencar dalam selubung kegelapan malam. Tersisa Yun-Won dan si pemuda yang keluar belakangan, setelah mengunci pintu bangunan itu Yun-Won mengutarakan isi pikirannya. “Sejujurnya aku merasa ada yang sangat mengganjal, tapi aku belum bisa mengetahuinya dengan jelas.” “Menurut senior, ada mata-mata di dalam kelompok kita?” Yun-Won terdiam, wajahnya merenung seraya ainnya menilik sekeliling mereka. “Mungkin tidak tepat membicarakannya sekarang, hanya akan merusak semangat yang kita bangun dengan susah payah. Tetaplah berhati-hati, aku tidak ingin kehilangan teman 'ngobrol. Hahaha.” Begitulah Yun-Won menutup percakapan mereka berdua sebelum mengayunkan tungkainya meninggalkan si pemuda seorang diri. Sosok pria itu pun berangsur menghilang di balik kibaran mantelnya yang diterpa sinar temaram lampu jalan. ===================================================================================== Keramaian suara riuh dari ruang seminar memecah keheningan yang tadinya bersemayam di sebuah gedung perkuliahan, sepeninggal sang profesor tampak para mahasiswa tengah mengemas buku-bukunya dan mulai berhamburan keluar. Seorang pemuda baru saja berdiri dari tempat duduknya seraya merapikan kedua lengan jasnya. “Beom-Seok,” sapa seorang mahasiswa dengan bahasa Joseon, nada bicaranya terdengar tenang dan familier. Yang merasa dipanggil pun menoleh. Mahasiswa itu lanjut bertanya, “bagaimana dengan penelitianmu?” “Akhir pekan ini aku berencana ke museum di Changgyeonggung, kau ikut?” “Engga, aku sudah ada janji.” “Janji dengan Eun-Jung?” ujar Beom-Seok, sementara tangannya merapikan tumpukan buku-buku pelajarannya, namun tanpa Ia sadari sebuah bolpoinnya bergulir dari meja dan terjatuh di lantai. “Begitulah. Kau ada kesibukan setelah ini?” jawab rekannya sembari menyodorkan bolpoin yang terjatuh tadi, “Hari ini aku harus bertemu seseorang.” “Kali ini dari mana?” “Dari kelompok barat, seorang kenalan Senior Kyu-Ju; kebetulan bertemunya di kedai dekat sini, sekalian beli makan siang.” Beom-Seok mengiyakan, mereka pun meninggalkan gedung kuliah itu bersama mahasiswa lainnya. “Hyun-Woo, berarti hanya kelompok kita dan kelompok barat yang akan bergerak dalam operasi ini?” tanya Beom-Seok ketika mereka menyusuri halaman kampus. Rekannya itu mengangguk dan menjawab, “Menurut kelompok yang lain operasi kali ini terlalu berisiko, lagipula sensor dari pemerintah Jepang yang belakangan ini semakin ketat membuat sumber daya mereka terbatas. Kalau saja mereka sudah membuat persiapan yang lebih matang sebelum penyergapan di daerah Songpa, tidak mungkin mereka terseok-seok seperti sekarang.” “Kapan dimulai? Sudah pembagian tugas?” “27 Juli. Tugas kita berdua sama, akan aku jelaskan nanti,” seraya menjawab, Hyun-Woo celingukan memperhatikan kedai penjaja makanan yang berada di depannya, “Itu dia,” seru pemuda itu saat matanya mengenali ciri-ciri orang yang dimaksud. Kedua mahasiswa itu pun memasuki kedai, sang pemilik yang cukup akrab dengan mereka sontak memberikan sambutan yang ramah. Hyun-Woo membeli beberapa potong bungeoppang untuknya dan Beom-Seok, tetapi ketika hendak memasukkan uang kembalian ke kantong, Ia tidak sengaja menyenggol seorang pria yang berada di dekatnya. Topi pria itu pun terjatuh. Sambil meminta maaf, Hyun-Woo memungut topi itu dan memberikannya kepada si pria. “Itu orangnya?” ucap Beom-Seok ketika mereka berjalan meninggalkan kedai. “Tidak salah lagi,” Hyun-Woo menjawab setelah menggigit rotinya, “Itu topi yang diperlihatkan Senior Kyu-Ju tadi malam. Pesannya sudah kuselipkan.” Beom-Seok pun mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kios yang di Jongno?” “Yap! Untung saja kutu buku sepertimu punya beberapa relasi yang tidak terduga,” sahut kawannya itu sambil menyikut lengan Beom-Seok. Tetapi ketika sedang berbicara sepanjang perjalanan kembali ke gedung kampus, mereka melihat beberapa polisi Jepang melintasi jalanan di seberang mereka. Dari sebuah persimpangan beberapa anak sedang berlari membawa seember air dan tidak sengaja menubruk dua orang anggota serdadu tersebut. Anak-anak itu segera meminta maaf dengan wajah sangat ketakutan, kendati demikian dua orang polisi itu justru menendang dan menghajar mereka hingga tidak sadarkan diri. Beom-Seok dan Hyun-Woo menatap kejadian itu tanpa berkedip dengan raut wajah dipenuhi kemarahan yang meledak-ledak, namun setengah mati mereka berusaha menahan diri agar tidak bertindak sembarangan. Sesudah para serdadu itu berlalu, beberapa warga yang tadi hanya bisa melihat akhirnya segera menghampiri anak-anak itu serta membawa mereka pergi. Hyun-Woo pun menarik tangan Beom-Seok dengan paksa dan membujuknya untuk meninggalkan tempat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD