ZAHRANA - BAB 3

1464 Words
(P.O.V. LEO) Aku melihat wajah merona pada Zahrana saat setelah mencium ku. Dia lansung berlari kecil meninggalkanku menuju ke dapur. Mungkin aku sudah kejam. Membuatnya menerimaku sebagai suaminya. Membuatnya tehanyut dalam cumbuanku dan kemesraan yang aku berikan. Dan, mungkin aku membuat dia jatuh cinta padaku. Aku hanya menganggap Rana adalah istriku. Hanya itu. Aku tidak mau menyia-nyiakan istriku. Meskipun aku tak mencintainya. Setidaknya aku bisa memberikan nafkah untuknya. Setidaknya aku juga bisa menghargai dia, karena adalah istriku. Carla satu-satunya wanita yang aku cintai. Tapi, hingga detik ini aku belum bisa menghubungi dirinya. Semenjak seminggu sebelum aku menikah dengan Rana. Aku masih tetap menunggu dia membalas pesan-pesanku yang di abaikan Clara Mungkin aku lelaki jahat. Aku memperlakukan istriku sebaik mungkin karena untuk menutupi cintaku pada Clara. Dan, karena aku menghormati orang tuaku dan orang tua Rana. Entahlah mau sampai kapan seperti ini. Aku meminum teh yang di buatkan rana. Sungguh nikmat sekali teh buatan Rana. Baru pertama kali dalam hidupku, aku di layani oleh seorang wanita. Ya, dia istriku, Zahrana. Aku melihat Rana menata sarapan di meja makan. Dia begitu anggun dan cantik sekali. Mungkin aku lelaki yang beruntung mendapat istri secantik dia. Tapi, tidak untuk hatiku. Aku belum bisa seutuhnya menerima dia menjadi istriku. "Kak, ayo sarapan dulu," ajak Rana. "Iya, Ran," jawabku. Aku berjalan mendekatinya. Aku berdiri di belakangnya dan memegang kedua bahunya. Aku kecup pipinya sebagai tanda terima kasihku karena dia sudah mau bergelut di dapur untuk menyiapkan sarapan untukku. "Terima kasih," ucap ku lirih di telinga Rana. "Sama-sama, kak. Ayo duduk aku ambilkan nasinya," ucap Rana. Aku duduk di samping Rana. Rana mengambilkan nasi untukku. Kami berdua sarapan bersama. Aku akui masakan Rana sungguh lezat sekali. Tidak kalah dengan masakan ibuku. "Kak Leo hari ini masih libur, kan?" tanya Rana. "Iya, kakak masih libur 3 hari lagi. Kenapa?" Jawabku seraya melontarkan pertanyaan untuk Rana. "Tidak apa-apa, tanya saja. Aku kira sudah mulai ngantor lagi," jawab Rana. "Mau jalan-jalan?" Tanyaku. "Mau ke mana memang? Kalau Kak Leo mengajak, ya aku mau," jawabnya. "Oke, nanti siang kita pergi ke luar kota. Ya, itung-itung buat bulan madu kita. Kamu ingin ke mana? Daerah pantai, pegunungan, atau ke mana?" Tanyaku. "Sepertinya lebih enak di daerah pantai, Kak," jawab Rana. "Baiklah, nanti habis Dzuhur kita siap-siap," ucapku. Rana memilih untuk ke pantai. Benar-benar sama seperti Carla. Dulu aku dan dia memimpikan berbulan madu ke pantai. Hingga aku membeli Villa mewah di dekat pantai untuk nanti berbulan madu dengan Carla. Tapi, Tuhan berkehendak lain. Zahrana lah yang menjadi istriku. Dia yang akan menempati Vila itu nanti. "Carla, kamu di mana? Sampai detik ini, aku tak tahu kamu di mana." Aku bergumam dalam hatiku. Ini sungguh kenyataan pahit. Tapi, harus aku nikmati. Meskipun hati ini sakit berpisah dengan Carla. Dan, hingga detik ini aku tak mengetahui di mana Carla berada. Seusai sarapan, aku ke luar duduk di teras depan. Aku menikmati hatiku yang sedang kosong. Aku hidup dengan Rana. Ya, hari ini adalah hidup baruku bersa Rana di mulai. Sudah seharusnya aku melupakan Carla. Dan mulai menerima dan mencintai Rana. Aku sudah menerima kehadiran Rana sebagai istriku. Aku sudah melakukan kewajibanku padanya. Tapi, untuk mencintainya, sungguh aku tidak bisa. Aku tidak mencintainya meski aku sudah menikmati setiap lekuk tubuh indahnya. Cinta ini hanya untuk Carla. Ya, untuk dia. Meskipun di sampingku sudah berdiri sesosok wanita cantik dan anggun bak bidadari seperti Rana. Aku tidak bisa mencintainya. Sungguh tidak bisa. "Maafkan aku, Rana." Hanya kata itu yang selalu terucap dalam hatiku seusai aku menggauli istriku. Kubuka kembali galeri dalam ponselku. Aku melihat fotoku dengan Carla saat aku dan dia bersama. Sungguh menyesakkan dadaku. Andai saja aku bisa melawan orang tuaku pasti aku masih bersama dirinya. Aku tidak bisa melawan orang tuaku. Aku tidak bisa melukai hati orang tuaku. Apa yang orang tuaku inginkan, aku akan berusaha memenuhi apa yang mereka inginkan meski harus menanggung sakit dalam hidupku. ^^^^^ Betapa bahagianya aku, mendapat suami yang sangat mengerti istrinya. Aku tahu suamiku belum mencintaiku. Tapi, setidaknya dia mau memenuhi kewajibannya padaku. Dia menjadi suami yang tidak lupa dengan tugasnya untuk membahagiakan istrinya. Siang ini Leo mengajak aku ke pantai. Kami akan berbulan madu di sana. Betapa bahagianya aku, dia mengajak berbulan madu. Biasanya pernikahan karena perjodohan tidak sebahagia ini. Biasanya di liputi amarah atau keegoisan terlebih dahulu. Tapi Leo, dia memulainya dengan indah. Hingga aku terhanyut dan menikmati setiap perlakuan Leo yang manis padaku. Aku tahu, dia memiliki wanita sebelum aku. Dan, mungkin masih sering menghubungi wanita itu. Ya, walaupun tidak menghubungi dia secara langsung, tapi setiap detik dia masih memikirkan wanitanya. Aku menata baju milikku dan milik Leo ke dalam koper, mungkin kami akan di sana selama 3-5 hari. Begitu yang Leo katakan tadi seusai sarapan. Aku membawa gaun tidur yang Leo berikan padaku. Itu semua karena Leo yang mau. Aku sebenarnya risih sekali memakai gaun tidur yang transparan. Meskipun gaun tidur itu panjang hingga menutupi mata kaki. Aku keluar dari kamar setelah menata baju-baju ke dalam koper. Aku melihat suamiku sedang di teras depan sambil memandangi layar ponselnya. Aku yang berada di belakang suamiku melihat layar ponsel suamiku menampakkan foto wanita dengan dirinya. Wanita berhijab yang anggun dan cantik itu berpose di samping suamiku. Sungguh sangat mesra mereka berdua. Aku tidak boleh sedih. Aku harus percaya, suatu saat Leo akan mencintaiku. Mungkin memang cinta tidak bisa langsung di paksakan. Apalagi kami menikah karena di jodohkan, tidak mungkin ada cinta di antara kita. Aku juga belum bisa mencintainya. Tapi, perlakuan manis dia begitu membuatku nyaman dan bahagia. "Kak," panggilku sambil berjalan keluar dan duduk di kursi yang berada di samping Leo. Hanya berjarak meja kecil saja tempat duduk kami. "Ah, iya, Ran," jawabnya dengan gugup. "Aku sudah menata baju-baju kakak. Ada yang mau di bawa lagi?" tanyaku. "Kamu sudah memabwa gaun merah dan biru muda itu, kan?" tanya Leo. "Iya, sudah. Ada yang ingin kakak bawa lagi?" "Sudah tidak ada," jawabnya. Leo meletakkan ponselnya di meja. Kami hanya saling diam, belum ada percakapan lagi di antara kami. Aku ingin sekali menanyakan wanita cantik yang sekilas aku lihat tadi di ponsel Leo. Tapi, rasanya aku takut untuk memulai menanyakan itu. "Kak," panggilku. "Iya ada apa, Ran?" Tanya Leo. "Boleh aku bertanya?" "Iya boleh." "Tapi, kakak janji jangan marah." "Memang mau tanya apa, Rana?" Aku mengatur napasku dulu sebelum aku bertanya pada Leo mengenai foto yang ada di ponsel Leo tadi. "Kakak memiliki kekasih sebelum menikahi aku?" tanyaku dengan suara yang sedikit gugup. "Ehm…kenapa kamu tanya seperti itu?" tanya Leo. "Ya aku ingin tanya saja. Kita menikah karena di jodohkan, tidak mungkin Kakak tidak memiliki masa lalu sebelum menikah denganku," jawabku. "Kakak boleh jujur?" "Iya, jujur saja. Bukankah berumah tangga harus memegang kejujuran juga, kak? Meskipun kadang jujur itu menyakitkan." Aku mencoba mengatur napasku sebelum Leo jujur denganku. "Aku memang memiliki kekasih sebelum menikah denganmu. Dan, hingga sekarang aku belum memutuskan hubungan dengan dia. Tapi, dia yang menghindari ku saat aku bilang padanya, kalau aku akan di jodohkan dengan mu." Jawaban Leo membuat dadaku sesak. Aku merasakan bagaimana jika aku yang berada dalam posisi wanita itu. Mungkin aku juga merasakan hal yang sama. "Kak, kenapa kakak tidak menolak Ibu dan Ayah untuk di jodohkan denganku?" tanyaku lagi. "Aku belum bisa membahagiakan ayah dan ibu. Lebih baik aku mengorbankan hatiku, daripada aku harus menyakiti ayah ibuku, Rana. Kamu tahu itu kan? Aku juga yakin, kamu berat dengan perjodohan ini," jawabnya. "Ya, aku juga merasa seperti itu. Tapi, aku tidak mengorbankan hati untuk orang tuaku. Karena sebelum aku menikah dengan kakak, aku tidak memiliki kekasih," ucapku. "Lalu Abil?" Tanya Leo. "Abil sahabatku, Kak. Aku dan dia bersahabat dekat sejak SMP. Aku tidak pernah merasaka jatuh cinta dengan Pria. Hingga sekarang, hingga aku menikah, dan aku sudah di miliki kakak seutuhnya," jawabku. "Rana, maafkan aku. Aku belum bisa mengisi hati ini dengan perempuan lain." Ucapan Leo sungguh menohok di ulu hati dan jantungku. Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar penuturan Leo seperti itu. "Ya Allah, rasa apa ini? Sungguh dadaku sesak sekali," gumamku dalam hati. "Kakak tidak bisa menggantikan kekasih kakak di hati kakak, tapi kenapa kakak bisa melakukan itu padaku?" tanyaku dengan suara datar. "Aku seorang suami. Jika aku meninggalkan kewajiban ku aku akan berdosa pada istriku. Sebisa mungkin aku harus bisa melakukan kewajibanku pada istriku. Meski belum memiliki perasaan," jawab Leo. Aku tidak tahu harus menjawab apa lagi. Mulutku terbungkam. Sungguh ini menyakitkan, tapi ini kenyataannya. Aku dan Leo menikah dengan dijodohkan dan tidak saling mencintai. Aku wanita, bagaimana bisa aku tidak nyaman dan tidak jatuh cinta di perlakukan sebegitu manisnya oleh Leo. Ya, aku memang mulai jatuh cinta dengan perlakuan Leo yang benar-benar manis padaku. Tapi, aku sadar aku tidak ada di hati Leo. Dan, ini sungguh kenyataan yang pahit dan menyakitkan. Akankah aku bisa bertahan bersama Leo? Dan, bila Leo bertemu dengan kekasihnya kembali, apa yang harus aku lakukan? "Ya Allah, ini sungguh menyakitkan. Aku tidak tahu harus mengadu dengan siapa, selain kepada-Mu. Aku mohon, bukalah pintu hati Leo untukku. Aku tidak mau diperlakukan manis oleh Leo. Tapi, manis ini hanyalah pemanis buatan, yang menyisakan pahit di tenggorokan saat setelah menikmati manisnya." Aku berkata lirih dalam hatiku. Ya, pemanis buatan memang sungguh manis. Tapi, menyisakan pahit di tenggorokan setelah menikmati manisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD