Chapter 2 - 2

1171 Words
Ares berdiri menatap bayangannya di cermin. Sudah dua bulan ia menjadi pengangguran. Sejak menyelesaikan spesialisasi di salah satu fakultas kedoktran di Jogja, Ares belum memutuskan untuk bekerja kembali. Butuh dua bulan itu pula Dokter Anjas, papa Yudis yang sudah ia anggap seperti papanya sendiri, membujuknya untuk bekerja di rumah sakit tempat ia bekerja. Katanya mumpung ada pembukaan lowongan, tapi Ares yakin, tidak ada lowongan pun, Dokter Anjas tetap akan memintanya. Siapa yang mau menolak dokter bedah hebat sepertinya?? Kemejanya sudah rapi. Dasi juga sudah terpasang di lehernya. Celana hitamnya juga tampak licin dan pas menggantung di pinggangnya. Potongan rambutnya sudah rapi dan ia akan memberinya sedikit gel. Setelah memakai jas dokternya, ia kembali mematut cermin. Sudah lama ia tak melihat dirinya sendiri memakai jas putih itu. Yah, bekerja mungkin akan mengalihkan pikirannya dari Yudis dan Mahira. Ares melepas kembali jasnya dan melipatnya asal. Ia melirik jam, kemudian menyambar tasnya yang tergeletak di atas kasur. Semoga saja jalan hari ini berpihak kepadanya dan tidak membuatnya terlambat di hari pertama bekerja. Tak perlu waktu lama untuk duduk manis dibalik kemudi, melaju dengan mulus di jalanan. Beberapa kali Ares mencoba mencari saluran radio yang bagus untuk memecah keheningan mobilnya. Namun, lagu-lagu itu malah membuatnya teringat semua kenangannya bersama Yudis dan Mahira. So WHAT? They're my bestfriend… yang meninggalkannya menikah. Dang it. Ares mematikan radionya dan memacu mobilnya semakin cepat. Fokus pada jalanan mungkin akan membuatnya lebih baik. *** Ares berjalan menuju Ruang Diklat Rumah Sakit yang ada di lantai 3. Ada acara ramah tamah penerimaan pegawai baru rumah sakit dan penjelasan alur kerja secara umum. Sebenarnya Ares tidak menyukai ini, toh bekerja di rumah sakit juga begitu-begitu saja menurutnya, namun ia sedikit sungkan dengan Dokter Anjas apabila tidak mengikutinya. Ares membuka pintu ruangan. Beberapa orang yang terlihat seperti pegawai baru sudah duduk di tempatnya masing-masing. Ia memutuskan untuk ikut duduk di deretan beberapa dokter baru lainnya sebelum tiba-tiba ia merasakan tepukan di punggungnya. Ares menoleh dan mendapati seorang pria seusia dirinya tersenyum kepadanya. "Ares? Lo Ares, kan?" Pria itu tetap tersenyum sumringah kepadanya, tapi kemudian sedikit meringis ketika tahu Ares lupa padanya. "Lo lupa gue?" Ares menaikkan alisnya bingung. Wajah pria itu sepertinya familiar, namun Ares tidak ingat. Tidak, Ares ingat. "Stupid! Framadi??" tanya Ares tak yakin. Framadi yang ia ingat memiliki perut buncit dan tubuh sedikit gempal. Jauh sekali dengan pria yang ada di depannya yang memiliki perawakan yang sedikit berisi, namun berotot. Namun, ia yakin suara yang didengarnya sekarang adalah suara Framadi. "Yea. Ini gue," balas Framadi sambil nyengir. "Kemana Big Fat Framadi yang dulu?" tanya Ares sedikit meledek, tak menyangka Framadi yang dulu berubah menjadi Framadi keren seperti ini. "Ke laut, hahaha..." jawab Framadi sambil lalu. Ia menggiring Ares untuk duduk di salah satu kursi di ruang diklat itu. Ares hanya mengikuti Framadi dan ikut duduk bersamanya. Masih ada 5 menit lagi sebelum acara di mulai. Mengobrol sebentar mungkin takkan ada masalah. "So, gimana kabar lo? Udah selesai spesialisasnya ? Sp.B nih ?" tanya Framadi setelah menebar senyum ramah untuk menyapa beberapa orang. "Still the same," balas Ares sambil menaikkan bahu, tak acuh. "Lo udah lama kerja di sini? atau baru kaya gue?" "Gue udah hampir tiga tahun di sini," jawab Framadi. "Gue ngeliat nama lo pas liat nama dokter bedah baru yang bakal gabung di sini. Awalnya gue nggak yakin karena seingat gue lo  ada di Jogja, tapi setelah ngeliat elo di depan gedung nikahan Yudis kemarin, gue yakin kalo lo udah balik." "Kenapa lo nggak nyapa gue??" tanya Ares. Seandainya ia bertemu Framadi kemarin, setidaknya ia punya teman untuk minum. "Oh, iya! Gue jadi inget kalo gue mau nanya itu ke lo. Gue pikir gue ngeliat adegan p***o live kemarin." Framadi tertawa terpingkal-pingkal. Mendengarnya, perasaan Ares jadi tidak enak. "Apa yang lo pikirin waktu ada kepala perempuan di selakangan lo, Res? Dan di tempat terbuka? oh, Please!" Ah. Kejadian itu. Kejadian gila itu. Muka Ares merah padam. Ia pikir, selama Sita tidak melihatnya, ia akan aman-aman saja dan berhenti untuk mengingat kejadian tidak penting yang bisa menghancurkan reputasinya itu. "That's an accident!" bela Ares. Image-nya sebagai pria baik-baik bisa tercoreng kalau berita seperti ini tersebar. "Accident??" tanya Framadi sambil membelalakkan mata dan menahan tawanya. "Gue ngeliat elo menarik tangan wanita itu, dan membuatnya jatuh lagi ke pelukan lo, Res? Menang banyak, lo!" Ares hendak menjawab ketika dilihatnya rombongan direktur datang memasuki ruangan. Framadi tersenyum dan berdiri, menepuk pundaknya lalu pamit untuk pergi karena acara hendak di mulai. Ares menggeram sebal. Dirinya pria baik-baik. Dan mungkin wanita itulah yang m***m dengan sengaja menjatuhkan diri di pelukan pria tampan sepertinya. Bukan begitu? Acara dimulai dengan lancar. Beberapa kata sambutan yang tidak terlalu penting juga sudah diucapkan. Hingga acara penjelasan alur kerja. Hingga penjelasan mengenai tata-cara pengisian dokumen pasien. Hingga rambut merah itu ada di sana. That damn red hair. Walaupun rambut itu di jepit rapi ke belakang, Ares masih ingat dengan jelas. Karena warna rambut merah gelap yang membuatnya terlihat berbeda. Karena rambutnya yang  tersangkut di ikat pinggang Ares telah Ares buang sembarangan di dalam mobilnya. Wanita itu berdiri di sana, menjelaskan presentasi mengenai rekam medis dan apalah itu. Tangannya kadang bergerak-gerak bebas di udara, memberikan penjelasan. Matanya menatap audience. Tapi tidak pada Ares, seolah Ares bukan termasuk audience yang duduk di hadapannya. Jadi, wanita itu bekerja di sini. *** Kian sudah duduk manis di salah satu kursi yang ada di bagian depan ruang diklat ini. Flashdisk berisi file materi yang akan dijelaskannya kali ini juga sudah siap. Hanya hatinya saja yang masih dag-dig-dug ketika harus berbicara di depan orang banyak. Beberapa kali ia meremas kedua tangannya dan mendesah panjang. "Ares..." Samar-samar ia mendengar suara orang yang mengobrol di depan pintu. Beberapa orang, ah, tidak, banyak orang menoleh untuk melihat sesuatu di pintu ruang diklat. Hal itu menarik perhatiannya dan membuatnya menoleh untuk ikut menoleh. Disana terlihat Dokter Pram, yang bertugas di IGD, bersama dengan seseorang yang mungkin kenalannya. Mereka terlihat sedang mengobrol dan tertawa-tawa. Awalnya Kian tak acuh, namun ketika kenalan Dokter Pram itu berbalik, Kian tak bisa untuk tak acuh. Kian tau pria itu. Ia sekarang sedang berjalan bersama Dokter Pram untuk duduk di salah satu kursi yang tersedia. Dia dokter baru? Kian bertanya-tanya dalam hati. Tapi pantas bila dia dokter. Sikap arogan yang menguar dari dalam dirinya terlalu kentara. Lihat saja cara berjalannya. Cih, memuakkan. Tapi, bagaimana ia bisa melupakan kejadian memalukan itu bila ia akan terus bertemu dengan dokter itu di rumah sakit ini? Kian hanya bisa berharap bahwa dokter itu sudah lupa dengan kecelakaan itu dan tidak mengungkitnya kembali. Ah, lagi pula, dokter arogan seperti itu pasti sudah lupa padanya. Bukan sesuatu yang pantas diingat. Sepanjang acara, Kian terus menundukkan kepalanya untuk berjaga-jaga. Lalu saat maju ke podium untuk memberikan penjelasan mengenai sistem pencatatan rekam medis pasien secara singkat, mata Kian akan melihat ke mana saja kecuali pada Ares. Kian dapat melihat dari sudut matanya bahwa Ares sedang menatapnya dengan tajam, seolah memperhatikan gerak-geriknya. Ketika acara selesai, Kian langsung berusaha untuk pergi secepat kilat. Tidak, Kian tidak takut, hanya waspada. Iya, waspada. Tapi terhadap apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD