Bab 4

1460 Words
Semua berjalan normal beberapa hari belakangan ini. Meski sesekali masih ada wartawan yang menyambangi rumah kami, tapi ketidakberadaan kami di rumah lama-lama menghentikan mereka. Apalagi ada berita terbaru tentang pasangan fenomenal yang akan menikah secepatnya. Sepertinya hal itu berhasil mengalihkan perhatian mereka dari kami. Hm, aku tau semua perkembangannya dari bi Eni yang setiap hari selalu ada di rumah. Ya, aku dan suamiku kini selalu berada di kantor. Meski hanya dia yang bekerja, aku selalu menemaninya di sana. Memberikan dukungan untuknya, sambil aku juga mempelajari dunia bisnis. Bersyukur orang-orang itu tidak mengetahui keberadaan kami. Dua hari lalu, Aldi datang menemui kami mengutarakan kalau dia sangat tidak ingin Devan berhenti. Beda dari ketiga teman lainnya, Aldi ternyata berada di pihak Devan. Tapi tetap saja mereka kalah suara, dan Devan tetap pada keputusannya. "Dev," panggilku saat dia asik dengan layar monitor di depannya. Dia hanya menggumam seperti biasanya. Tidak sedikitpun menoleh padaku. "Pengen makan coklat asli Malaysia deh," celutukku. Kalimat pendek berisi keinginan itu berhasil mengalihkan pandangannya. Menatap dengan wajah sangat serius padaku. "Tumben banget minta yang jauh, biasanya paling es krim doang." Aku memberengut mendengar cemoohannya. Memang sih, biasanya hanya minta es krim atau coklat yang bahkan bisa didapatkan di minimarket mana saja. Entah kenapa siang ini aku ingin sekali akan makanan satu itu. Wajar saja bukan, aku penggila coklat. "Iya, iya. Aku carikan nanti," katanya melihat wajah kesalku. "Tapi pengen beli langsung dari sana." Nah loh, permintaan apa lagi itu. Itu artinya berarti kami berdua harus ke Malaysia demi membelikan makanan itu. Devan terlihat semakin berpikir. Bahkan keningnya berkerut tanpa mengalihkan pandangan dariku. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dagu indahnya. "Dev," ulangku lagi. "Iya, iya. Besok kita kesana." Bukan hal yang sulit baginya sekedar memenuhi permintaan untuk pergi ke Malaysia saja. Hei, sekarang ini dia adalah pemilik dua perusahaan maju yang semakin hari semakin bertambah omsetnya. Sedikitpun hal itu tidak akan mempengaruhi kekayaan miliknya. Itu hanya seupil baginya. "Dev." "Apa sih, sayang? Perginya besok saja, ini udah hampir sore. Kalau pergi sekarang tidak sempat balik lagi." Masa sih? Ini kan masih jam satu siang. Sepertinya masih keburu. Aduh, maaf. Sifat manjaku kembali lagi. Permintaanku harus dipenuhi saat itu juga. Devan menghela nafas panjang. Mengambil gagang telepon yang ada di mejanya dan menghubungi seseorang yang aku tidak tau siapa. Kesal nggak sih, kita lagi bicara dengannya malah dia menelefon seseorang. Tapi kekesalanku menghilang seketika saat menangkap apa yang dia bicarakan lewat telefon. Astaga, dia memang pujaan hatiku. Selalu menyenangkanku. "Yuk." Dia mengulurkan tangannya padaku. Entah sejak kapan dia sudah ada di depanku. "Eh? Beneran?" tanyaku tak percaya. "Katanya kamu mau coklat," balasnya dengan wajah lembut. Tidak sedikitpun ada kemarahan disana. Aku membalas uluran tangannya dengan semangat. Tentu saja, dia mengabulkan permintaanku yang sedikit memaksa, bagaimana tidak senang. Kami berjalan meninggalkan ruangan mewahnya. Berhenti sejenak di depan meja Thomas -yang aku sendiri sebenarnya tidak enak memanggilnya hanya dengan nama karena usianya yang jauh lebih tua dariku tapi dia memaksaku demikian. Dia adalah sekretaris Devan. Aku bergelayut manja di lengan Devan sepanjang perjalanan ke bandara. Aku tidak mengerti ini kenapa, tapi ada sesuatu dalam diriku yang menginginkannya. Seakan takut berada jauh darinya, apalagi kalau sampai dia meninggalkanku. "Kok kamu tiba-tiba jadi manja lagi sih?" tanya Devan penasaran. Kulepas gamitanku pada lengannya. Memberengut kesal karena pertanyaannya. Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran kursi dan membuang pandanganku ke luar kaca mobil. Malah Devan yang mendekat padaku, meraih tubuhku dalam pelukannya dan sesekali menciumi kening dan puncak kepalaku. "Maaf, bukan bermaksud menyinggung. Tapi aneh aja," bisiknya. Tanganku memukul dadanya sekali, membuatnya terkekeh. Di bandara, kami melihat seorang wartawan sedang mewawancarai salah seorang artis terkenal yang sepertinya baru saja kembali dari perjalanan jauhnya. Melihat hal itu membuatku ingat akan beberapa hari yang lalu. Devan membawaku menjauh. Bisa saja kami menjadi sasaran mereka jika terlihat olehnya. Aku masih ingin hidup tenang tanpa pemberitaan tentang diriku dan Devan. Tak sampai satu jam menunggu, kami sudah berada dalam pesawat yang akan menerbangkan kami ke negara tetangga yang terkenal dengan menara kembarnya. Semuanya lancar dalam kendali seorang Devan yang bahkan baru beberapa hari kembali menjadi penguasa di perusahaan. Dan beruntung paspor dan sebagainya selalu berada dalam dompetku. Ini sangat aneh. Tidak biasanya aku mual dan mabuk sejauh apapun perjalananku. Membuat Devan semakin sibuk saja. Tapi tidak ada protes dan penolakan darinya. Dengan penuh perhatian dia mengelus punggungku. Ugh, kepalaku sangat pusing. "Apa ibu lagi hamil muda?" tanya seorang pramugari yang berpenampilan sangat cantik. Aku menggelengkan kepala. Bulan lalu aku masih datang bulan. Bulan ini memang masih belum tanggalnya. "Ya sudah, sebaiknya minum obat dan istirahat saja di kursi. Perjalanannya masih sekitar empat puluh lima menit lagi," jelas pramugari itu. Aku sempat-sempatnya berdecak sebal saat melihat wanita itu tersenyum ramah. Padahal kalau dipikir-pikir, semua pramugari memang seperti itu kan sama siapa saja yang ada di dalam penerbangan bersamanya. Devan menuntunku kembali ke kursi. Mematikan ac, memakaikan selimut dan memijat tengkukku. Sedikit membantu memang. Bahkan sangat nyaman hingga terasa menggodaku untuk menutup mata sejenak. Tepukan di pipiku akhirnya membangunkanku. Ternyata kami sudah tiba di tempat tujuan. Kuala Lumpur. Tanpa menunggu apa-apa lagi, tujuan kami sekarang hanyalah membelikan coklat. Dan itu ada di bandara. Tidak perlu keluar, apalagi Devan terlihat sangat mengkhawatirkan keadaanku. Dia memilih untuk istirahat di bandara saja, dan menunggu penerbangan untuk kembali. Saat hari mulai gelap, kami sudah ada di dalam penerbangan untuk kembali. Devan terlihat wanti-wanti, kalau saja aku mual seperti sebelumnya. Dan benar saja, hampir sepanjang perjalanan aku menjadi langganan tetap toilet. Bahkan isi perutku sudah tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan. Tapi tetap saja, aku tak bisa menahannya. Dan suamiku hanya bisa menghela nafas. Waktu landing adalah waktu yang paling kutunggu. Tubuhku sudah tidak mampu lagi menahan ini. Aku lelah dan sangat lemah. Aku butuh asupan energi. Apalagi ini memang sudah waktunya makan malam. "Kita makan dulu ya," kata Devan. Dia mengerti tubuhku yang sangat lemah. Aku hanya mengangguk. Sopir yang menjemput kami diminta oleh Devan untuk membawa kami ke salah satu restoran. Ugh, ini menyebalkan. Bahkan naik mobil saja membuatku mabuk. Berkali-kali kami harus berhenti karena isi perutku terasa dikocok. "Masih mual?" tanya Devan yang kujawab dengan anggukan kepala. Ini kelima kalinya kami berhenti. Hampir setiap kilometer harus berhenti, padahal perjalanan menuju restoran tidak begitu jauh. Devan mengoleskan minyak angin di kedua sisi kepalaku dan memijatnya perlahan. Bau ini bahkan tidak kusukai, tapi terpaksa demi bisa mencapai restoran lebih cepat. Aku bisa apa lagi selain menuruti Devan. "Udah," bisikku setelah beberapa menit. Mobil dilajukan kembali dengan perlahan. Sepertinya kali ini bertahan sedikit lebih lama. Kami tiba di restoran yang sudah dipesan oleh Devan tanpa harus berhenti lagi. "Makanlah, selagi masih hangat. Wajah kamu pucat banget," kata Devan. Beberapa jenis makanan di hadapanku memang terlihat sangat menggiurkan. Mengingat semua isi perutku sudah berhasil keluar sejak siang tadi, aku sangut butuh ini. Tidak butuh waktu lama untukku menghabiskannya. Menyantap makanan yang memang benar-benar nikmat. Devan bahkan sampai memandangiku seakan melihat sesuatu yang tidak mungkin. Wajahnya sangat menunjukkan keheranan, tapi tidak ada komentar darinya. Usai makan malam, kami melanjutkan perjalanan. Aku berpikir keras apakah kali ini masih mual. Bahkan sempat terpikir olehku untuk membelikan makanan lagi sebagai persiapan jika saja kali ini masih sama. Aku menggelengkan kepala. Mensugesti diriku kalau kali ini baik-baik saja. "Kita ke dokter dulu ya? Aku khawatir dengan keadaan kamu," pinta Devan saat masih baru mendudukkan dirinya di kursi mobil. Sedikit tidak ingin sebenarnya, yang aku butuhkan hanyalah istirahat. Tapi melihat wajah memelas Devan membuatku menyetujuinya. Pak Bowo yang mengemudikan mobil langsung melajukan mobil, sambil sesekali memperhatikan kami dari spion yang ada di bagian depan. Berjaga-jaga kalau saja aku mual lagi. Sempat mual beberapa kali, tapi tidak sampai memuntahkan isi perutku. Hanya dengan menghirup udara bebas membuatku kembali tenang. Aduh, ini sangat memalukan. Bagaimana ini bisa terjadi padaku. Wanita paruh baya dengan seragam putihnya yang tidak lain adalah dokter Fany menyambut kami di dalam ruangan setelah mendapat panggilan dari seorang suster. Wanita itu tersenyum pada kami. Setelah berbincang sebentar tentang apa yang kualami dan memeriksa keadaanku, wanita itu tersenyum penuh arti. "Selamat untuk bapak dan ibu. Janinnya sudah empat minggu dan keadaannya sehat. Tolong dijaga baik-baik, apalagi usia ibu masih sangat muda. Sangat rawan. Jangan lupa untuk kontrol juga setiap bulannya." Aku melongo mendengar penjelasan yang sungguh membuatku tidak percaya. Bagaimana mungkin aku hamil dan usianya sudah empat minggu. Bulan lalu aku masih mendapatkan bulan berdarahku. "Tapi bagaimana bisa, dok? Bulan lalu aku masih datang bulan. Bulan ini belum karena memang masih belum tanggalnya," sanggahku. Sorot dokter Fany melembut. "Memang ada beberapa kasus yang seperti itu. Dan ibu salah satunya. Tenang saja, tidak ada yang salah dengan hal itu. Sejauh ini semuanya masih baik-baik saja. Saya harap seterusnya juga seperti itu," jelasnya dengan senyuman lembut yang tak hilang dari wajahnya. "Oh iya, saya akan berikan resep obat untuk menghilangkan rasa mual dan vitamin yang bisa ditebus di apotik," lanjutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD