Chapter 3

2107 Words
Ares sudah berada di ruang praktiknya. Ia duduk sejenak. Hari ini memang belum di jadwalkan untuk praktik. Ia baru saja kembali dari ruang direktur rumah sakit untuk menerima ucapan selamat datang secara langsung. Pintu ruangannya tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok Dokter Anjas di baliknya. Ia tersenyum senang kepada Ares dan berjalan mendekat. "o*******g, akhirnya kamu mau menerimanya dan suatu kehormatan bisa bekerja dengan kamu, Res. Salah satu dokter paling berbakat yang om kenal," sapa dokter Anjas, membuat Ares tertawa. Mau tidak mau, Ares berdiri untuk menyalaminya. "Nggak, Om. Memang siapa yang bisa menolak kalau setiap bertemu dengan om, om akan membahas masalah yang sama dan selalu ngajak aku untuk kerja di sini?" Ares tersenyum jahil. "Bisa saja kamu!" Dokter Anjas tertawa sambil menepuk-nepuk pundak Ares. Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka kembali. Kali ini ganti sosok Framadi yang berdiri sambil memegang gagang pintu. "Selamat siang, dok," sapa Framadi kepada Dokter Anjas. "Ah, Dokter Pram. Selamat siang," balas Dokter Anjas. "Kalian berdua sudah saling kenal?" "Dia teman sekelas Ares, Yudis, sama Mahira, om. Dulu, saat pendidikan dokter," jelas Ares. "Wah, maaf-maaf, Om nggak tahu. Kenapa kamu nggak pernah memberi tahu saya, Pram?" "Maaf, dok. Mungkin baru diberi kesempatan," jawab Framadi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Mungkin mau makan siang bersama kami, dok?" "Ah, tidak. Kalian saja. Saya masih ada urusan." Setelah berpamitan dan menepuk-nepuk lengan Ares, Dokter Anjas pun meninggalkan ruangan Ares. Setelah memperhatikan Dokter Anjas yang menghilang dibalik pintu, Framadi menatap Ares. "Res, ini penting. Lo harus ikut gue makan siang." "Kenapa?" "Karena gue habis taruhan sama orang-orang IGD, kalau gue bisa makan siang dengan dokter bedah baru yang ganteng dan jadi idola para perawat. s**l," jawab Framadi bersungut-sungut sebal. Ares lagi-lagi hanya tertawa. "Ternyata, perubahan seorang Framadi tetap tidak bisa menyaingi ketampanan seorang Ares." "s****n, lo." "Apa yang gue dapetin kalau gue makan siang sama lo?" "Ketenaran diantara perawat-perawat IGD?" Framadi menjawabnya sembarangan. "Oh, Ayolah! Nggak usah kebanyakan mikir. Lo mau duit taruhan itu?" Tidak perlu waktu lama, Framadi berhasil menyeret Ares keluar dari ruangannya untuk makan siang di kantin rumah sakit setelah Ares melepas jas putihnya dan meletakkannya di gantungan. Mereka berjalan bersisian sambil mengobrol ringan. "Lo harus nyobain soto Bu Ida. Enak, Res," tawar Framadi kepadanya. Ia terus berbicara seperti bintang iklan. "Porsinya pas, kuahnya mantab, ayamnya banyak, apalagi ditaburi koya, beuuh…" Ares tak terlalu mendengarkan perkataan Framadi. Ia melihat wanita berambut merah itu sedang berdiri di depan salah satu counter di kantin bertuliskan 'Soto Ayam Bu Ida' bersama seorang temannya. Ia mengetuk-ngetuk ujung kakinya di lantai sembari menunggu pesanannya. Ares tepat berdiri di belakangnya ketika gadis itu berbalik membawa nampan berisi dua mangkuk soto. Nampan yang dibawanya menabrak perut Ares, membuat kuah sotonya muncrat kemana-mana. Termasuk ke kemeja Ares, dan kemeja wanita itu. "Astaga!" gumam Kian refleks. Ia menengadah, hendak meminta maaf kepada orang yang terkena tumpahan soto miliknya. Namun, hal itu urung ia lakukan ketika melihat siapa yang ia tabrak. "Again?" geram Ares tak percaya. Kalau sampai tiga kali ia bertabrakan dengan wanita itu, mungkin dirinya dan wanita itu berjodoh. Ares bergidik sendiri dengan pemikirannya. Ia melirik name-tag yang berada di d**a wanita itu. Kiany. "Maaf, maaf." Teman Kian dengan sibuk meminta maaf dan menyerahkan beberapa lembar tisu kepada Ares. "Tumpah, mbak?" tanya Bu Ida si pemilik warung sambil melongokkan kepalanya. "Sini saya tambahin kuah sama taburannya, mbak?" Mau tidak mau, Kian memberikan nampan sotonya kembali kepada Bu Ida. Kemudian mengambil beberapa helai tisu yang Ana bawa dan membersihkan bercak-bercak kuning di kemejanya. Kenapa ia selalu s**l jika bertemu dengan pria yang Dokter Pram panggil Ares ini? Sedangkan Ares sendiri juga sedang melakukan hal yang sama, tapi sepertinya noda kuning itu tidak mau menghilang dari bajunya. Beberapa kali ia mengangguk ketika Framadi bertanya keadaannya dan apakah ia jadi memesan soto. Kian melirik Ana yang memandang Ares dengan pandangan terpesona dengan risih. Kunyuk satu itu sudah kumat lagi. "Ini, mbak. Hati-hati." Bu Ida menyerahkan nampan berisi dua mangkuk soto yang utuh. Setelah mengucapkan terimakasih, Kian dan Ana berjalan pergi ke sebuah meja yang kosong. Ares menatap Kian yang berjalan pergi dengan sudut matanya. She doesn't even say sorry. Menyebalkan. Setelah Framadi mendapatkan sotonya, Ares berjalan mengikuti Framadi yang berjalan di sebuah meja kosong. Untung saja meja itu berjauhan dari meja Kian. Beberapa kali, Ares menatap sebal ke arah Kian yang entah berbicara apa kepada Ana dengan sudut matanya lagi. Entah kenapa, Ares seperti memiliki dendam kesumat kepada Kian yang selalu memperburuk suasana hatinya. "Lo nggak papa?" tanya Framadi kepada Ares. "Ya." *** "Gila, lo nabrak dokter baru yang ganteng itu, Ki!" bisik Ana dengan semangat. "Oh, dia ganteng banget. Cara dia ngebersihin noda di bajunya, aduh.." "Gue bingung dengan kriteria cowok ganteng lo, deh," balas Kian sebal. "Gue lebih bingung sama kriteria cowok ganteng lo, ki. Apa lo butuh periksa mata?" tanya Ana tidak mau kalah. Ia kemudian menyeruput kuah sotonya sedikit, menambahkan sedikit perasan jeruk dan mengaduknya. "Lo pernah ketemu dia?" "Kenapa emang?" Kian bertanya balik sambil menaikkan alis, bingung. "Kok tadi dokter ganteng itu bilang 'again'?" Kian membelalakkan matanya, tidak tau bahwa temannya itu sadar. Ia sama sekali tidak ingin menceritakan kejadian memalukan itu kepada siapa pun. Apalagi kepada Ana, yang suka berpikiran macem-macem dan terlalu percaya tahayul. "Gue tadi cuma denger 'aduh', kok." Kian mencoba berbohong. "Masa? Apa gue salah denger?" balas Ana tak yakin. "Lo salah denger kali." Ana menggaruk dahinya sebentar, kemudian mengedikkan bahunya, menyerah mencari tahu. Toh, hal itu tidak terlalu penting. Kian mengembuskan napas lega. Ia kemudian mulai memakan sotonya, sambil berdoa di setiap suapannya, semoga kehidupannya di sini berjalan normal-normal saja. *** Dua hari ini, Kian menjalani hari-hari seperti biasanya. Ia telah memutuskan untuk melupakan semua hal yang berhubungan dengan dokter itu dan menyebabkan pikirannya menjadi tak waras. Fakta bahwa ia pernah menyebabkan dokter itu tersakiti di tempat yang tidak saharusnya, ia tidak takut lagi hal itu tersebar. Toh, itu hanya kecelakaan. Kecelakaan artinya tidak sengaja. Benar, kan?  Beberapa kali Kian melirik jam dinding. Masih ada satu jam lagi sebelum waktu pulang tiba. Namun ia merasa sedikit aneh dengan pekerjaannya karena selesai terlalu cepat. Kian memutuskan untuk menelepon bagian penerimaan pasien untuk mengecek adanya kesalahan.  "Selamat pagi. TPP rawat jalan. Ada yang bisa kami bantu?" sambut suara lembut Mbak Reni, sang petugas TPP, menyambut Kian ketika telepon tersambung.  (Note: TPP adalah Tempat Penerimaan Pasien, tempat untuk mendaftar pasien yang akan berobat, bisa juga disebut Admisi) "Mbak, ini Kian. Kemarin sama hari ini pasiennya yang dikit ya, mbak?" tanya Kian langsung.  "Hah? Enggak, kok. Hampir sama jumlahnya. Kenapa?"  "Nggak, sih. Berkas yang aku terima kok kayaknya sedikit." Kian menggaruk dahinya yang tidak gatal dan menyelipkan rambutnya di belakang telinga. "Ya udah deh, makasih mbak." "Oke."  Sambungan telepon pun terputus. Kian beranjak dari kursinya, ingin mencari tahu ke bagian lain.  "Mer, berkasnya dari bedah belum diterima, ya?" Kian datang menghampiri seorang petugas assembling, Merri, kemudian duduk si depannya dan menumpukan sikunya di meja sambil membaca-baca nota dan register pengembalian berkas. (Note: assembling itu pengurutan berkas rekam medis pasien sekaligus pengecekan kelengkapan berkas) "Iya, kemaren sih yang dari bedah nggak lengkap, udah aku balikin ke dokternya, eh malah balik lagi ke sini masih ada yang nggak lengkap. Bandel. Padahal pasien bedah kan banyak." Merri jadi ikut menggerutu karena sedikit sebal, tapi ia terus melanjutkan pekerjaannya sambil mengobrol dengan Kian.  "Punya dokter siapa sih, Mer?" Kian jadi kepo. Perasaan selama ini, dokter selalu taat untuk mengisi berkas karena sudah mendapatkan peringatan, apabila tidak mengisi berkas rekam medis secara lengkap, uang jasa mereka tidak bisa cair.  "Kayaknya sih dokter baru, deh. Namanya Kenares siapa gitu, spesialis bedah umum, sama ada satu lagi dokter Trias atau siapa aku lupa," ucap Merri lagi. Beberapa kali ia mengerutkan mukanya ketika menekan perforator dengan seluruh kekuatan. "Kamu udah sosialisasi, kan, kemarin?" "Udah kok, sampe berbusa nih ngejelasin regulasi bagian rekam medis doang. Dokter emang yah, nyebelin abis. Kalo bukan sesama dokter yang bilang, pasti nggak pernah didenger deh." Kian jadi berapi-api, tersulut oleh kata-kata yang diucapkannya sendiri. Sebagai koordinator pengolahan berkas, Kian jadi merasa bersalah karena presentasinya tidak berhasil dan menyulitkan teman-temannya untuk bekerja. "Gua samperin, lah. Sini, berkas bandelnya."  Kian berjalan keluar ruangan instalasi rekam medis dengan semangat juang tinggi. Di tangannya ada beberapa tumpuk berkas pasien rawat inap. Langkahnya lebar-lebar menuju klinik bedah umum. Ia menghampiri meja seorang perawat yang bertugas untuk mengatur berkas di klinik bedah umum. Jam sudah hampir menunjukkan pukul 12, pasti pasien sudah sepi.  "Bu, pasiennya dokter Kenares masih banyak?" tanya Kian. Ia sedikit gemetar, mengerutkan alisnya, sedikit grogi karena ibu perawat itu menatapnya galak.  "Tinggal satu. Ada perlu apa?" Perawat itu balas bertanya dengan dinginnya.  "Ada berkas bandel dokter Kenares dari bangsal bedah, dari klinik juga banyak. Saya mau menjelaskan lagi, kalau tidak, tunjangan jasanya tidak bisa cair, bu," jelas Kian berusaha sekuat tenaga untuk tidak menampakkan rasa sebal di wajahnya dan tetap sabar.  "Oh, saya kira mau modus sama dokternya." Perawat itu menatap Kian dengan curiga.  "Modus?" tanya Kian tidak mengerti.  "Iya, dari kemarin banyak yang ke sini cuma modus sama dokter Ken."  Lah, serius, ini menyebalkan sekali. Niat Kian datang ke sini kan murni untuk pekerjaan. Apakah mukanya ini seperti wanita yang haus belaian lelaki sampai harus modus-modus t*i ke dokter? "Setelah pasien yang baru masuk ke pintu yang tulisannya Kenares itu keluar, kamu bisa masuk. Sepertinya jadwal visite beliau masih jam 2 siang nanti," balas perawat itu akhirnya. Kian mengangguk dan memutuskan untuk duduk di kursi tunggu di dekat situ.  Entah berapa menit berlalu, Kian akhirnya melihat pasien terakhir dokter Kenares hari ini akhirnya keluar juga dari ruangan. Kian mengangguk ke ibu perawat judes tadi dan masuk ke ruangannya. Setelah membuka pintu, Kian terkejut setengah mati. Bodoh. g****k. Ia baru menyadari kalau dokter kenares-kenares yang dimaksud dari tadi adalah dokter Ares yang itu. Ares. Nama panjangnya ya bisa Kenares. Stupid.  Kian beberapa kali berdehem, berusaha melegakan tenggorokannya yang tercekat karena terkejut. Ia berusaha untuk tetap profesional dan menyembunyikan keterkejutannnya. "Permisi." Ares yang tadinya mengira bahwa yang masuk adalah perawat, sedikit terkejut mendapati Kiany si Rambut Singa berdiri di ambang pintunya yang terbuka sambil memeluk beberapa berkas rekam medis. "Ya?" Ares bertanya dengan bingung. "Maksud saya, silahkan duduk." Kian berjalan masuk setelah menutup pintu ruangan itu. Kemudian ia duduk di sebuah kursi yang ada di depan meja kerja Ares. Kian berusaha bernapas dengan normal, takut kegugupannya terbaca.  Tampang sinis. Tampang sinis. Ayo berani. Demi seluruh pegawai instalasi rekam medis.  Kian berkali-kali merapalkan itu dalam hatinya.  "Jadi begini, ini berkas pasien rawat inap bangsal bedah dan rawat jalan Bedah Umum yang nggak lengkap…" Kian menjelaskan panjang lebar. Kepercayaan dirinya perlahan mulai naik. Ia jadi sedikit sebal karena harus menjelaskan kembali isi presentasinya kemarin. "... bagian ini harus di isi. Kalau tidak sempat mengisi, kan bisa minta tolong perawat." "Kenapa saya yang di salahkan? Saya pikir, bagian yang saya tidak isi akan langsung di isi oleh perawat atau residen." Ares berusaha membela diri. Memang benar seperti itu yang dipikirkannya kemarin. "Minta residen saja untuk mengisi. Atau beri tanda mana yang harus saya isi, nanti akan saya isi saat saya kembali." "Kalau tidak dapat instruksi dari dokter, ya mana bisa?" tanya Kian sewot. Darahnya terasa mendidih. Inilah alasannya kenapa ia membenci dokter. "Ini tolong di isi. Berkasnya seharusnya dapat kembali dalam 24 jam. Target kami paling tidak 90 persen harus terisi, sedangkan ini tidak mencapai 50 persen. Saya akan menunggu di sini sampai berkas ini terisi."  "Saya ada janji sebentar lagi," jawab Ares. Memang benar, ia ada janji makan siang dengan Sita hari ini.  "Mengisi berkas ini juga sebentar kalau anda langsung mengerjakan. Lagipula, tunjangan anda bisa tidak dicairkan kalau berkas ini tidak diisi. Saya jadi yakin kalau anda tidak mendengarkan presentasi saya kemarin," balas Kian tidak mau kalah.  Ares menatap mata Kian. Bagaimana ia bisa mendengarkan presentasi kalau yang presentasi singa betina seperti ini. Ia baru mengetahui wanita di depannya ini bisa sangat keras kepala dan menyebalkan. Ares kemudian mengangkat tangannya dan menggerakkan jari-jarinya, meminta berkas itu pada Kian tanpa kata. Ia menerima berkasnya dan membukanya satu per satu. "Beri tahu mana yang harus saya isi." Kian tersenyum senang, merasa dirinya di atas angin. Hah. Dasar dokter. Berhadapan dengan Kian, mereka tidak boleh seenaknya sendiri. Ia mulai menunjukkan bagian-bagian yang harus diisi dan ditandatangani oleh Ares.  "Terimakasih," ucap Kian setelah semuanya selesai. Ia membawa kembali berkas yang tadi ia bawa dan keluar dari ruangan itu.  "Masa pegawai memarahi dokter? Ck..." gerutu Ares kesal. Ares melirik jam tangannya yang tergeletak di atas meja kerjanya. Jam itu sudah menunjukkan pukul 12 lebih 40 menit. Ia sudah terlambat 10 menit dari waktu yang dijanjikan. Ares berdecak, ia harus bersiap-siap mendengarkan omelan Sita. Haah, wanita itu selalu datang di saat yang tidak tepat dan merusak rencananya.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD