Bab 2

1137 Words
Aku tidak tau apakah ini mimpi atau bukan. Kalau ini mimpi, aku tidak ingin bangun dari mimpi indah ini. Aku ingin selamanya ada di posisi ini. Usai manggung tadi, tidak ada pilhan lain bagi kami selain menginap di salah satu hotel yang tidak jauh dari tempat acara. Mereka selesai saat tengah malam, dan Devan kelelahan. "Apa yang kamu pikirkan? Kenapa kamu semakin sering melamun sih?" Aku menggeleng. "Tidak ada. Aku hanya merasa kehidupanku saat ini ada di posisi yang tinggi. Entahlah, padahal beberapa bulan yang lalu aku merasa sangat terjatuh." Devan mengeratkan pelukannya padaku. Mengecupi puncak kepalaku. "Kamu tau kan kalau kehidupan itu selalu berputar. Tidak akan selamanya kamu ada di bawah, dan tidak selamanya juga kamu ada di atas. Semua ada waktunya masing-masing. Sekarang nikmati saja apa yang ada, kita tidak tau apa yang terjadi ke depannya." Sungguh tidak menyangka Devan bisa se-dewasa ini. Hm, dari dulu memang dia lebih dewasa dariku sih. Dan aku bersyukur akan hal itu. Aku bisa menikmatinya sekarang. Lihatlah dia sekarang yang bekerja keras untuk kehidupan kami. Padahal di usia ini seharusnya kami masih menjadi tanggung jawab orang tua. Dan dia malah lebih seperti waliku sekarang. Dia yang merawatku sekarang. Tidak sekalipun aku mendengar keluhan darinya, kecuali saat aku kedatangan tamu bulanan seperti sekarang ini. "Dev..." "Hm..." Kebiasaan sekali menjawabku hanya dengan gumaman seperti itu. "Apa kamu bahagia? Apa kamu menikmati hidup seperti sekarang ini?" Dia menatapku tidak percaya. Seolah bukan aku yang menanyakan kalimat tadi. "Tentu saja, sayang. Aku sangat bahagia. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan lagi untukku. Kurasa, aku orang yang paling bahagia di dunia ini." "Apa yang membuatmu bahagia?" Devan tersenyum manis. "Kamu." Dia menyentuh ujung hidungku dengan jari telunjuknya. "Bukannya aku hanya selalu menyusahkanmu? Seperti tadi siang juga, sebenarnya kamu tidak ingin pergi ke mall kan? Tapi demi aku, kamu malah bela-belain sampai-sampai dikerubungi fans seperti itu." "Maka karena itu aku bahagia. Karena kamu senang, dan itulah kebahagiaanku. Aku tidak peduli harus berhadapan dengan siapa, selama kamu senang maka aku akan melakukannya." Kurasa wajahku memerah seperti tomat sekarang. Rasanya cukup panas. Tidak ingin ketahuan olehnya, aku memilih untuk menyembunyikan wajahku di dadanya. Hei, aku ini masih gadis muda yang akan memerah saat mendengar kalimat rayuan. "Tidurlah. Bukankah hari ini melelahkan?" "Hm." Aku hanya menggumam, menenggelamkan wajahku semakin dalam di dadanya. Menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. Saat aku terbangun, jam di nakas sudah menunjukkan jam delapan pagi. Astaga, ini sudah hampir siang. Tapi, kemana Devan? Dia tidak ada di sebelahku. "Eh, sudah bangun ternyata?" Dia muncul dari kamar mandi dengan wajah super segar. Uh, sudah mandi saja dia. "Kenapa tidak membangunkanku?" protesku. "Kamu sangat kelelahan. Sampai-sampai tidurmu saja mengorok," ledeknya. Benarkah? Aku tidak percaya. Selama ini aku tidak pernah seperti itu. "Cepatlah mandi. Kita akan pulang," perintahnya lagi. "Aku akan pesankan sarapan untuk kita." Aku memilih untuk berendam di bath up. Rasanya sangat menenangkan, sampai-sampai kelopak mataku terasa semakin berat. Dipaksa untuk menutup kembali. Apalagi semalam cukup melelahkan sepulang dari tempat manggung d'Earth. "Lea..." Panggilan lembut yang diiringi tepukan di pipiku akhirnya membuatku membuka mata. "Hm..." Aku hanya menggumam. "Kenapa malah tidur di bath up sih, sayang? Bisa-bisa kamu masuk angin. Ayo cepat selesaikan mandinya, setelah sarapan kita langsung pulang. Kamu bisa teruskan istirahat di rumah. Yuk. Apa mau aku bantuin mandinya?" godanya. "Tapi ini airnya enak banget. Hangat." Kalau ngeles emang kadang bisa dibanggain. Setelah berbagai macam bujukan yang dia lakukan, akhirnya aku keluar juga dari bath up. Menyelesaikan mandiku dengan cepat. Wangi ayam kecap yang dipesan Devan sungguh menggodaku. "Dev," panggilku saat masih dalam perjalanan. Mungkin karena tamu bulananku, rasanya sangat ingin makan sesuatu yang manis-manis. "Hm." Dia hanya menggumam. "Beli es krim sama coklat dulu yuk. Pengen yang manis-manis," pintaku. Devan menganggukkan kepalanya masih fokus pada jalanan di depan. Dan tak lama, mobil yang dia kendarai membelok ke salah satu minimarket. Bermodalkan rayban hitam yang selalu tersedia di dalam mobil, dia ikut serta menemaniku memasuki minimarket. Devan tak bisa menolak permintaanku yang menginginkan ini itu. Dia setia mengikutiku yang membawa keranjang belanja yang hampir terisi setengah dengan coklat dan jajanan lainnya. Bagian es krim akan diambil terakhir. "Sudah," kataku setelah mengambil jenis coklat terakhir. Dia mengiringku yang membayar ke kasir. Untung saja tidak mengantri. *** Aku hanya bisa bergelung di atas kasurku. Rasa sakit di perutku semakin menggerogoti. Tidak biasanya sesakit ini. Air mataku bahkan menetes hanya karenanya. Rencana awal yang ingin melanjutkan tidur di rumah tidak terwujud. Aku tidak bisa memejamkan mata barang sejenak. "Apakah lebih baik?" tanya Devan sambil menempelkan kompres air hangat di perutku. Kepalaku menggeleng. Kompres yang Devan berikan biasanya berguna, kali ini juga tidak berpengaruh sama sekali. Ini luar biasa sakit. Jauh di luar dugaanku, Devan malah mencium perutku berkali-kali. Mengelusnya lembut dan penuh sayang. Setelahnya, dia setengah berbaring di sebelahku. Menjadikan tubuhny sebagai pelampiasan atas rasa sakit yang kurasakan. Ugh, datang bulan saja seperti ini. Bagaimana kalau aku harus hamil dan melahirkan? Aku tidak sanggup membayangkannya. Entah berapa lama, aku mulai merasa nyaman. Mungkin karena lelah menahan sakit, mataku kini semakin mengantuk. "Lea, sayang..." Aku mengerjapkan mataku, tapi kemudian mencari posisi nyaman lagi. "Makan siang dulu, yuk. Nanti perutnya malah makin sakit kalau masuk angin." Elusan lembut di wajahku memaksaku untuk membuka mata. "Belom lapar," dalihku. "Tapi kamu harus makan. Tidak mau kan perutnya sakit lagi." Ah, sakit perut tadi memang sangat menyiksaku. Sangat menyakitkan. Aku tidak mau lagi. Sedikit terpaksa aku bangun, berjalan ke kamar mandi dan mengikuti Devan yang sudah siap dengan makan siang di meja. Ya, meja yang ada di kamar. Meja belajarku. Saat aku masih sibuk menyendokkan makanan ke mulutku, Devan sesekali mengelus rambutku. Membantuku merapikan rambut yang terjuntai ke depan. Bahkan mencuri-curi cium di kepalaku. "Perutnya masih sakit?" tanyanya penuh nada khawatir. "Sedikit," balasku dan kembali mengisi mulutku dengan makanan. Devan mendesah panjang. Terlihat seperti sedang memikirkan cara lain untuk menanganinya. "Biasanya tidak separah ini," katanya. Aku mengangguk, tapi masih serius dengan makan siangku. Deringan ponsel Devan memecah keheningan kami. Dia beranjak dari kursinya, mengambil ponsel yang ada di nakas. "Hallo." ".........." "Iya, benar. Ini siapa ya?" ".........." "Oh iya, iya, ingat. Nomornya kemarin belum sempat saya simpan, mas. Ada apa ya mas?" ".........." "Oh gitu ya. Hm... bisa sih, tapi... sebentar." Devan berjalan ke arahku. Satu tangannya dipakai untuk menutup microfon ponselnya. "Sayang, ada wartawan katanya mau wawancara di rumah. Dan sepertinya ini kesempatan kita untuk mengatakan yang sebenarnya tentang status kita." Aku bingung. Jujur saja, aku takut kalau-kalau status Devan yang sudah menikah bahkan di usianya yang masih belum mencapai dua puluh tahun, akan menimbulkan komentar negatif padanya. Bagaimana kalau fans-fans mereka nanti malah berbalik membully mereka? Bagaimana kalau pamor mereka semakin merosot padahal masih baru menikmati bagaimana indahnya dunia hiburan? Aku belum siap menerima hal itu. Aku mengkhawatirkan mimpi Devan, tentu saja. Kalau sampai itu terjadi, dia pasti akan sangat sedih. "Apa tidak apa-apa? Takutnya nanti malah berpengaruh ke popularitas band kalian?" tanyaku pelan. "Tidak apa. Bukankah lebih baik kita mengatakan sejujurnya sejak awal meskipun sulit, daripada harus membuat kebohongan demi kesenangan sesaat?" "Ya sudah, terserah kamu aja. Aku tidak masalah." Keadaan dimana Devan masih tersambung dalam telefonnya dengan seseorang membuatku tak bisa berdebat panjang dengannya. Meskipun apa yang dia katakan tadi benar adanya, tapi ada baiknya mengungkapkannya juga perlahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD