Chapter 4 - 1

1231 Words
Ares berjalan memasuki salah satu restoran Italia terkenal. Wajahnya masih tertekuk karena bertemu dengan Kian tadi. Tapi melihat Sita yang duduk di ujung sana dengan wajah marah, rasa sebalnya luntur digantikan rasa takut.  "Nggak kurang lama?" tanya Sita ketika Ares duduk di depannya.  "Sorry. Gue ada kerjaan tadi," balas Ares.  "Gue juga ada kerjaan, Res. Tapi gue lebih mentingin elo daripada kerjaan gue, atau paling enggak kabarin gue. Apa gunanya smartphone lo? Kaya gini nih kalau penggunanya nggak ikutan smart."  "Iya, maaf. Kan nyetir tadi." Ares memutuskan untuk mengalah karena ia tahu ia tidak akan menang berdebat dengan Sita. Dengan begini, pembicaraan tentang keterlambatannya akan lebih cepat selesai.  "Anyway, gimana kerjaan lo?" tanya Sita. Tujuan utamanya mengajak Ares ke sini adalah melihat Ares, memastikan bahwa dia baik-baik saja.  "Sejauh ini oke," jawab Ares singkat. Ia tidak kaget dengan mood swing Sita yang dapat dengan cepat berubah. "Gue ketemu teman lama yang juga kerja di sana. Dia bantu gue." "Siapa?" "Framadi namanya. Lo nggak kenal, kok."  "Syukur, deh. Lo kan ansos, Res. Gue sempet khawatir karena Yudis nggak ada di sana," jawab Sita sungguh-sungguh. Ia melambaikan tangannya, meminta pelayan agar datang untuk mengantarkan menu.  "Gue nggak ansos, ta. Gue cuma memilih," bela Ares. Tanpa melihat menu, Ares memesan fettuccini carbonara seperti biasanya.  "Terserah lo, deh." Sita mengangkat bahunya tak peduli. Ia menyebutkan menu yang diinginkannya kepada pelayan, kemudian pelayan itu membawanya pergi.  Beberapa saat kemudian, ponsel Ares bergetar. Ada beberapa pemberitahuan yang muncul di layarnya.  Cito[1]:Bedah dan Bedah Ortho… Ares mendesah sambil membuka ponselnya. Belum selesai Ares membaca, saat itu juga panggilan dari Framadi masuk. Buru-buru Ares menggeser tombol hijau untuk mengangkatnya.  "Ada apa? ...makan ...tidak …ya. Oke, gue ke sana."  Sita yang mendengar percakapan Ares di telepon menaikkan alis. Ia kemudian melotot sebal, tak percaya. "Elo mau pergi lagi??"  "Ta, ada cito. Gue traktir lo makan di mana aja, deh. Lima voucher dari gue buat lo." Ares menulis pada selembar tisu dengan pulpennya, kemudian manandatanganinya layaknya kontrak. Tak lupa ia menggambar materai 6000 di tisu itu dan mengecap stempel nama yang selalu ia bawa. "Gue pergi dulu." Ares berdiri, kemudian memeluk Sita yang menahan kesal setengah mati, kemudian mencium pipinya sebelum pergi. Sita hanya duduk, memandangi punggung Ares yang menjauh meninggalkannya. Ia kemudian mengembuskan napas panjang untuk meredakan kekesalannya.  Satu... dua... tiga... Ares berbalik, kemudian tersenyum ramah kepada sita.  "Ta, gue capek banget,  sopir lo gue bawa! Lo balik sendiri ya?" *** Telepon ruangan Instalasi rekam medis berbunyi nyaring beberapa kali. Telepon juga tak kalah nyaring di Unit Gawat Darurat. Telah terjadi kecelakaan di sekitar 5 kilometer dari lokasi rumah sakit. Kecelakaan beruntun tak terhindarkan ketika sebuah bis pariwisata berisi rombongan turis asing dari eropa terguling karena menghindari pengendara mobil yang kebut-kebutan.  Tiga ambulans dari rumah sakit dan empat ambulans pemerintah diturunkan untuk membantu proses evakuasi. Semua saling meraung dan berurutan melaju di jalanan dengan kecepatan tinggi. Di arah sebaliknya, kemacetan parah terjadi karena badan bus menutupi jalan. Di dalam mobil yang dikemudikan oleh Pak Sudirman, Ares duduk sambil memandang kendaraan yang melintas di jalanan dari balik kaca mobil. Lama-lama, mobil yang ditumpanginya berjalan dengan kecepatan yang sangat lambat. Lalu tidak berjalan sama sekali.  "Wah, macet parah kalau ini, mas." Pak Sudirman melongok ke belakang melihat Ares. "Nggak bisa jalan."  Ares melihat jam yang ada di ponselnya. Putar balik tidak memungkinkan karena ada pembatas jalan. Rumah sakit masih jauh, tidak mungkin ia berjalan ke sana. Ia melirik jamnya lagi. Cemas. Berusaha memikirkan jalan keluar dengan cepat.  "Saya mau nyari ojek aja deh, pak. Saya turun di sini, nanti bapak bawa saja mobilnya ke rumah sakit, terus titipin kunci mobilnya ke satpam," putus Ares. Ia kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompet kulit berwarna cokelat tua. Di tariknya dua lembar uang seratusan ribu, lalu memberikannya pada Pak Sudirman.  Yang diberi titah, Pak Sudirman, hanya mengangguk patuh sambil menerima uang pemberian Ares.  Ares membuka pintu mobil dan keluar. Ia berjalan di antara kendaraan-kendaraan yang terjebak di sana sambil membawa tas kerjanya. Berjalan siang-siang di jalanan yang tidak rindang membuat peluh Ares mengalir deras. Menetes dari dahi dan membasahi kemejanya.  Matahari bersinar terik tanpa belas kasihan, membuat Ares mempercepat jalannya.  Ck, ia menyerah. Tak ada ojek sama sekali. Ia membuka ponselnya, akhirnya meng-install aplikasi ojek online. Ares tidak berpikir akan menbutuhkan ojek sebelumnya karena mobilnya selalu bersamanya. Sambil menunggu, Ares berjalan lagi. Dilihatnya dari kejauhan beberapa orang berkumpul. Ada sebuah bis terguling melintang memenuhi badan jalan. Bukannya sok atau apa, tapi melihat hal itu Ares jadi merasa terpanggil. Dengan rasa penasaran yang membuncah, Ares berlari kecil menuju tempat kecelakaan. Ia melihat-lihat keadaan. Berapa turis asing duduk-duduk di pinggir jalan dengan ekspresi yang sedikit pias. Jangan bayangkan adegan Ares langsung menerjang masuk dan mengatakan kalau ia dokter. Ini bukan drama-drama korea dengan aksi heroik dokter yang menyelamatkan nyawa pasiennya. Nyatanya tidak seperti itu.  Ares melihat beberapa petugas sedang mengevakuasi korban kecelakaan, dibantu beberapa polisi dan warga sekitar. Seorang pria botak berkulit putih berteriak-teriak marah kepada seorang polisi yang melarangnya mendekat ke bis. Polisi itu memaksa pria dengan luka robek di tangannya itu untuk menerima pengobatan dan masuk ke ambulans. Polisi muda itu jelas sangat berusaha menggunakan bahasa inggrisnya yang patah-patah. Namun, turis itu sepertinya tidak mengerti karena berbicara menggunakan bahasa yang Ares juga tidak paham. Seorang korban berhasil di bawa keluar dari badan bis menggunakan tandu oleh berapa petugas dan membawanya ke dalam ambulans. Pria botak tadi langsung menghampiri dengan wajah takut. Ia kemudian menggoncang sedikit pergelangan tangan perempuan di atas tandu yang terkulai lemah takut-takut. Pria itu terkejut dan histeris. Suaranya sedikit serak karena tercekat. Pria itu menangis. Beberapa petugas memeganginya, takut pria itu mengganggu petugas pembawa tandu yang akan memasukkannya ke ambulans.  Ares melihat nama rumah sakit yang tercetak jelas di badan mobil. Nama rumah sakit tempat ia bekerja. Seketika Ares masuk, melewati garis polisi yang terpasang. Seorang polisi berbadan besar menghampirinya, hendak melarangnya untuk masuk.  Ares buru-buru memperlihatkan kartu pegawai rumah sakit yang dapat menjelaskan bahwa dia dokter.  "Aduh, dok. Kenapa tidak dari tadi?" Polisi itu menggerutu kemudian membiarkan Ares untuk masuk. Ia mengikuti Ares sambil berusaha menjelaskan situasi. "Korban luka-luka biasa sudah dilarikan ke rumah sakit. Tapi masih ada satu orang lagi yang terjepit di dalam. Supirnya." Ares kemudian berjalan mendekati tempat sang supir yang terjepit. Terlihat sang supir masih berada di tempatnya, tak sadarkan diri. Kemudi menekan d**a dan perutnya. Bajunya basah bersimbah darah. Dengan sekali lihat, Ares tahu kalau tulang rusuknya hancur, bukan hanya patah. Firasat Ares buruk sekali melihatnya. Ia ingin meriksa dan berdoa semoga firasatnya itu salah.  "Pak, saya mau melihatnya sebentar. Tolong bantu saya naik," kata Ares pada seorang pemadam kebakaran. Setelah melihat kiri-kanan, pemadam itu berjongkok.  "Naik ke pundak saya!"  Ares menuruti saja. Tak ada pilihan lain. Tak ada pijakan lain. Ia mengulurkan tangannya untuk memeriksa nadi sang supir. Denyut nadinya sangat lemah karena terlalu banyak pendarahan. Ares dengan cepat mengeluarkan ponsel dan menyalakan lampu senter. Membuka mata supir dengan tangan kirinya dan memegang ponsel dengan tangan kanannya. Mengarahkan lampu itu ke mata supir. Tak ada respon. Pupil matanya membesar. Ares menekan sedikit leher supir itu untuk memastikan lagi. Denyut lemah yang tadi ia rasakan sudah tidak ada.  Ares turun dari pundak sang pemadam kebakaran. Ia kemudian melihat jam di ponselnya.  "Waktu kematian, Kamis 12 Mei 2016 pukul 14.32 WIB."   *** [1] *cito: Dalam bahasa latin artinya ‘segera’, di dunia medis digunakan untuk menunjukkan kondisi darurat yang harus segera ditangani
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD