BAB 2: PERISTIWA HOTEL CHŌSEN

2185 Words
Gyeongseong, 27 Juli 1930. Sejak pagi-pagi sekali kantor pejabat Chōsen Sotokufu tampak lebih ramai dari biasanya, beberapa staf dan perwira militer terlihat berlalu-lalang dalam kesibukan mempersiapkan suatu pertemuan dan seremoni penting hari itu. Seorang pria bertubuh gagah dengan pembawaan militer melangkah masuk, suara hentakan sepatu botnya tenang tetapi mampu menimbulkan animo bagi para hadirin di dalam lobi itu untuk menengok ke arahnya. “Kolonel Koichiro, selamat atas promosi anda!” sapa seorang pria dengan seragam militer berwarna lempung serta berkerah merah, lencana tiga strip merah berhiaskan sebuah bintang perak menunjukkan posisinya sebagai seorang mayor. Pria yang dimaksud menyambut jabatan tangan sang mayor dengan tegas, “Terima kasih, Tuan Harumi,” jawabnya seraya tersenyum. Mayor Harumi mengembangkan lengan kirinya, mempersilakan Koichiro untuk duduk di sebuah sofa di lobi kantor tersebut. “Operasi penangkapan para pemberontak di Songpa, Gangnam, dan Seocho yang berhasil dalam waktu singkat memang merupakan prestasi militer yang patut mendapat penghargaan besar dari kekaisaran Jepang,” Harumi membuka percakapan seraya duduk di sebelah Koichiro. “Tikus-tikus Joseon mengira bisa mengelabui militer Chōsen Chusatsugun. Dengan sensor yang ketat serta himpitan sumber daya dan informasi, tinggal menunggu waktu untuk membersihkan supremasi Jepang dari para hama itu,” sahut Koichiro. “Tidak terlepas dari berbagai operasi militer yang cemerlang,” ucap Harumi seraya memangku lengannya di atas lutut, “menurutku Tuan Koichiro juga sangat cakap memilih bawahan. Kepolisian Jepang walaupun sudah mengendus penyelundupan yang dilakukan oleh orang Joseon di Taegu dan Pusan – yang merupakan pusat transportasi terbuka – saja kesulitan untuk melacak keberadaan mereka.” “Para polisi Jepang di sana terlalu mengulur-ulur waktu, penyelidikan yang terlalu lambat malah memberikan waktu untuk tikus-tikus itu mempermainkan mereka.” “Sepengetahuanku tidak sedikit orang Joseon yang belajar dari para pedagang Jepang atau bahkan bekerja sama dengan mereka, sehingga tidak perlu waktu lama untuk mereka menghapus jejaknya di satu wilayah.” “Cih! Para Joseon itu bekerja mati-matian bahkan untuk pedagang Jepang demi menyokong partai dan aktivitis yang menipu mereka dari belakang. Bukankah tidak sedikit anggota kepolisian Jepang yang beranggotakan orang Joseon? Orang-orang bermuka dua, ujung-ujungnya menyelamatkan diri,” ucap Koichiro sambil mendongakkan wajahnya. “Jumlah bukan segalanya, dan aku tahu bahwa Tuan Koichiro sendiri memiliki sumber daya Joseon yang luar biasa,” Harumi menatap Koichiro dengan senyuman sinis, “Jika tidak demikian, bagaimana bisa berbagai informasi gerakan pemberontak mengalir seperti obrolan di warung?” Mendengar sindiran itu Koichiro justru tertawa. “Hahaha!” jawab pria itu, “Aku anggap perkataanmu itu sebagai pujian, Tuan Harumi. Selihai apa pun tikus-tikus itu kabur, selama aku memegang kendali atas satu ekor induknya saja maka tidak perlu waktu lama untuk menghabisi satu kawanan penuh.” Harumi menanggapi perkataan Koichiro dengan tersenyum kecut, kemudian Ia menawarkan sebatang cerutu mahal yang Ia keluarkan dari sebuah kotak di sakunya namun Koichiro menolaknya dengan sopan. Pukul 06.45 pagi, para pejabat militer yang terlibat dalam pertemuan di Hotel Chōsen satu per satu memasuki barisan mobil yang diparkirkan di halaman kantor Chōsen Sotokufu. Iring-iringan militer Jepang mendahului keberangkatan mereka, sementara itu barisan panjang masyarakat Jepang dan Joseon di Gyeongseong memenuhi kawasan jalan raya. Iring-iringan itu melintasi jalanan dengan kecepatan rendah, sambil sesekali terlihat lambaian tangan dari dalam mobil yang ditumpangi Gubernur Yamanashi kepada para warga yang berkumpul. Kendati demikian para pengiring maupun pasukan yang berjaga di kawasan itu tidak menyadari sepasang mata yang dari tadi memperhatikan iring-iringan tersebut. Berdasarkan tugas yang diberikan dalam operasi ini, Kyu-Ju yang dari tadi mengawasi kini berdiri di dekat sebuah kotak pos di seberang jalan. Begitu iring-iringan itu menjauh, Kyu-Ju meninggalkan tempat itu menuju jalanan pertokoan yang sejajar dengan jalan utama. Sambil mengimbangi kecepatan mobil-mobil tersebut, si penguntit ini memperhatikan dari celah-celah jalan yang memisahkan bangunan toko; mobil-mobil pejabat militer itu beserta para penumpang di dalamnya tidak lepas dari pengawasan. Selama beberapa saat Ia mengiringi rombongan itu dari jalan kecil, kemudian Kyu-Ju kembali berhenti pada kotak pos terakhir untuk memastikan tidak ada perubahan urutan mobil atau pertukaran penumpang dengan diam-diam. Sekali lagi Ia membiarkan rombongan militer itu berlalu di hadapannya. Lalu dengan tangkas Ia meraih sepeda yang Ia parkirkan tidak jauh dari situ dan mengayuhnya kencang menuju perempatan di dekat sebuah sungai kecil yang membentang di kawasan Cheonggyecheon. Ketika melewati perempatan jalan, terlihat dua pucuk surat terjatuh dari tas yang Ia bawa. Kyu-Ju pun berhenti dan memungut surat-surat tersebut tetapi Ia justru menjatuhkan empat pucuk surat lagi. Gerak-gerik Kyu-Ju itu sejak tadi diperhatikan oleh Jin-Wu yang mengawasi dari sebuah bangunan bertingkat di pinggir jalan. “Mobil kedua dan keempat!” gumamnya sambil menurunkan teropongnya. Suara langkah kaki Jin-Wu berdentang ketika Ia dengan tergesa-gesa menuruni tangga besi, kemudian pria itu memelesat menuju wilayah pertokoan. Setelah beberapa saat, iring-iringan militer itu pun melintasi perempatan jalan tadi dan terus bergerak menuju Hotel Chōsen, namun tanpa disadari beberapa pengawal yang berjaga di sepanjang jalan dilumpuhkan dengan diam-diam oleh para aktivis pemberontak yang bekerja sama dengan beberapa warga Joseon. Pada bagian jalan raya yang menyempit, tiba-tiba beberapa pintu toko di kiri-kanan jalan pun terbuka. Dari dalamnya sepuluh orang bermasker keluar sambil mendorong lima pasang gerobak berisikan jerami yang terbakar di antara rombongan pengawal dengan barisan mobil pejabat militer. Asap bakaran yang pekat itu memenuhi jalanan dan menghalangi pandangan, selain itu kepanikan pun melanda daerah tersebut sehingga orang-orang yang berlarian memadati jalan raya. Blokade yang sama turut meliputi rombongan yang berada di belakang, para pemberontak pun berhasil mengisolasi mobil-mobil pejabat militer itu dari barisan pengawalnya. Belum cukup dengan blokade tersebut, orang-orang tadi melemparkan berbagai petasan ke jerami yang membara dan menimbulkan suara gaduh seperti suara dentuman senjata. Tiba-tiba seseorang berseragam prajurit Jepang dengan panik memberikan isyarat agar mobil-mobil itu segera memutar melalui sebuah tikungan di pinggir jalan. Keadaan kalang kabut memaksa para supir untuk mengikuti arahan tersebut dan mereka segera memacu kendaraan menuju rute yang dimaksud; namun jalan itu cukup sempit sehingga iring-iringan itu harus berbaris ketika melintasinya. Rombongan itu sontak kembali dikejutkan ketika mobil yang berada paling depan tiba-tiba berhenti dengan suara hempasan yang nyaring sehingga mobil di belakangnya pun menjadi oleng dan saling bertubrukan. Samar-samar dari balik tabir asap tampak barisan blokade kokoh dari gerobak kayu. Di sana juga terlihat seorang pria memberikan sinyal kepada orang-orang di balik penghalang tersebut. Kemudian terdengar suara mesin mobil yang melaju kencang; mobil-mobil pengecoh dengan warna dan bentuk yang serupa meluncur menuju jalan raya untuk mengelabui rombongan pengawal di sana. Dalam sekejap ketegangan semakin melingkupi para penumpang, sebab mereka sadar kalau rute ini adalah jebakan. Tidak lama kemudian dari bangunan yang mengepung mereka bermunculan para penyerang bertopeng, kira-kira 10 orang banyaknya. Dalam barisan yang dibagi secara zig-zag mereka menyerang mobil di barisan kedua dan keempat yang ditumpangi oleh Gubernur Yamanashi dan Kolonel Koichiro. Mereka memecahkan kaca mobil dan memaksa keluar setiap penumpangnya. Beberapa kali terdengar letusan senjata yang menaungi gang itu. Sekumpulan anarkis tersebut kemudian melanjutkan serangan pada rombongan mobil lainnya; beberapa pejabat militer dan prajurit pengawal itu hanya bisa melakukan sedikit perlawanan sebelum akhirnya terkapar bersimbah darah. Diam-diam Gubernur Yamanashi merangkak dan melarikan diri dari penyerangnya yang sedang lengah, ternyata tembakan itu gagal mengenai bagian tubuhnya yang vital. Ia mendapati beberapa pengawal yang selamat di barisan depan dan segera ditolong oleh mereka, namun para penyerang itu segera menyerbu mereka setelah menyadari keberadaan sang gubernur. Dentuman pistol para pengawal di tengah selimut asap itu justru memberitahukan posisi mereka sehingga satu per satu mereka pun dibunuh. Gubernur Yamanashi dengan panik melarikan diri melalui blokade gerobak dan samar-samar Ia kembali melihat kedatangan beberapa orang berseragam tentara Jepang. Dengan sisa tenaga dan harapan untuk hidup Ia menyeret tubuhnya sembari memegangi luka yang masih mengalirkan darah, tangannya melambai-lambai meminta pertolongan disertai teriakan parau yang dengan susah payah keluar dari tenggorokannya. Sang gubernur yang panik menyuruh mereka untuk mengevakuasinya. Tetapi seketika gerakannya terhenti, dengan sangat jelas Ia merasakan sebilah besi dingin yang pipih menembus kerongkongannya, kalimat dari mulutnya terputus dan digantikan oleh suara tersedak yang mengerikan. Sang gubernur pun terjerembap, darah membasahi lehernya. Beom-Seok, yang mengenakan seragam prajurit Jepang, mengelap belati itu dan menyarungkannya kembali. Ia membungkuk, dibaliknya tubuh sang gubernur yang sudah tidak bernyawa, kemudian menatapnya dengan saksama. Seketika rona wajahnya menjadi pucat dengan mata yang terbelalak, untuk sesaat jantungnya seakan berhenti berdetak. Beom-Seok bangkit dan menatap kepada Hyun-Woo yang berdiri di sampingnya dengan raut wajahnya yang mengundang berbagai pertanyaan. “D... D...,” ucap Beom-Seok terbata-bata, “Dia... bukan Yamanashi Makoto.” Sontak Hyun-Woo membungkuk dan memperhatikan wajah pria yang terkapar itu dengan lekat, kedua matanya memicing sembari otaknya mengorek dan mengolah setiap informasi yang Ia tahu tentang target operasi itu. Perkataan Beom-Seok benar. Mereka pun segera berlari menuju teman-temannya yang masih berkumpul di lokasi pengepungan. Di sana mereka disambut oleh suasana yang tidak kalah panik; akhirnya mereka sadar kalau ternyata merekalah yang dijebak karena semua target pembunuhan sudah ditukar dengan orang-orang yang terlihat mirip. Yun-Won sang pemimpin operasi segera memerintahkan agar mengambil rute pelarian. Para anarkis itu segera berpencar melalui gang-gang kecil di sekitar tempat itu, namun sayangnya rute tersebut sudah diduduki oleh tentara Jepang dengan senapan yang terkokang. Terpaan timah-timah panas menghunjam tubuh para anarkis itu, sehingga mereka yang selamat terpaksa berlari kembali ke tempat semula. Pasukan bersenjata bermunculan dari balik bangunan di belakang mereka dan berbaris menghadang gang, suara dentuman-dentuman mesiu pun bergaung di kawasan tersebut. Beom-Seok, Hyun-Woo, dan Yun-Won berhasil melarikan diri dengan menerobos masuk sebuah jendela bangunan. Ketiga orang itu menyelinap dan kabur melewati kepungan prajurit yang bergerak melintasi persembunyian mereka. Kendati demikian mereka sadar kalau ada lebih banyak pasukan yang mengepung jalan raya di depan mereka, dan tanpa senjata di tangan maka mereka bisa dicurigai dengan mudah. Di tengah situasi genting itu Yun-Won tiba-tiba mengambil belati yang tergantung pada pinggang Beom-Seok. Dengan sebilah belati terhunus di tangan, mata Yun-Won yang terlihat tegang menatap Beom-Seok dan Hyun-Woo bergantian. Tanpa disangka Yun-Won menyayat paha kirinya serta menikam bahu dan bagian bawah perutnya hingga mengeluarkan darah. Kedua rekannya seketika mengambil belati tersebut dari tangan Yun-Won dan menahan luka itu dengan tangan; untuk sejenak mereka mengira kalau pria itu sudah habis akal. Namun dengan tenang – sambil sesekali meringis kesakitan – Yun-Won menyuruh dua rekannya itu untuk memapahnya melewati kepungan dan meminta pertolongan medis. Akhirnya mereka pun paham dengan maksud Yun-Won. Dengan tergesa-gesa Beom-Seok dan Hyun-Woo keluar dari bangunan tersebut sambil memapah Yun-Won. Sesuai dugaan mereka, jalan raya sudah dikepung oleh puluhan pasukan bersenjata. Ketika melihat tiga orang berseragam tentara Jepang itu, kepungan pun dibuka dan mereka segera diantarkan untuk mendapat pertolongan dari medis. Rencana Yun-Won berhasil. Pria itu dibaringkan di sebuah meja darurat sementara seorang tenaga kesehatan merawat luka-lukanya. Setelah menerima isyarat dari Yun-Won, kedua rekannya itu pun beranjak dari tempat itu untuk menunggunya di tempat persembunyian yang hanya diketahui oleh mereka. Tetapi seketika salah seorang perwira datang dan menegur mereka, dari pembawaan dan pangkatnya tampak kalau Ia bertanggung jawab setidaknya atas satu peleton. “Prajurit Ishida melaporkan: salah satu rekan terluka akibat perlawanan dari pemberontak Joseon!” kebohongan terlontar dari mulut Beom-Seok yang segera berdiri dengan sikap tegap. Perwira itu mendongakkan wajahnya, dari balik bahu dua orang itu Ia mengamati keadaan Yun-Won yang tengah dirawat. “Segera kembali ke posisimu, prajurit!” perintahnya. Beom-Seok dan Hyun-Woo memberi hormat lalu berjalan kembali ke lokasi pengepungan. Perwira itu berjalan agak jauh di belakang mereka, seakan sengaja mengawasi. Ketika dua pemuda itu tiba di sana, tanpa disangka sang perwira berteriak dari tempatnya berdiri. “Diam di tempat (meomchuda)!” serunya lantang. Beom-Seok pun berhenti, sementara itu Hyun-Woo tetap mengayunkan langkahnya. Seketika wajah Beom-Seok menjadi sangat pucat, Hyun-Woo yang tadi berjalan mendahuluinya pun berbalik serta melihat rekannya itu dengan raut wajah menegang; saat itu juga Beom-Seok merasakan terpaan tatapan dingin dari seluruh pasukan yang tengah berkumpul di tempat itu. Pemuda itu menyadari bahwa Ia sudah melakukan sebuah kesalahan fatal, karena Ia sudah merespon sebuah perintah yang dilontarkan dalam bahasa Joseon – di antara sekumpulan pasukan Jepang –; dalam sekejap puluhan laras senapan mengarah padanya. Sambil menghunus pedang dari pinggangnya, sang perwira berjalan menghampiri Beom-Seok dari belakang. Tangannya teracung dengan ancang-ancang siap menebas leher pemuda itu. Melihat hal itu Hyun-Woo tanpa ragu-ragu menarik tubuh Beom-Seok, mencabut belatinya, dan menikam tubuh perwira itu. Namun serangan itu gagal, sang perwira menahan tikaman itu dengan lengannya lalu menghantam kepala Hyun-Woo dengan gagang pedangnya. “Tidak seorang prajurit pun di bawah komandoku boleh kembali meskipun terluka. Para pengecut Joseon yang hanya berani menggigit dari balik persembunyiannya yang hina, tidak akan mengerti bagaimana sikap prajurit sejati,” ucapnya lantang seraya menancapkan pedangnya pada bahu Hyun-Woo sehingga suara teriakannya memecah ketegangan yang menyelimuti tempat itu. “Seret mereka ke Penjara Keijō!” serunya pada para prajurit itu. Perwira itu pun berbalik dan menyarungkan pedangnya sementara para prajurit memukuli Beom-Seok dan menyeretnya menjauh. Ketika beberapa prajurit mengangkat tubuh Hyun-Woo, pemuda itu seketika berontak dan menerjang ke arah sang perwira. Kali ini Ia tikamannya berhasil menembus punggung pria itu hingga muntahan darah terpancar dari mulutnya, beberapa prajurit menarik tubuh Hyun-Woo dan menembakinya dengan membabi buta. Untuk sekejap Beom-Seok terdiam tidak percaya dengan apa yang terjadi, lalu Ia pun berontak dan berusaha menolong Hyun-Woo tetapi sebuah hantaman keras di kepalanya membuat pemuda itu terkapar tidak berdaya ketika tubuhnya diseret paksa menuju sebuah mobil militer. Dari 30 orang anggota kelompok anarkis yang terlibat dalam penyerangan hari itu, hanya Beom-Seok dan Yun-Won yang selamat dari pembantaian oleh tentara Jepang. Diketahui kemudian kalau seorang pengkhianat membocorkan informasi mengenai operasi itu, sehingga militer Jepang memanfaatkannya untuk membalikkan keadaan dan melibas orang-orang yang terlibat di dalamnya. Beom-Seok dan Yun-Won dijebloskan ke dalam sel terpisah di Penjara Keijō untuk diinterogasi dan menunggu keputusan dari pengadilan, namun satu bulan kemudian Yun-Won menghilang tanpa jejak. Kabar yang beredar mengatakan bahwa Yun-Won tidak menghilang karena berhasil melarikan diri, tetapi tewas dalam proses interogasi yang tidak manusiawi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD