Chapter 2 - 1

1615 Words
TIIN!! TIIN!! Suara klakson mobil dan motor saling bersahutan. Beberapa kepala melongok keluar dari jendela mobil, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tak biasanya terjadi kemacetan di daerah ini, membuat polisi kesulitan mengurainya. Ana menggeram kesal di balik setir Honda Freed-nya. Untung saja make up yang dipakainya berkualitas sehingga tetap menempel sempurna di wajahnya. "Kenapa pake macet segala sih!" gerutu Ana sambil menyandarkan punggungnya di jok mobil. "Kayanya ada kecelakaan deh, An," balas Kian sambil melirik jam di dashboard beberapa kali. "Masih telat.. em.. 30 menit sih." "OH MY GOD! Dan menit itu akan terus bertambah sampai tak terhingga, Kian. Mau sampai kapan kita di sini?" Ana menggenggam setirnya gemas. Ia kemudian mengetuk-ngetukan jemarinya, tak sabar. Kian hanya membalasnya dengan desahan kemudian mengikuti jejak Ana untuk bersandar di sandaran joknya. Tak tau harus menjawab apa. Entah sudah berapa menit berlalu. Sedikit demi sedikit, mobil-mobil kembali bergerak maju. Bangkai mobil yang mengalami kecelakaan berhasil ditepikan. Mobil itu hancur bagian depannya. Kian menatapnya lekat kemudian mengernyit ngeri ketika matanya melihat bercak darah yang menempel di aspal dan mobil. Suara ambulance yang meraung-raung di jalanan terdengar sayup-sayup. Ia bergidik. Menakutkan. Di sekitar sana terdapat beberapa polisi lalu lintas yang berdiri mengatur jalannya kendaraan dan warga yang menonton kejadian. Tapi entah kenapa ada seseorang yang menarik perhatiannya. Seorang polisi muda, yang memiliki wajah yang sepertinya familiar. Badannya tinggi, tegap, dan sedikit berisi. Tapi tidak penting, toh ia tidak ingat kalau dirinya memiliki kenalan polisi. "Kenapa?" tanya Ana pada Kian. "Apa?" "Lo senyum-senyum sendiri, Ki." Kian memutar matanya. "No, I'm not. Udah berapa kali sih gue bilang, stop panggil gue Ki. Gue bukan Ki Joko Bodo!" Ana masih saja terkekeh walaupun ia sudah mendengarkannya berkali-kali dari mulut Kian. "Ya emang nama lo gitu. Kan bukan salah gue." "Ck.." Kian mendesah sebal. Seharusnya dulu ia ganti nama panggilan saja menjadi Tera, atau apa saja yang lebih enak untuk dipenggil. Mobil telah terparkir di area gedung pernikahan ini. Sudah dapat terlihat apabila pernikahan ini adalah pernikahan elit. Lihat saja betapa banyak mobil yang terparkir, juga besar dan mewahnya gedung yang digunakan. "Lo duluan aja buat antri salaman, Ki. Gue mau ngebenerin makeup dulu, terus langsung nyusul. Atau lo mau ngebenerin juga?" tanya Ana pada Kian yang hendak membuka pintu mobil. "Kalo gitu gue tunggu lo di dalem aja, deh," balas Kian. Ia berjalan melintasi tempat parkir sambil beberapa kali menyincing gaun panjang pinjaman dari Ana. Sepatu hak tingginya—yang sebenarnya milik Ana juga—membuatnya sedikit sulit untuk berjalan. Clutch bag kulit yang dibawanya juga beberapa kali merosot dan membuatnya repot. Dengan perlahan Kian menaiki beberapa anak tangga yang akan membawanya ke dalam gedung besar. Pikirannya harus terbagi untuk mengatur langkah kaki, menarik gaun dan mengapit clucth bag. Namun, sepertinya usahanya tak sejalan dengan nasib buruk yang menghampirinya. Kian menginjak ujung gaunnya sendiri dan tersandung tangga. Oke, sepertinya ini akan sedikit memalukan. Oh, tidak! Kenapa ada orang datang di saat seperti ini! "WAAAAAA!!" teriak Kian berusaha memperingatkan orang itu. Namun, yang keluar hanya teriakan tak jelas karena terlalu panik. "AAAWW!! Damn!! My balls!!" Rintihan pria itu menyadarkan Kian. Beberapa kali ia mengerjapkan nata. Kedua tangannya berpegangan pada paha pria itu, dan kepalanya terantuk pada... terkutuklah. Kian berusaha bangkit dari posisinya yang telungkup secepat kilat. Namun sepertinya ada sesuatu yang tertarik sehingga ia hanya bisa bergeser. Pria itu miring ke samping sambil memegangi, ehm, anunya. Tapi sepertinya... "AAAAA!!! Aduh, pak, pak, rambut saya nyangkut!!" Teriak Kian sambil berusaha membuat pria itu kembali ke posisi semula. "Jangan bergerak!" "AND YOU'VE HIT MY TESTICLE!!" balas pria itu sambil berteriak marah. Ia kemudian memejamkan matanya, menarik napas, dan mulai berhitung. "Biarkan saya meredakan ini dulu." Beberapa tamu undangan yang lewat menatap mereka dengan muka merah dan tatapan aneh. Namun, tak ada yang mencoba untuk membantu mereka berdiri. Terlalu sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Kian hanya bisa berdiam diri dengan sabar. Bagaimanapun juga, ini adalah salahnya. Pria itu masih terbaring miring di atas tangga-tangga. Sementara dirinya terduduk di salah satu anak tangga dengan kepala menungging ke arah anu pria itu. "Ehm.." Pria itu berdehem. Sepertinya bangkit dari posisi telentangnya. "Kenapa kepala kamu masih di situ?" Kian hanya bisa melirik, kemudian ia mendengus. "Tadi saya sudah bilang kalau rambut saya tersangkut." Pria itu melihat ke bawah. Benar saja. Rambut merah yang seperti singa itu benar-benar tersangkut di sabuknya. Ia berusaha melepaskan simpul rambut itu, namun tak kunjung berhasil. "Tarik aja!" gumam Kian tidak sabar. Posisinya membuatnya serba salah dan tak bisa bergerak. Tangannya sibuk memegang gaun dan clutch-nya. Punggungnya yang membungkuk sudah terasa pegal. "Apa?" "Tarik aja!" ulang Kian sekali lagi. Awalnya pria itu ragu, namun akhirnya menurut. Ia menggenggam rambut Kian dan menariknya kuat. Kian bisa merasakan ujung-ujung rambutnya terputus. Kemudian ia menarik kepalanya menjauhi pria itu. Ini lebih baik, walaupun ia harus merelakan rambutnya. Siapa peduli, toh rambutnya akan tumbuh lagi. "Maaf, juga terimakasih." Kian bangkit dari duduknya. Ia mengulurkan tangannya untuk mengajak pria itu bersalaman. Pria itu mengulurkan tangannya, menyambut uluran tangan Kian. Namun, Kian tidak pernah menyangka pria itu malah menarik tangannya. Kian yang kaget malah ikut tertarik ke depan dan jatuh menimpa tubuh pria itu. "For god's sake, untuk yang kedua kalinya," gumam pria itu dengan rahang mengeras. Kian yang berada di atas tubuh pria itu dengan cepat-cepat bangkit kembali. "Kenapa narik tangan saya?" bentak Kian sebal sambil merapikan rambut merah dan gaunnya. "Bukannya kamu sendiri yang mau bantu saya berdiri? Kenapa menyalahkan saya?" tanya pria itu tak kalah keras. Ia mulai sebal dengan wanita berambut singa di depannya. "Kalau tidak niat membantu, tidak usah membantu." "Saya mau mengajak bersalaman, bukan membantu anda berdiri!" balas Kian tak mau kalah. Ia melanjutkan dengan bergumam."Tidak sadar apa kalau berat." "Apa?" Pria itu tak terlalu mendengar apa yang dikatakan Kian. "Lupain aja." Pria itu memilih bangkit dan berjalan melaluinya menuju tempat parkir. Ia kemudian menghilang di tengah kerumunan mobil. Kian berdecih. Bahkan pria-pria itu tak mengatakan apapun. Paling tidak kan dia bisa minta maaf. Menyebalkan sekali. Kian menghentakkan kakinya menaiki tangga dan masuk ke dalam gedung. Ia disambut oleh beberapa penerima tamu yang ada di pintu masuk gedung. Mereka mempersilahkannya masuk ke dalam gedung. Benar-benar pernikahan impian. Dekorasinya benar-benar mewah. Kian memandang semuanya takjub. Bahkan ia sudah lupa kejadian menyebalkan yang membuat gaunnya sedikit kotor. Kian merasa punggungnya ditepuk pelan, kemudian ia berbalik. "Kenapa lo baru nyampe sini? Bukannya ngantri salaman sama Mas Yudis?" tanya Ana bingung, mendapati temannya masih berdiri di tengah-tengah pintu masuk hall. Teringat alasan yang membuatnya terhambat untuk masuk ke sini, Kian mendecih lagi, sebal. "Ada kejadian nggak penting tadi. Ayo lah, kita ngantri buat salaman." Kian menarik tangan Ana untuk ikut antri bersalaman kepada sang mempelai dan orang tua mereka. Tak lupa, foto juga pastinya. Ana pasti tidak bisa melewatkan hal itu, untuk kenang-kenangan terakhir bersama Mas Yudis katanya. "Wah, Mbak Ana, Mbak Kian, terima kasih ya sudah mau datang," sambut Dokter Anjas ramah. Ia terlihat tampan di umurnya yang lebih dari setengah abad. "Iya, dok, ibu.." Ana bersalaman sambil menundukkan kepalanya hormat, begitu juga Kian. "Selamat berbahagia." "Gila, Ki. Mas Yudis ganteng banget. Istrinya juga cantik. Kalah telak gue," gumam Ana di dekat telinga Kian. Untung saja mereka sudah melewati Dokter Anjas dan sedang menunggu antrian di depannya yang sedang berfoto. "Ayo, silahkan." Seorang mbak-mbak yang sepertinya WO acara ini mempersilahkan Ana dan Kian dari sebelah fotografer. Kian dan Ana berjalan mendekat dan menyalami Mas Yudis dan Istrinya. "Selamat menempuh hidup baru ya, mas, mbak." "Terima kasih, sudah datang." Yudis menjawab sambil tersenyum hangat. Membuat Ana tak tahan untuk tersenyum lebar juga, dan sedikit meleleh. "Ayo, foto dulu." Ana dan Kian berfoto di sebelah pengantin. Bahkan Ana tak menyia-nyiakan kesempatan untuk berdiri di sebelah Yudis, dan membuat Kian mengalah untuk berfoto di sebelah Mahira. Ujung bibir Ana berkedut-kedut, senang sekali. "Kapan sih lo, nggak bikin malu di acara kaya  gini, An?" gumam Kian sambil menyenggol sikut Ana. Mereka sudah turun dari pelaminan setelah menyalami orang tua Mahira, beranjak menuju tempat makan pastinya. "Ini kesempatan pertama dan terakhir gue foto sama Mas Yudis, Ki," jawab Ana sambil menerawang. Kian hanya menggelengkan kepala. Sudahlah, membicarakan Mas Yudis dengan Ana memang benar-benar membuatnya tidak mengerti dan lelah sendiri. Dan juga malu. *** Senin pagi, Kian berjalan gontai menuju ruangannya. Tak ada kopi pagi yang biasa ia beli di hari Senin. Telepon dari kepala instalasinya semalam benar-benar merusak mood Senin paginya. Ia mendapatkan perintah menggantikan kepala instalasinya untuk menghadiri penyambutan tenaga medis dan pegawai baru rumah sakit. Sedangkan presentasi perkenalan yang ada di komputer ibu kepala pun belum diperbarui sejak satu tahun yang lalu. Hal itu membuatnya harus berangkat lebih awal untuk memperbarui presentasi itu. Ruang kerjannya masih sepi ketika Kian masuk. Belum ada seorangpun yang datang. Samar-samar hanya terdengan siulan si Boy, pegawai cleaning service. Kian memutuskan untuk memasang earphone di telinganya dan memutar lagu sebelum akhirnya tenggelam mengerjakan presentasi. Entah berapa lama ia sudah duduk di depan komputer bu kepala, hingga akhirnya ruangan dipenuhi oleh pegawai. Beberapa kali Kian menganggukkan kepala ketika pegawai lain mengucapkan selamat pagi kepadanya. "Kiaaaann…" Kian memutar mata mendengarkan suara Ana. "Jangan ganggu gue, gue sibuk." "Eh, gue denger elo ya, yang datang ke penyambutan pegawai?" tanya Ana masih tetap sumringah. Bahkan ia belum meletakkan tasnya ke mejanya sendiri. "Iya, makanya jangan ganggu gue. Berisik." "Gila. Beruntung banget lo, ki. Ada dokter yang ganteng abis!" Ana tetap saja heboh di samping Kian, membuat Kian geram setengah mati. Ana masih terus mengoceh, namun Kian tak mendengarkannya. "... terus kenalan deh gue." "Paling juga dokternya ogah kenalan sama elo," balas Kian sarkatis sambil menekan tombol save. Ia menepuk-nepuk tangannya, setidaknya presentasinya sudah selesai. Dengan percaya diri, ia melangkah pergi menuju aula ruang diklat milik rumah sakit yang berada di lantai 3. I'm coming wahai para pegawai baru. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD