Bab 1

968 Words
Semua itu sudah berlalu lama. Kehidupan terus berjalan tanpa bisa kuhentikan. Bahkan hari-hariku sudah penuh dengan aktivitas yang jauh berbeda. Dan aku suka ini, karena om Devan, hm, suami tampanku selalu ada di dekatku. Saat ini aku dan Devan sedang mempersiapkan diri untuk memasuki bangku kuliah. Kami akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan demi meneruskan perusahaan kakek dan papa. Oh, sebutan kakek itu tak bisa kulepaskan begitu saja. Entahlah, mungkin karena seumur aku mengenalnya, aku memang menganggapnya sebagai kakekku sendiri. Baiklah, dia adalah kakek dan mertuaku. "Dev, ada mbak Netta di bawah mencarimu." "Oh iya, sayang. Sebentar." Mbak Netta adalah manajer baru band mereka yang dinamai d'Earth. Seperti rencana yang pernah mereka ceritakan, akhirnya mereka melepaskan diri dari produser lama. Tapi karena aku tetap menolak keinginan mereka untuk menjadikanku manajernya, terpaksa mereka mencari orang baru. Dan kulihat mbak Netta tidak buruk. Oh ya, setelah kepergian mama, aku tidak ingin mengekang Devan seperti yang mama dan papa lakukan dulu. Aku biarkan dia bebas memilih jalan yang dia suka. Keputusannya, dia tetap akan melanjutkan perusahaan kakek dan papa, tapi kegiatan band juga tetap diikutinya. Sejauh ini, aku tidak melihat dia kesusahan. Tapi aku juga tidak begitu yakin setelah masuk kuliah nanti. Dia juga manusia biasa yang mempunyai batas kemampuan. Seperti dugaanku sebelumnya, band mereka sekarang semakin terkenal dan mulai digilai anak-anak remaja hingga dewasa. Padahal ini belum genap tiga bulan mereka benar-benar memperkenalkan diri ke masyarakat. Dulu saja mereka sudah mempunyai banyak fans. Meskipun nama band mereka diganti, nyatanya kecintaan fans untuk mereka tidak berubah. Aku melanjutkan kembali kegiatanku menyiapkan sarapan kami, dibantu oleh bi Eni. Asisten rumah tangga kami yang satu ini tetap setia sekalipun sudah tidak ada mama. "Mbak Netta ngomong apa, Dev? Kok sampai dibelain datang? Biasanya juga ditelpon doang," tanyaku saat Devan sudah menyelesaikan urusannya dengan sang manajer. "Bukan apa-apa. Oh iya, nanti malam kamu ikut, kan?" Ah, aku hampir lupa kalau malam nanti mereka ada manggung juga. "Tapi aku tidak mau berurusan dengan para penggilamu, Dev. Aku tidak akan bisa melawan mereka yang jumlahnya banyak. Sekalipun aku jago jambak-jambakan, tapi itu tidak fair." Minggu lalu hampir saja aku dikeroyok karena mereka mendengar Devan menyebutku 'sayang'. Oh, itu sangat mengerikan. "Tidak akan, sayang. Ada aku kan yang menjagamu." "Bagaimana kalau mereka menculikku saat kamu masih di atas panggung?" Devan bangkit dari duduknya dan memeluk tubuhku dari belakang. "Kenapa harus setakut itu sih? Kan ada mbak Netta, ada Lenny juga, mas Farid sama mas Bima. Lagipula itu adalah tempat ramai, tidak akan ada yang senekat itu. Mereka kesana untuk menonton konser, bukan menculik orang." Aku menarik nafas. "Ya udah deh. Aku ikut." "Oke. Ini baru istri aku," katanya s*****l dan mencium pipiku. Hm, semua orang tau kalau nafsu di masa remaja laki-laki seumuran kami sekarang pasti menggebu-gebu. Begitu juga yang terjadi dengan Devan. Seolah tidak ada waktu lain lagi untuk melampiaskan hasratnya. Lihatlah, ini masih di meja makan, tapi bibir yang tadi hanya mencium pipiku kini sudah beralih ke leher. Tangannya yang mulai bergerak nakal kutahan. Ada bi Eni yang bisa muncul sewaktu-waktu. "Ini masih pagi, Dev," selaku yang malah terdengar seperti desahan. Oh tidak, sentuhannya memang selalu membuat tubuhku tak bisa mengelak. Malah semakin menginginkannya. Devan mendesah panjang. "Akhh. Nanti malam juga pasti akan lama. Tempatnya juga cukup jauh." Dia berhenti sejenak. "Bagaimana kalau kita menginap di hotel saja?" tanyanya. Aku rasa, Devan yang dulu sudah berubah jadi raja m***m sekarang." Dev, tamu bulananku datang. Tidak akan bisa," balasku. "Apa? Lagi? Bukannya baru minggu kemarin ya? Dan semalam juga belum." Nah, dia selalu frustasi kalau mendapati saat-saat seperti ini. "Iya, baru tadi pagi. Kamu juga harus memberikanku istirahat, Dev." Devan hanya tersenyum geli mendengarku. "Nggak usah sok minta istirahat. Padahal kamu sendiri juga menyukainya," cibirnya. "Dev..." "Hm..." Aku menarik nafas panjang. "Nggak jadi deh." Dia menatapku penuh selidik. "Mau apa sih? Ngomong aja sama aku, hm?" "Mau jalan," pintaku dengan nada manja seperti biasanya. "Tapi nggak usah deh. Nanti malam kalau mau manggung, yang ada kamu kecapean. Mending kamu siapin tenaga buat nanti aja." "Kamu mau kemana? Nggak ada yang lebih penting daripada bahagiain istri." "Pengen belanja." Devan menarik nafas. Kalau pergi ke mall pasti dia akan diserbu oleh fans-fans yang bertebaran dimana-mana. "Ya udah. Kita belanja. Sekalian beli baju yang bagus buat kamu." Hanya dalam waktu satu jam, kami sudah tiba di salah satu mall besar di kota ini. Tentu saja dengan Devan yang penuh dengan penyamaran. Setidaknya kalau fans tidak mengenalinya, maka dia tidak akan terlalu lelah menghadapi orang-orang itu. Tidak ada hal yang lebih menyenangkan dari hal ini sekarang. Berpindah dari satu toko ke toko lainnya. Memilih pakaian mana saja yang aku suka. Ini surga. "Kita makan siang dulu, ya. Udah lapar nih," pinta Devan. Kulirik jam yang melingkar indah di tanganku, ini memang sudah jam makan siang. Kami memilih untuk makan di salah satu restoran di dalam mall. "Devan?" Seseorang tiba-tiba saja muncul dan mengenali Devan. Padahal sudah berusaha menutupi dan sejak tadi belum ketahuan oleh siapapun. Mata seseorang ini jeli juga. "Astaga, Devan. Aku ngefans banget sama kamu. Setiap hari lihat berita tentang kamu. Nanti malam juga ada manggung kan? Aku juga nonton loh nanti. Bisa foto bareng nggak?" Dia nyerocos panjang. Aku hanya bisa mendengus kesal karenanya. Devan memberikan senyum seperti bagaimana biasanya dia menghadapi fans. Dia memenuhi keinginan gadis itu untuk berfoto bersama. "Dia asisten kamu ya?" tanyanya tiba-tiba sambil menunjukku. Rasanya ingin sekali aku menumpahkan sop buah di hadapanku ke wajahnya. Sembarangan sekali dia. Kalau dia memang fans Devan, seharusnya dia tahu siapa aku. Huh. Devan hanya tersenyum kemudian menggelengkan kepala. Selang beberapa menit, gadis heboh itu akhirnya pergi juga. Dan orang-orang mulai berdatangan seraya kepergiannya. Entah apa yang dia lakukan di luar sana hingga orang-orang mulai memenuhi restoran ini. Kami memutuskan untuk pergi secepatnya. Bukan karena Devan tidak mau menyapa fans-nya. Dia harus menyimpan tenaga untuk manggung malam nanti. Menjadi drummer itu butuh tenaga yang lebih. Masih tersisa dua jam yang bisa kami gunakan untuk istirahat. Aku merebahkan tubuhku di kasur besar kesukaanku. Berada di sini selalu mampu membuatku tidur nyenyak, apalagi ditambah dengan pelukan dari Devan. Surga dunia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD