BAB 3: PELARIAN MENUJU TAEGU

1866 Words
Keijō Kangoku, 22 Oktober 1930. Di sebuah ruangan dengan penerangan remang-remang sesosok pria tengah terduduk, tubuhnya dengan tidak berdaya bersandar pada sebuah kursi kayu. Rona gelap menghiasi serat-serat kayu pada kursi tersebut, entah sudah berapa banyak darah dari orang-orang yang pernah mendudukinya yang meresap ke dalam guratan-guratan jaringan itu. Ubin persegi tempat kursi itu bertumpu pun menampilkan corak kerak kehitaman yang merembes dari dasar kursi, tampak permukaannya basah oleh cairan merah gelap nan segar. Irama napas sengal terdengar dari pria yang sedang duduk itu, rambut panjangnya yang acak-acakan menudungi kontur tirus wajahnya dengan kulit melekat pada tulang pipinya. Berbagai bekas luka tertoreh pada hampir setiap bagian tubuhnya sehingga menciptakan kesan horor. Tiba-tiba Ia terbatuk-batuk, dengan susah payah Ia berusaha mengeluarkan sesuatu dari laringnya. Puih! Segumpal darah kering terlontar dari balik bibirnya. Butiran peluh menerpa sayatan dan memar segar di wajahnya, sebagian lagi menyelimuti bola matanya yang sayu. Tatapannya kosong seakan-akan tidak acuh dengan rasa perih yang mendera luka-lukanya. Seorang pria bertubuh gempal dan kekar menghampiri laki-laki itu, dijambaknya rambut sang tahanan hingga wajahnya terdongak menatap lampu, kemudian Ia mengelap wajah pria itu dengan sehelai sapu tangan kotor. Dari balik sisi ruangan yang gelap muncul sesosok pria lain dengan seragam militer berwarna lempung, dicabutnya sebatang rokok yang masih menyala dari sela-sela bibirnya. “Lee Beom-Seok,” ujarnya seraya membenamkan dan memelintir puntung rokok tersebut pada dahi sang tahanan, “kau tidak perlu menderita lebih lama jika mau bekerja sama. Setidaknya hakim dapat segera menjatuhi hukuman mati atasmu.” Seolah tidak mengindahkan perkataan itu, Beom-Seok menggeram menahan rasa menyengat yang luar biasa; Ia pun tetap mengatupkan kedua bibirnya. Pria berseragam itu menatap dengan jengkel sembari menarik dagunya kesal, Ia lalu menginjakkan sepatu botnya yang berat pada jemari kaki kiri Beom-Seok sehingga membuatnya tidak mampu menahan jeritannya; suara gemeretak terdengar ketika salah satu bot pria itu menginjak potongan-potongan kuku yang berserakan di sekitar lantai. Sesudah puas menyuntikkan rasa sakit, Ia pun kembali ke tempat duduknya. “Potong jari kelingkingnya,” pria itu memerintahkan dengan ekspresi dingin. Sang algojo pun dengan sigap mengambil sebilah golok pendek; meskipun berusaha untuk terlihat tenang, Beom-Seok tidak bisa menepis ketakutan yang mulai menggerayangi tubuhnya dan menimbulkan rasa geli yang aneh pada kelingking tangan kirinya ketika algojo itu berdiri di sampingnya. Entah memang cengkeraman tangan pria besar itu sangat kuat atau Beom-Seok yang sudah tidak memiliki tenaga untuk melawan, tidak ada perlawanan sedikit pun ketika diacungkannya golok itu ke atas. Tiba-tiba dari balik pintu pintu terdengar sedikit kegaduhan, seorang polisi pun membuka pintu tersebut. “Inspektur Kuniaki, ada sebuah panggilan darurat dari kantor pusat,” seru pria itu kepada sang inspektur yang sudah menunggu-nunggu si algojo menetakkan goloknya. Kuniaki pun bangkit, “Apa lagi kali ini?” tanyanya dengan nada tidak senang. “Sebaiknya aku tidak membicarakannya di sini,” pria itu menjawab sambil melirik kepada algojo dan Beom-Seok. Kuniaki menatap ketiga orang itu bergantian, “Hm! Sepertinya sesi tanya-jawab hari ini harus berlangsung singkat.” Sebelum meninggalkan ruangan itu Kuniaki memberi isyarat agar Beom-Seok dilepaskan. Si algojo menyimpan goloknya, Ia membersihkan luka-luka pada tubuh Beom-Seok lalu memberinya minum antibiotik secara paksa karena mereka tidak ingin kehilangan satu-satunya sumber informasi yang tersisa. Beom-Seok dijemput oleh sepasang sipir yang langsung menuntunnya kembali ke sel. Mereka mendorong tubuh pria tidak berdaya itu hingga mendarat di kasur jeraminya yang kasar. Sesaat kemudian terdengar suara pintu selnya dikunci. Beom-Seok bergeming seraya mengatur napasnya, sedikit demi sedikit akalnya pun kembali jernih. Ia pun bangkit dari pembaringan dan menurunkan celananya, dipenuhinya sebuah ember kosong dengan air seni berwarna kuning pekat dengan bau menyengat; pelan-pelan Ia tuangkan isinya pada jari-jari besi di pintu sel. Beom-Seok lalu kembali berbaring tanpa mempedulikan umpatan dari penghuni sel sebelah yang terganggu dengan kelakuan gilanya itu.   Keijō Kangoku, 23 Oktober 1930. Suara pukulan pada pintu sel membangunkan Beom-Seok, seorang sipir membuka jendela kecil di dasar pintu itu serta mendorong semangkuk nasi dengan lauk disertai dengan segelas air putih. Diam-diam sipir itu lalu menyodorkan sebotol kecil cuka, “Malam ini Inspektur Kuniaki berhalangan hadir, sepertinya kepolisian Jepang di Gyeongseong sedang menghadapi konflik dengan organisasi penyelundup Joseon,” bisiknya dengan bahasa Joseon. “Cepat atau lambat, pasti ada kelompok yang memanfaatkan kejatuhan pihak lain sebagai batu loncatan. Waktuku sudah tiba,” Beom-Seok menyahut sambil tersenyum lemas. Setelah berterima kasih, Ia menuangkan cairan cuka tadi dengan teliti pada jeruji besi yang kemarin malam Ia basahi dengan air seni; bau pesing itu pun mulai tertutupi dengan bau masam, kemudian botol itu Ia kembalikan kepada si sipir. Beom-Seok duduk di lantai ruangan selnya, mangkok dan gelas kosong Ia singkirkan dari hadapannya; seluruh persiapannya sudah selesai dan tinggal menunggu waktu yang tepat. Pemuda itu sesekali meringis kesakitan ketika Ia memeriksa luka-luka pada tubuhnya, meskipun begitu rasa lega menyelimuti pikirannya sebab ketidakhadiran Kuniaki membuat eksekusi rencananya jadi lebih cepat. Dalam hati Ia menertawakan kepolisian Jepang yang lengah dengan menempatkan seorang tahanan hukum mati sepertinya di sel biasa, “Pikir mereka dengan menderaku sudah cukup untuk melumpuhkan akal dan gerakanku,” gumamnya lirih. Tengah malam pun tiba, Beom-Seok bangun dan duduk tenang sebelum memulai pelariannya. Pemuda itu sudah memperhatikan kondisi ruang tahanannya sejak pertama kali dijebloskan ke situ; jeruji besinya mulai menipis ditambah dengan karat yang telah menggerogotinya selama bertahun-tahun. Selain itu berkat pengetahuannya dari aktivitas penyelundupan yang dilakukan oleh partai-partai tempatnya bergabung, Ia pun tahu kalau borgol dan pintu penjara dibuat dari campuran pasir besi masa, yang bersifat magnetis serta relatif rapuh sehingga mudah berkarat dan hancur. Oleh sebab itu setiap hari selama hampir tiga bulan Beom-Seok rutin menyiramkan air seninya untuk mempercepat pembentukan karat; perlu waktu sebulan untuknya mendapatkan simpati dari seorang sipir berkebangsaan Joseon tadi, akhirnya Ia pun membujuk sang sipir untuk menyelipkan sedikit air cuka saat mengantar makanan. Beom-Seok memanfaatkannya untuk mempercepat oksidasi pada jeruji sel serta menutupi aroma pesing yang menyengat. Di sela-sela waktunya ketika berada di dalam sel, Ia dengan sabar menggoyang-goyangkan jeruji besi itu hingga lepas satu per satu dan mengembalikannya ke tempat semula sebelum sipir penjara menyadarinya. Kesempatan yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pertama-tama Ia melepaskan baju serta celana tahanannya, lalu merobek dan mengikatnya sedemikian rupa hingga menjadi untaian kain yang sangat panjang, kemudian Ia melepaskan seluruh jeruji besi di pintu selnya dan mengikat batang yang paling tebal pada ujung kain tadi. Beom-Seok memperhitungkan dan memperhatikan suasana di sekitar, ketika sipir jaga menjauh dari kawasan selnya Ia pun menyelinap dari celah pintu. Celah itu cukup besar sehingga dengan beberapa teknik lenggokkan, seorang pria dewasa bisa keluar melaluinya. Beom-Seok mengayunkan tali di tangan dan melemparkan batang besi itu hingga tersangkut pada pagar mezazin di atasnya. Dengan memanfaatkan celah pintu besi dan lubang ventilasi pada dinding penjara Ia memanjat ke atas sambil menggenggam erat kain yang terikat pada batang besi tersebut. Pemuda itu mengangkat tubuhnya melewati pagar besi. Beom-Seom pun mengendap-endap menyusuri lantai terbuka itu menuju ke bawah sebuah jendela besar yang terpampang di atap penjara. Untuk sesaat Ia berdiri dan mendongakkan wajahnya sembari memperhatikan berbagai permukaan yang bisa Ia manfaatkan sebagai pijakan. Jarak antara lantai mezazin dengan langit-langit penjara yang cukup jauh membuat Beom-Seok harus memanjat dan berpegangan pada celah-celah pada dinding penjara. Dengan bertumpu pada sebelah tubuhnya, Ia melemparkan batangan besi itu hingga mengalungi sebuah kerangka kayu yang melintangi langit-langit penjara. Perlahan-lahan Ia turun sambil menarik batangan besi tersebut, melilit dan mengikatnya dengan kokoh pada bagian tali yang menjulur, kemudian menariknya hingga besi itu tersentak ke atas serta membentuk simpul yang menggemal erat pada kerangka kayu itu. Beom-Seok menarik napas panjang sementara kedua tangannya menyambut untaian kain tersebut, seluruh tenaga Ia kerahkan untuk memompa tubuhnya ke atas. Terlihat kain itu berayun-ayun mengikuti gerakan Beom-Seok hingga Ia sampai di atas bentangan kayu tebal di langit-langit penjara. Ia terduduk pada batang kayu itu, napasnya memburu dengan rona wajah merah padam. Sesudah menarik uluran kain tadi ke pangkuannya dan melepaskan belitannya dari kayu, kini pandangan Beom-Seok tertuju pada sebidang jendela besar yang menempel di atap. Jendela itu pun tidak lepas dari pengamatannya selama berbulan-bulan, sebab pada lantai penjara yang kusam terlihat bekas rembesan air hujan yang berasal dari jendela tersebut. Beom-Seok melilit kedua tangannya dengan sobekan kain, dengan hati-hati Ia menggoyang-goyangkan celah pecahan kaca pada jendela itu. Sesuai dugaannya, bagian jendela itu luput dari pemeliharaan sehingga kosen kayunya yang rapuh bisa dengan mudah dipatahkan. Gerakannya tangannya agak tergesa-gesa sehingga tanpa sengaja Ia menjatuhkan sepotong kecil beling yang seketika pecah berhamburan saat menghantam lantai penjara. Perasaan was-was melingkupi Beom-Seok, sejenak Ia terdiam lalu kembali berusaha membongkar kerangka jendela itu. Begitu dirasa cukup, pemuda itu pun menyelinap keluar. Bibirnya meringis ketika serpihan kaca yang masih menempel menyayat punggung dan dadanya hingga menorehkan garis panjang berwarna merah. Kini Ia pun sudah berada di udara terbuka, langit di malam itu sangat kelam seolah-olah berpihak padanya. Namun pelarian itu belum selesai, di sekelilingnya tampak lampu-lampu sorot mengitari kawasan penjara dan cahaya senter regu patroli berpendar di antara kegelapan. Beom-Seok menyusur tepian atap penjara hingga Ia menemukan bagian bangunan yang agak menjorok ke atas dari struktur bangunan lainnya. Di sana, sekali lagi Ia membelitkan kain yang dari tadi Ia bawa. Dengan bantuan kain itu serta sebatang pipa logam besar yang tersambung hingga ke dasar gedung, si tahanan menuruni bangunan tersebut. Tidak lama kemudian kakinya pun mendarat mantap di halaman penjara. Dari situ Beom-Seok melarikan diri menuju sebuah lapangan yang dinaungi oleh hutan pinus, melompati pagar-pagar besi yang tidak terurus karena manajemen penjara yang lalai, dan melanjutkan pelariannya menuju permukiman yang berada di utara. Ketika menjelang subuh, seorang sipir yang berjaga menyadari kejanggalan ketika melintasi kawasan kamar sel Beom-Seok. Ia segera melaporkan bahwa tahanan tersebut telah melarikan diri sehingga dikerahkan pencarian dalam radius 10 km. Meskipun begitu, Beom-Seok sudah lama menghilang di tengah-tengah Kota Gyeongseong yang masih terlelap. Lewat tengah malam tepat setelah Ia berhasil melarikan diri dari penjara, Beom-Seok kembali ke kediaman neneknya. Kesehatan wanita tua menjadi buruk semenjak Ia menerima kabar penangkapan cucunya itu, namun Beom-Seok menyadari bahwa inilah kesempatan terakhirnya untuk menemui sang nenek sebab kepolisian Jepang akan segera sadar kalau Ia berhasil kabur. Wanita tua itu menangis ketika melihat kondisi cucunya yang mengenaskan. Neneknya menyuruh beberapa pelayan untuk membersihkan tubuh Beom-Seok dan mengobati luka-lukanya. Ia lalu memberikan sehelai foto tua dan sedikit makanan kepada Beom-Seok. Ia menyuruh cucunya untuk segera berangkat menuju kota Taegu untuk menemui pria di foto itu: Cheong Kwang-Sun, seorang kerabat jauhnya. Pemuda itu mengalungkan lengannya pada tubuh sang nenek, air matanya tidak tertahankan ketika Ia menatap wanita yang sudah membesarkannya itu. Beom-Seok segera pamit, mungkin itu terakhir kalinya Ia bisa bertemu neneknya. Pagi-pagi sekali Ia membeli tiket kereta menuju Taegu, tampak beberapa polisi Jepang yang berseliweran di sekitar wilayah tersebut. Takut ditemukan, Beom-Seok memutuskan untuk menyelinap ke sebuah gerbong kargo, di mana Ia menemukan bahwa ada penumpang yang membawa hewan ternaknya dalam gerbong tersebut. Saat polisi Jepang menginspeksi ruang gerbong yang Ia tempati, Beom-Seok segera membenamkan dirinya di balik tumpukan jerami pelapis lampin ternak yang bercampur dengan kotoran. Bau yang menyengat dan kegaduhan dari hewan-hewan dalam gerbung tersebut berhasil mengusir para inspektur itu sehingga Beom-Seok pun lolos. Pukul 08.00 pagi kereta uap yang Ia tumpangi akhirnya melaju meninggalkan Gyeongseong, kota yang bahkan memberikan lebih banyak kenangan dibandingkan kota kelahirannya sendiri. Ketika pertama kali tiba di kota itu bersama sang nenek, sedikit pun Ia tidak pernah menyangka akan meninggalkan Gyeongseong dengan membawa aib dan rasa hina yang memenuhi pundaknya. Beom-Seok kecil selalu berusaha agar tidak mendukakan perasaan sang nenek, hingga seiring berjalannya waktu tekad itu pun tanpa Ia sadari menjadi sebuah ikrar antara diri dan batinnya; ironisnya, perasaan duka adalah hal terakhir yang bisa Ia tinggalkan untuk wanita yang sudah Ia anggap layaknya ibu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD