ZAHRANA - BAB 2

1488 Words
(P.O.V LEO)   Malam ini, aku benar-benar sudah menjadi seorang suami. Aku sudah menyerahkan semua untuk istriku, Zahrana. Aku sudah tunaikan kewajibanku sebagai suami Zahrana.   Zahrana, perempuan berparas cantik, mungil, dan memesona. Membuatku melayang malam ini. Dan, membuatku berkali-kali bermain di atas ranjang bersamanya. Meskipun aku tidak mencintainya, namun aku adalah lelaki, yang memiliki naluri sebagai lelaki saat bersama wanita. Apalagi Rana adalah istriku, dia sudah menjadi hak patenku. Aku akan berdosa jika aku membiarkan dia dan menuruti keegoanku untuk terus berharap pada Carla, kekasihku.   Aku memang masih mencintai Carla. Sungguh masih mencintainya. Tidak ada wanita yang lain di hatiku selain Carla. Namun, semua itu musnah. Sekarang, di sampingku, di pelukanku, ada Zahrana, yang sudah menjadi istri sahku. Aku menikah dengan dia karena di jodohkan. Ayah dan ibu ingin sekali berbesana dengan Om Vino dan Tante Shita, yang sekarang sudah menjadi mertuaku.   Dengan sangta terpaksa, dan karena menghormati ayah dan ibuku, aku mau di jodohkan dengan Zahrana. Zahrana sangat cantik, dia pandai berwirausaha. Dia memiliki cafe yang katanya cafe itu turun temurun dari Omanya. Setelah di pegang Zahrana, dia menambah cabang cafenya lagi. Katanya sudah menambah 3 anak cabang lagi.   Parasnya cantik Zahrana, tetap saja tidak mengubah rasa cintaku pada Carla. Tapi, aku harus berusha mencintainya. Entah kapan aku bisa mencintainya, aku tidak tahu. Karena, perjalanan hidupku yang baru hari ini baru saja ku mulai.   Aku melihat istriku yang sudah tertidur pulas di pelukanku. Aku ingat tadi saat dia berciuman denganku, dia begitu kaku. Dia memang belum pernah melakukan ciuaman dengan pria. Aku yakin, aku pria pertama yang menciumnya dan menikmati tubuh indahnya. Dan, dia juga yang pertama bagiku. Aku memiliki kekasih, tapi aku tidak pernah melakukan apapun dengan dia. Hanya sebatas mencium saja. Aku tidak berani melakukan hal lebih dengan dirinya. Karena aku tidak mau menyakiti wanita. Menyakiti seorang wanita, sama saja menyakiti ibuku sendiri.   Aku mengeratkan pelukanku lagi pada Zahrana. Aku mencoba menerima keadaan ini. Tentunya menerima Zahrana sebagai istriku. Aku memejamkan mataku, dan perlahan akupun tertidur pulas dengan memeluk Zahrana.   ^^^^^   Aku merasakan berat sekali tubuhku. Sebuah tangan yang kekar menindih tubuhku. Aku sedikit terjingkat dan langsung menyingkirkan dengan kasae tangan itu.   "Awww…." Suara lelaki memekik kesakitan saat tangannya aku singkirkan dengan kasar.   "Ya Allah, dia…. Ah...aku sudah menikah," ucapku lirih dengan menunduk.   "Rana, ada apa? Apa kamu mimpi buruk?" Tanya Leo.   "Maaf, aku hanya kaget, ada tangan memeluk tubuhku, aku lupa kalau aku sudah menikah," jawabku dengan menunduk malu.   Leo tersenyum menatapku. Sungguh tampan sekali Leo. Impianku terwujud, aku ingin memiliki suami setampan Pakdeku dan selembut Pakdeku. Mimpiku terwujud, karena Leo sungguh tampan, seperti Pakde Arsyad. Perlakuannya sungguh lembut padaku.   Leo menyentuh pipiku dengan lembut. Dia mengangkat daguku dan mencium lembut bibirku.   "Morning kiss," ucapnya.   Sungguh aku malu. Jantungku berdetak hebat lagi. Berirama dengan syahdu. Apakah aku jatuh cinta? Ah, mana mungkin. Aku yakin Leo hanya menganggapku istri saja yang harus ia gauli sesuai syariat Islam. Dia memang lelaki taat dengan agama.   "Ayo Sholat Subuh, ini sudah jam setengah 5 Rana," ajak Leo.   "Iya, kak. Aku mandi dulu," pamitku pada Leo.   Aku beranjak dari tempat tidurku, sungguh masih sakit sekali pangkal pahaku. Aku berjalan pelan menuju rak untuk mengambil bathrobe ku. Detak jantungku masih belum stabil. Aku memutar kran shower. Aku sengaja menggunanak air dingin, kata opa mandi dengan air dingin yang mengalir malah lebih menyehatkan. Ya, memang seperti itu. Buktinya opa sampai sekarang masih sehat.   Opaku dulu memiliki dua istri. Istri yang pertama adalah Oma Adinda. Beliau tidak bisa memberikan keturunan. Dan, Oma Dinda menyuruh Opa untuk menikah lagi. Menikahlah opa dengan Oma Andini. Kata opa, dua istri opa adalah wanita yang hebat. Opa sangat mencintai mereka. Pernikahan dengan Oma Andini, opa memiliki 3 anak, yang pertama Pakdeku yang bernama Arsyad, yang kedua Arshita, mamahku. Dan, yang ketiga Om Arsyil, beliau juga sudah bersama Oma Andin dan Oma Dinda di surga.   Keluarga Opa sangat harmonis, meski beristri dua. Tapi, opa selalu memberi titah pada anak dan menantunya, juga cucu-cucunya. Opa selalu bilang pada kami, "jangan pernah mendua, atau memiliki dua hati dalam rumah tanggamu, jika tidak bisa memperlakukan adil pada dua hati yang kalian miliki, karena sejatinya menyatukan tiga hati dalam satu atap sungguh menyiksa hati masing-masing dari kalian." Itu yang sering opa katakan.   Ya, memang siapa yang mau di duakan, atau di madu. Semua wanita ingin memiliki cinta seutuhnya dari seorang laki-laki. Tapi, jika memang Allah sudah menetapkan untuk berbagi, mau bagaimana lagi? Ah, sudahlah. Aku tidak mau memikirkan apa itu kata madu dalam sebuah rumah tangga. Yang aku tahu madu itu manis, bukan pahit. Kalaupun ada madu yang pahit, itu hanya untuk mengobati.   Aku sudah selesai mandi, aku mendekati Leo yang masih sibuk denan ponselnya. Mungkin karena suatu pekerjaan atau yang lainnya. Aku duduk di dekatnya sambil mengeringkan rambut panjangku denan handuk.   "Rana, kamu mengagetkan saja." Leo sedikit terjingkat saat aku duduk di sampingnya.   "Lagian pagi-pagi sudah melamun menatap layar ponsel. Ayo mandi, aku sudah siapkan air hangat untuk Kakak," ucapku.   "Iya, aku mandi dulu," ucap Leo dengan sedikit gugup.   Entah apa yang sedang di pikirkan Leo saat ini. Karena menatap ponselnya dia jadi gugup dan seperti menyembunyikan sesuatu. Aku mendekati meja dan ingin membuka ponsel suamiku. Namun, aku mengurungkan niatku. Tidak baik terlalu mencampuri ponsel suami. Karena ponsel suami adalah hal pribadi suamiku. Bukan aku mengalah, ini suatu etika yang penting dalam berumah tangga. Itu yang selalu mamah katakan. Kata mamah, mengetahui isi ponsel suami, sama saja mencipkatan bomerang dalam hati kita.   Kami Sholat subuh berjamaah. Sungguh ini adalah sebuah keindahan dan kebahagiaan dalam rumah tangga. Di mana aku berdiri di belakang imamku, dan mengamini doanya. Kami melangkah di jalan-Nya menuju ke Jannah-Nya.   Aku mencium tangan Leo dan Leo mengecup keningku. Sungguh indah ciptaan Engkau, Ya Allah. Engaku berikan aku seorang Imam yang baik, yang berjalan di jalan-Mu. Yang selalu menomor satukan Engkau.   Ini adalah awal, awal membuka pintu di dunia baruku. Pagi pertama aku memiliki suami. Suami yang Allah berikan lewat sebuah perjodoha. Meskipun belum ada cinta di antara kami, tapi aku yakin, suatu saat cinta itu akan hadir menghiasi hidup kami. Karena cinta yang paling utama adalah cinta kepada Sang Pencipta.   Aku menaruh kembali mukenahku. Aku menjepit rambutku dengan jepitan rambut. Aku hendak keluar membuatkan teh untuk suamiku. Tapi, langkahku terhenti kala suamiku memanggilku. Aku menoleh ke arah suamiku yang berdiri di belakangku.   "Mau ke mana?" Tanya Leo.   "Mau membuatkan teh untuk kamu, kak," jawabku.   "Tidak usah, nanti dulu. Ini sehabis subuh, masih petang di luar. Bisa kita melakukannya lagi sebentar?" tanya Leo dengan penuh harap.   "Ehmm…"   "Kamu tidak mau?" tanya Leo lagi.   "Iya, aku mau." Aku menjawab dengan menundukkan kepalaku karena malu.   Katanya melakukan hubungan intim setelah waktu subuh banyak sekali manfaatnya. Mungkin seperti itu. Kami melakukan pergumulan lagi menjelang pagi hingga berkali-kali. Inilah awal pagiku. Awal pagi yang menggairahkan, awal pagi yang indah. Karena aku bisa menatap tampannya suamiku di dekapanku.   Aku berdiri di depan meja riasku. Aku menyisir rambutku seusai mandi. Aku melihat leherku, ada beberapa bekas merah di leherku. Ya, ini yang di katakan Kiss mark. Sebuah tanda kepemilikan dari Leo. Aku tersenyum di depan cermin sambil memegangi tanda merah itu.   "Kenapa? Mau aku tambah lagi tanda itunya?" Tanya Leo yang tiba- tiba berada di belakangku dan memelukku dari belakang.   "Jangan, aku malu," ucapku dengan nada manja.   "Kok malu, aku kan suamimu, lagian semalam dan tadi juga aku sudah melihat semua milikmu. Terima kasih Rana," ucapnya sambil mengecup pipiku.   "Sama-sama, kak. Aku siapkan sarapan dulu," pamitku.   "Sudah ada pelayan di rumah ini. Kamu tidak usah repot-repot memasak," ujar Leo.   "Aku istrimu. Meskipun ada berapa pelayan di sini. Memasak dan mengurus rumah adalah tanggung jawab istri, kak," ujarku.   "Iya, aku tahu. Nanti kamu lelah, sudah melayani aku di ranjang, dan sekarang kamu harus memasak, biar bibi yang memasak," ucap Leo.   "Ya sudah, aku membuatkan teh untuk kamu saja," ucapku.   Akhirnya Leo memperbolehkan aku ke dapur. Aku langsung menghampiri pelayan yang sedang memasak. Aku memang sudah tinggal di rumah Leo. Memang resepsi pernikahanmu di adakan di rumah pribadi Leo. Rumah ini sungguh luas dan besar. Aku mungkin wanita yang sangat beruntung memiliki suami seperti Leo.   "Selamat pagi nyonya," sapa seorang pelayan yang sedang memasak.   "Pagi, Bi," jawabku.   "Nyonya butuh apa?" tanya pelayan tersebut.   "Bi, panggil saya Rana saja, ya? Bibi namanya siapa?" tanyaku.   "Ah tidak sopan kalau aku memanggil nyonya dengan sebutan  Mba atau dengan namanya saja. Saya Atin, nyonya," jawab Bi Atin.   "Baiklah kalau Bi Atin lebih nyaman memanggil nyonya, saya tidak apa-apa," ucapku.   "Ada yang perlu saya bantu, Bi?" tanyaku.   "Tidak nyonya," jawabnya.   "Ya sudah saya mau membuatkan teh untuk Kak Leo." Aku mengambil poci kecil untuk membuta teh.   Sebenarnya Bi Atin tidak memperbolehkanku mbuat teh, tapi aku ingin membuatkan teh untuk suamiku. Karena sesuatu yang di buatkan istri rasanya jauh berbeda dengan apa yang di buatkan orang lain.   Aku membawa teh ke ruang tengah, karena aku melihat Leo duduk di ruang tengah dengan memangku laptopnya.   "Kak, ini tehnya," ucapku.   "Terima kasih, Rana," jawabnya sambil menyimpulkan senyum padaku.   "Sini duduk," titah Leo. Dia menyuruhku duduk di sampingnya.   "Aku mau menyiapkan sarapan dulu, kak," ucapku.   "Biar bibi saja, Rana," ucap Leo.   "Aku ingin membuatkan sarapan untuk suamiku, please…" Aku memohon dengan manja.   "Oke, tidak apa-apa, hati-hati masaknya," ucap Leo yang mengizinkanku untuk memasak.   "Terima kasih." Aku langsung mencium pipinya. Entah kenapa aku berani mencium pipi Leo. Dengan malu dan jantung berdebar aku langsung pergi ke dapur untuk memasak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD