Bab 3

1325 Words
Berita itu semakin memanas, bahkan membuat hampir sepanjang hari rumah kami didatangi oleh wartawan. Dan d'Earth, semakin banyak diperbincangkan. Baik dan buruk, semuanya menyelimuti berita tentang mereka dan juga aku. Tak ada lagi waktu bebas untukku untuk berkeliaran kemana-mana seperti biasanya. Jangankan belanja ke mall. Baru selangkah dari pagar saja sudah dikerubungi. Bagaimana bisa pergi jauh dari rumah? Tidak ada lagi hari-hari seperti dulu. Astaga, kenapa malah jadi seperti ini? Belakangan ini juga, band Devan dengan teman-temannya itu srmakin jarang diundang untuk mengisi acara dimanapun. Gunjingan buruk pada mereka lebih mendominasi ternyata. Aku heran. Statusku dengan Devan kan resmi menikah. Bukan hubungan terlarang atau yang bukan-bukan. Lalu apa salahnya dengan menikah muda? Daripada malah berbuat dosa. Kepalaku rasanya ingin pecah. Kuhempaskan tubuh lelahku ke sofa. Beberapa menit yang lalu, mbak Netta mendatangi rumah kami demi berbicara serius dengan Devan. Aku memang tidak mendengarkan keseluruhan pembicaraan mereka sekalipun aku ada di antara keduanya. Intinya, Devan harus segera mengambil keputusan, yang aku tidak mengerti sama sekali. Dengan kata lain, mbak Netta meminta Devan keluar secara hormat? "Lea..." Devan duduk di sebelahku, mengelus rambutku penuh kasih. Aku hanya menoleh ke arahnya, tidak membalas panggilannya. "Mungkin memang bukan nasib kita ada di industri musik. Aku sudah mengambil keputusan, aku akan berhenti, dan fokus dengan kuliah juga perusahaan." Sorot wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. Bagaimana tidak, dia memang sangat menggilai drum-nya, bahkan sejak masih kecil. Tanganku terangkat menyentuh wajahnya. "Tidak perlu memaksakan diri, Dev. Selama ini juga ada pak Dhewo dan pak Arman yang mengurusi perusahaan. Mungkin kita bisa bicara baik-baik dengan mereka." Dia menggeleng. "Tapi mereka sudah terlanjur kecewa. Bisa-bisa ke depanbya segala hal yang buruk pada band akan disangkut pautkan dengan masalah ini. Aku tidak mau. Kalau mereka memang ingin aku tetap dengan mereka, sejak awal pasti mereka tidak akan mempermasalahkannya. Mereka bahkan sudah sejak awal mengetahui pernikahan kita." "Tapi masih ada banyak orang yang menginginkan kamu tetap dengan mereka. Mereka..." "Sst... Kita mulai saja hidup kita yang seharusnya. Bukankah sejak awal kita memang seharusnya ada di dunia bisnis? Mungkin suatu saat nanti kita bisa kembali ke dunia hiburan dengan cara yang lain. Biarkan semuanya mereda sekarang. Ini keputusan terbaik." Baiklah. Aku mendukung setiap keputusannya. Aku juga ingin yang terbaik untuknya. "Oke. Aku ikut denganmu." "Tentu saja... dan harus, sayang. Hm, sekarang ini aku hanya ingin... b******a denganmu." Ugh, mudah sekali dia mengalihkan pembicaraan. Dan bagaimana bisa dia bernafsu di saat kepala dipenuhi oleh pikiran yang memberatkan, membuat pusing seperti ini. Sebelum aku sadar, dia sudah menciumku dengan ganas. Menginvasi seluruh isi mulutku dengan lidah pintarnya. Tangan-tangan lihainya sudah memberikan sentuhan yang bisa membuatku melayang ke langit ke tujuh dalam sekejap. "Akh, jangan di sini," bisikku di sela ciuman panasnya. Selagi kesadaranku belum hilang, aku harus mengingatkannya. Ada beberapa orang lain di rumah ini. Aku juga tidak ingin mereka melihat aktivitas menggairahkan inu walau seringkali kami ketahuan oleh mereka saat berciuman. Sebuah kecupan diberikannya di sudut bibirku sebelum membopong tubuhku menuju kamar. Aku tidak mengerti bagaimana caranya, tapi seolah aku hanua seringan kapas saat dia membawaku menaiki puluhan anak tangga yang berkelok menuju lantai dua. Tubuhku dihempaskan ke atas kasur empuk dan diiringi dengannya yang menindihku. Aktivitas yang sempat tertunda dilanjutkannya kembali. Hanya dalam hitungan detik, dia sudah meloloskan seluruh pakaian kami, membuat tubuh kami sama-sama polos. Rasanya seperti dia seorang ahli dalam hal ini. Memang sih, pengalaman selama tiga bulan ini bukan suatu hal yang sepele. Sepertinya dia banyak belajar juga. Entahlah. Hm, aku menyukai otot d**a dan perutnya. "Sepertinya kamu sangat menyukainya," bisiknya s*****l saat dia sudah berhasil menyatukan kami. Bergerak dengan perlahan, dan semakin cepat. Ya, aku memang menyukainya. Sangat menyukainya, bahkan sejak pertama kali melakukannya dengan suamiku ini. Dia selalu tau keinginanku dan pintar memperlakukanku. Jantungku berdebar sangat kencang saat tangannya mulai bergerak-gerak menyentuh perutku. Aku pikir, ini akan menjadi malam pertama kami. Malam kelima setelah kepergian mama. Kondisiku memang sudah berangsur normal. Kepergian mama sudah kuikhlaskan. Aku menahan nafas saat dia semakin mendekat, menghirup nafas dalam-dalam di bawah telingaku. Ini membuatku semakin bergidik geli. Dan nyatanya, aku memang sedikit takut. Pernah mendengar cerita orang kalau malam pertama itu pasti rasanya sakit. "Dev..." Ah, aku bahkan mendesah. Devan menghentikan aktivitasnya, mengangkat kepalanya dan menatap tajam ke arahku. Kilatan gairah bahkan terlihat jelas di matanya. Dia meneliti wajahku. Entahlah apa yang dia lihat di sana. "May I?" tanyanya dengan nada dan ekspresi yang serius. Kepalaku mengangguk dengan patuh. Dalam hati berdoa supaya Devan memperlakukanku dengan lembut. Sungguh aku masih takut memikirkan rasa sakit yang akan kuterima. "Aku akan melakukannya dengan perlahan. Aku juga tidak ingin kamu kesakitan. Kita sama-sama belajar." Sangat jelas kuketahui kalau ini juga pertama kali untuk Devan. Belum sekalipun dia menyentuh gadis lain di luar sana. Dimulai dengan kecupan, ciuman lembut yang semakin menuntut, hingga akhirnya lidahnya menjelajahi hampir seluruh tubuhku. Tangannya juga tidak tinggal diam menggerayangi tubuhku yang tidak kusadari sudah dalam keadaan telanjang. Demikian juga dengannya. Sentuhannya seolah membutakanku, tapi aku sangat menyukainya. Sesuatu dalam diriku terasa mendesak keluar dari bawah perutku. Oh, ini sangat nikmat. Jantungku kembali berdebar kencang saat dia sudah mengarahkan kejantanannya yang berdiri tegak ke pusat diriku. Seolah mengetahui kecemasanku, dia mencium bibirku lembut, meremas payudaraku dengan salah satu tangannya sementara tangan lain membimbing kejantanannya. Dan dengan perlahan dia menyatukan tubuh kami. "Akh!" Rasanya memang sakit, perih. Tubuh bagian bawahku terasa sangat penuh. Kututup kedua mataku rapat. Tetapi sakitnya malah semakin terasa. Nafasku semakin memburu disertai dengan peluh yabg membanjiri tubuh kami. Devan tidak bergerak namun juga tidak menarik dirinya keluar. Membiarkan bagian dari tubuhnya tetap berada di dalamku. Dia menciumku lembut, disertai bisikan-bisikan cinta. "I love you, Lea. I love you so much." Tangannya yang tadi meremas payudaraku kini malah mengelus rambut dan wajahku. "Tahan sebentar," tambahnya. Ciumannya kembali dia manfaatkan untuk mengalihkanku dari rasa sakit saat dia meneruskan bergerak, perlahan dan perlahan. Bahunya kucengkram sangat kuat, seolah melampiaskan padanya. Jeritan kesakitan itu semakin lama berubah menjadi desahan dan erangan kenikmatan. Aku juga tidak tau bagaimana caranya hal itu bisa berubah sedemikian cepatnya. Yang aku rasakan saat ini bukan lagi sakit, tapi justru aku sangat menikmatinya. Gerakannya yang tadi perlahan sudah berubah menjadi cepat. Dan lenguhan panjang terdengar saat di bawah sana terasa berkedut. Tak hanya diriku, tetapi dari Devan yang juga menumpahkannya di dalamku. Di sela kenikmatan akan k*****s percintaan kami, aku masih sempat memikirkan kalau ini bukanlah hari suburku. Aku masih belum siap untuk mengandung seorang Devan junior walaupun aku sangat ingin. Aku hanya merasa aku belum cukup dewasa untuk menjadi seorang ibu. Aku sendiri saja masih sangat bergantung pada Devan dan bi Eni. Dan aku akan mempersiapkan diri secepatnya. "I love you, Lea," bisiknya lagi dan mencium keningku. Aku bisa lihat ketulusan di wajahnya. Tubuhnya yang menindihku digeser ke samping, berbaring di sebelahku. Tangan berotot pas itu -karena seringnya menabuh drum dan pastinya olahraga- menarikku dalam pelukannya. "Terima kasih untuk hari ini," lanjutnya. Aku mengangguk, menunduk malu saat menyadari sudah sejauh apa yang kami lakukan. "Tidurlah sebelum aku berubah pikiran," perintahnya. Berubah pikiran, maksudnya? Dia tidak serius dengan hubungan kami? Dia akan meninggalkanku setelah semua ini? Oh, dia begitu kejam. "Sebelum aku berubah pikiran dan membuatmu tidak bisa tidur semalaman dan tidak bisa berjalan besok." Tangannya mengelus punggung polosku. Astaga, aku yang terlalu berpikiran negatif. Kutempatkan wajahku di d**a bidangnya. Aroma tubuhnya yang selalu bisa menenangkanku akan membuatku tidur lebih cepat, apalagi setelah kelelahan. "Kamu mikirin apa sih? Aku udah kayak b******a dengan apaan aja ini, nggak ada balasan," gerutu Devan yang membuatku tersadar kembali. Karena mengingat kembali bagaimana rasanya pertama kali melakukannua dengan Devan membuatku lupa kalau saat ini kami masih dalam permainan panas di bawah kendalinya. Lupa kalau aku masih mengangkang untuknya, menyerahkan diriku pada sosok suamiku yang sangat aku cintai ini. Aku menggeleng. Dengan cepat meraih tengkuknya dan mencium bibirnya dengan ganas. Hanya dengan perlakuan kecil ini, Devan kembali bersemangat menggerakkan pinggulnya. Maju mundur mengisi kekosongan di dalam diriku. Dan hanya beberapa menit kemudian, cairan cintanya sudah memenuhiku. Bukannya berhenti setelah mendapatkan puncaknya, Devan masih terus melanjutkannya. Kalau sudah seperti ini, sampai sore nanti pasti akan terus berlanjut. Aku sudah sangat hafal dengan perangainya. Terlebih mengenai hal ini. Walaupun lelah, tapi aku juga menyukainya. Apalagi ini bukanlah sesuatu yang terlarang lagi bagi kami. Sesekali membahagiakan suami tidak masalah kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD