ONE

1416 Words
'May God of Fortune always with me,' batin Wendy saat memasuki gedung pencakar langit di depannya. Ia menarik napas terlebih dahulu. Memantapkan hatinya. Mengontrol senyumnya agar terlihat seprofesional mungkin. Ini adalah hari penentuan untuk karir pertamanya setelah lulus dari U of T atau lengkapnya adalah University of Toronto, dari Kampus Rotman, Divisi Management. Wendy Lawson memang bukanlah lulusan terbaik, namun ia masih termasuk dalam jajaran lulusan di atas rata-rata. Banyak perusahaan yang ingin merekrutnya. Namun hanya satu perusahaan besar asal tanah kelahirannya, New York, yang menarik perhatiannya. A company group. Membawahi berbagai perusahaan dalam berbagai bidang. Jabatan yang ditawarkan pada Wendy pun sangat menggiurkan, Asisten Presiden Direktur alias asisten pemilik perusahaan raksasa New York dengan gaji luar biasa. Bukan COO, bukan CEO, bukan pula Direksi atau pun Komisaris, melainkan Presiden Direktur yang akan menjadi atasannya. Jumlah gaji tiga bulan saja dapat membeli sebuah apartment yang ia tinggali dengan orangtuanya di Toronto. Bagaimana mungkin Wendy menolak kesempatan ini? Dia mendapatkan tawaran ini dari Kepala Kampusnya lewat telepon. Tentu saja berita perekrutan ini legit dan dapat dipercaya. Wendy segera mencari informasi tentang perusahaan ini. Gold Corporation, dengan pemilik perusahaan bernama August Gold yang akan menjadi calon bosnya. Jika ia diterima menduduki posisi yang ditawarkan tersebut. Tanpa pikir panjang Wendy segera mengirim CV dan berkas-berkasnya lewat email. Ia juga mengirim hard copy-nya dari Toronto ke New York dengan titipan kilat. Ongkos kirimnya luar biasa mahal. Namun Wendy tidak peduli. Berkorban sedikit mengurangi uang jajannya setengah bulan tidak akan merugikannya jika ia mendapatkan pekerjaan ini. Ternyata Wendy berhasil melewati tahap administrasi dan diminta untuk datang ke head office di New York untuk interview. Ia harus berangkat ke New York. Walaupun ia terpaksa menggunakan uang tabungan sisa beasiswa yang ia terima selama masa kuliah. Orangtua dan teman-teman Wendy pun sangat mendukung keputusan ini. Tentu saja. Kapan lagi? Maka di sinilah Wendy, berjalan masuk ke dalam gedung berlantai dua puluh tiga itu. Ia segera menghampiri meja informasi dan resepsionis yang terletak tepat berhadapan dengan pintu utama gedung. Wendy memberikan senyumnya pada  wanita yang berdiri menyapanya. "Selamat datang di Gold Corp. Head Office. Ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis itu membalasnya dengan senyum ramah dan menjabat tangan Wendy. "Saya Wendy Lawson. Saya datang untuk interview." Wanita itu mengetik sesuatu pada komputernya. "Harap tunggu sebentar." Beberapa detik kemudian ia berbicara lagi. "Oh, benar, Nona Lawson. Anda dapat menghadiri interview di lantai delapan. Interview akan diadakan dua puluh menit lagi." Petugas informasi itu memberikan sebuah tag bertuliskan 'Visitor'. Wendy tersenyum lagi. Segera mengalungkan tag tersebut ke lehernya. "Terima kasih." "My pleasure. Good luck, Miss Lawson." Dibalas gadis itu dengan menundukkan kepalanya sedikit dan gumaman terimakasih. Ia berjalan menuju dan masuk ke dalam lift dengan red vintage interior yang ditunjuk oleh petugas informasi tadi. Di dalam lift, Wendy terus menerus menggosokkan telapak tangannya yang dingin. Kebiasaannya jika ia sedang gugup. Maklum saja. Ini adalah interview pertamanya. Bertemu dengan karyawan lainnya membuatnya semakin gugup. Melihat ramainya aktifitas kantor membuat Wendy berpikir sepertinya akan sangat menyenangkan bekerja di perusahaan ini. Ting! Lift berhenti di lantai delapan. Inilah saatnya. Wendy menghembuskan napasnya sekali lagi sebelum melangkah keluar dan disambut oleh tulisan 'HR Department.' "Miss Wendy Lawson?" Wendy terkejut saat namanya disebut, padahal dia baru saja tiba di lantai ini dan masih ada waktu sekitar lima menit lagi sebelum interview dimulai. "Tuan Adam sudah menunggu anda. Silakan ikut saya." Karyawati bagian HRD ini mengajaknya menuju sebuah ruangan yang ada di pojok lantai delapan. "Excuse me," Wanita itu menoleh pada Wendy. "Yes?" Wendy menggosok telapak tangannya lagi. "Di mana tempat tunggu bagi pelamar lain untuk interview ini?" Wanita itu tersenyum. "Tidak ada, Nona Lawson. Hanya anda yang lolos kualifikasi dari Tuan Adam." Wendy tersentak kaget. Sekaligus kagum. Apakah ia sehebat itu sehingga hanya ia yang mampu lulus tahap administrasi? Padahal tahap itu adalah tahap dan seleksi paling awal. Pintu diketuk dan terdengar suara pria dari dalam, menyuruh mereka masuk ke dalam ruangan bertuliskan 'Head of HR Department' "Silakan, Nona Lawson." Pintu dibukakan dan Wendy pun masuk dengan memasang senyum manis dan seprofesional mungkin. "Selamat pagi, Nona Wendy Lawson, atau mungkin boleh saya panggil anda Nona Wendy jika berkenan? Perkenalkan, saya Adam. Silakan duduk. Bagaimana jika kita langsung mulai saja interview-nya?"   oOo   "Tidak, aku tidak setuju." "Please, kali ini saja. Kali ini Adam yang menjaminnya." Pria berkulit putih pucat dan berambut pirang itu menggeleng. Menolak permintaan pria berperawakan tinggi jangkung yang berdiri di depan meja kerjanya. "Nathan, aku sudah memutuskan, aku tidak suka ada orang lain lalu lalang di lantaiku apalagi masuk ke ruanganku." Pria bernama Nathan yang berdiri di depan meja mahagony itu menggaruk keningnya. "August, please, sekali ini saja. Aku berjanji. Ini yang terakhir. Kalau sama yang ini kau tidak cocok juga, kami tidak akan mencarikanmu asisten sekaligus sekretaris lagi. I Swear to God, this will be the last!" Pria berambut blonde itu masih menggeleng. Memainkan bolpoin mewah berdesain khusus miliknya. Nathan menghela napas namun masih belum menyerah untuk meyakinkan laki-laki kurus berkulit pucat itu. "Kali ini, kami sudah sangat selektif. Aku yakin kau pasti puas. Tidak akan membuatmu repot. Trust us!" Sekali lagi pria pucat itu tetap menggeleng. Nathan mulai tak sabar. Ia berkacak pinggang dan mulai menyumpah. "f**k it. Kau tahu kita semua sibuk. Kita masing-masing sudah memiliki job desk dan tanggung jawab masing-masing. Belum terhitung Triptych dan yang lain. Aku dan yang lainnya tidak mempunyai waktu menjadi sekretaris atau PA-mu. Jadi, aku tidak mau tahu, August. Setidaknya, kau lihat hasil kerja orang ini dalam tiga bulan. Kalau tidak cocok, terserahmu mau dibuang ke mana saja!" Nathan melonggarkan simpul dasi berwarna navy-nya. Habis sudah kesabarannya. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa kulit berwarna putih bersih yang empuk tidak jauh dari meja kerja pria bernama August itu. August menatap Nathan tajam. Mempertimbangkan keputusannya. Melihat August yang masih diam saja, Nathan mengucapkan kalimat terakhir agar August semakin yakin. "Yang ini berbeda. Bersih. Polos. Kami sudah memeriksa semua life record-nya. Tenang saja. Jadi, kecerobohan dan kesalahan yang dulu-dulu tak akan terulang." August mengangkat kedua alisnya yang berwarna sepadan dengan rambutnya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi. Datar. Bahkan terkesan malas. "Baiklah,” kata August akhirnya. Nathan menghela napas. Sedikit merasa lega. “Ku berikan waktu satu hari. Jika dalam satu hari dia memenuhi kriteriaku, aku akan memintamu untuk langsung sign contract.  Tapi, kalau sampai mengecewakan, pecat dia dan kalian semua akan ku habisi!" Akhirnya August menyerah. Setuju namun dengan sebuah syarat gilanya. Usai mengucapkan keinginannya, pria itu pun kembali membaca berkas yang berserakan di atas meja kerjanya. Mendengar kalimat terakhir August, dalam hati Nathan was-was. Takut juga dengan ancaman itu. Sial. Ini serius. Kalau mereka gagal, mereka tidak akan hidup normal dan berkembang biak untuk selamanya. Namun Nathan berlagak sangat yakin. Seperti biasa, Nathan tidak akan pernah terlihat ragu jika berhadapan dengan orang lain. Bahkan dengan pria yang notabene sangat berkuasa di depannya ini. "Pegang kata-kataku, August. Baik, sehari! Dalam sehari itu kau pasti akan sangat puas." August terkekeh sinis. Melihat reaksi August, Nathan senang bukan kepalang. Sumringah. Senyum lebar. Jarang-jarang pria berambut blonde itu menampilkan ekspresi seperti itu. Yang terpampang di wajahnya hanyalah ekspresi datar, bosan, malas, jutek dan cuek. Poker face? Wrong. Bitchy face? Maybe. Yang jelas, August benar-benar sulit untuk ditebak. Namun wajah sumringah Nathan seketika berubah ketika teringat laporan anak buahnya tadi subuh. Wajahnya berubah menjadi lebih serius dari sebelumnya. "Anyway, denger-denger ada yang menyebarkan garam murahan di sektor enam tanpa izin," lapor Nathan. August berhenti membaca berkas di tangannya. Membalas tatapan Nathan dengan malas. "Lalu?" Nathan berdeham. Sedikit panik. Mengapa? Karena jika August sudah bertanya dengan kata dan gelagat seperti itu, akan berdampak sangat buruk bagi orang yang mendapat reaksi tersebut. "Jangan salah paham dulu, masalahnya yang ini tidak semudah yang kau kira." Nathan mencoba menjelaskan apa yang menjadi maksudnya melaporkan hal sepele itu. "Cabut hingga ke akarnya. Mudah. Nathan, rumput liar tidak bisa dibiarkan tumbuh," kata August dengan santai. "Kau mengerti?" Nathan mulai gugup. Sial. Dia tidak ingin mengotori tangannya hanya gara-gara para penjual garam kadaluarsa yang tidak mempunyai lisensi dari Triptych. Nathan mengangguk dan memaksa dirinya untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba kering ketika August meliriknya. "O-okay. Aku mengerti." Nathan melangkah ke arah pintu keluar. Tetapi langkahnya terhenti. Senyumnya kembali merekah saat mengatakan kalimat terakhirnya. Menampilkan lesung pipinya yang dalam. "I'm one hundred percent sure that you'll be hard, like real hard when you see this new secretary of yours tomorrow. You'll like her." Nathan pun menghilang dari balik pintu berwarna merah itu. Meninggalkan August yang tersenyum sinis dan bergumam, "Kita lihat saja nanti, teman." Terlalu yakin pada dirinya sendiri, tanpa mengetahui apa yang akan dia hadapi nantinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD