1

335 Words
Clang Sreek..... Tubuh ringkih itu mulai menggeliat pelan dalam balutan selimut yang tebal. Matanya tertutup kain hitam, menghalangi secercah cahaya yang berusaha masuk ke pupil mata itu. Rantai panjang membelenggu kaki dan tangannya. Membuat semua pergerakannya menimbulkan bunyi nyaring hasil gesekan rantai. Kamar itu penuh dengan boneka dan mainan lainnya. Bersekarakan setelah dihancurkan oleh pemiliknya. "Kakak....." Sosok itu bergumam dengan suara tidak jelas. "Kakak…..” Lirihan itu terdengar semakin jelas. Tangannya yang pucat mencoba meraih sosok yang dia panggil sedari tadi. Sosok yang selalu menemaninya. Saat dia bangun hingga dia tidur kembali. "Kak Liffus….." Sebuah tangisan parau lolos dari bibir ranumnya. Tubuhnya bergetar saat tahu sosok yang dia panggil tidak ada dalam jangkauannya. Clek Tangisnya terhenti begitu indra pendengarannya menangkap bunyi pintunya yang dibuka. Wangi pinus bercampur jeruk menerobos indra penciumannya. Wangi khas kakaknya. "Maaf aku membuatmu menunggu..." Suara itu terdengar penuh penyesalan. Tangannya yang besar mengusap pipi itu dengan lembut, menghapus air mata yang masih mengalir dari pipi putih adiknya. "Luciel." Anak itu, Luciel hanya menggeleng lemah. Mengubur wajahnya dalam d**a bidang kakaknya. Hidungnya menggosok pelan, berusaha menghirup aroma aman kakaknya sebanyak yang dia bisa. "Tidak apa-apa.Yang penting kakak sudah di sini. Maaf aku terlalu cengeng," ujarnya menyesal. Kakaknya hanya tersenyum simpul, senang saat tahu adiknya tidak marah sama sekali saat dia kembali sedikit telat. "Aku akan berusaha lebih cepat lain kali. Untuk sekarang, aku membawakan makanan untuk kita berdua. Akan kusuapi." Lucial berjingkrak kecil saat tahu kakaknya akan menyuapinya, hal yang biasa dia lakukan saat ingin menunjukan perhatian yang lebih pada adiknya. Luciel dengan cepat menyesuaikan postur duduknya, sedikit kesusahan saat rantai besar itu menganggu pergerakannya. “Pelan-pelan, aku akan membantumu Luciel.” Dengan pelan Liffus menarik tubuh adiknya untuk kembali bersandar di dadanya. Mengambil makanan yang ia bawa sambil mulai menyuapi Luciel. “Buka mulutmu.” Dengan yakin, Luciel perlahan mulai membuka mulutnya. Rasa manis segera memasuki mulutnya. Luciel tersenyum kecil, mulai menyunyah makanannya dengan perlahan. "Rasanya enak. Terima kasih Kakak, aku menyayangimu," ungkapnya tulus. To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD