Chapter 4 - 2

1493 Words
Kian sudah akan beranjak pulang, ketika sebuah telepon dari bagian IGD mengabarkan akan ada korban kecelakaan bus yang datang. Tentu tidak hanya satu atau dua yang terluka, sehingga tenaga tambahan dibutuhkan dan beralih fungsi menjadi penerima pasien IGD. Tak jadi pulang, Kian akhirnya ikut turun ke sana. Dari kabar yang diterima oleh IGD pula, Kian mengetahui pasien yang datang kali ini tidak biasa. Mereka rombongan turis asal Eropa yang sedang berlibur di Indonesia. Pelayanan harus ekstra hari-hati. Identifikasi awal minimal nama dan umur harus dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan tindakan medis karena bisa saja tampak wajah mereka yang mirip dan penampilan umur yang menipu. Kian dan dua orang pegawai rekam medis lain, Ana dan Merita, berlari menyusuri lorong menuju IGD yang terletak di lantai dasar. Mereka memasuki IGD ketika korban kecelakaan itu belum tiba. Seorang perawat menghampiri mereka. "Ada yang bisa bahasa Prancis atau Italia?" tanya seorang perawat dengan rambut sebahu. "Korban kecelakaan kebanyakan nggak bisa bicara bahasa Inggris." "Saya belajar sedikit bahasa Prancis," aku Kian. Tidak salah ia belajar autodidak untuk mempersiapkan diri pergi ke Prancis, yang sayangnya hanya persiapan saja, belum terwujud. "Oke. Kalian siap-siap, lima menit lagi mereka akan sampai. Tolong identifikasi siapa yang bisa berbahasa Inggris dan siapa yang tidak," kata perawat itu. Ia kemudian pergi meninggalkan Kian dan pegawai rekam medis lain. "Aku yang akan tanya, apakah mereka bisa bahasa Inggris atau tidak. Nanti aku akan memberikan sticky notes kuning kalau mereka bisa, dan kalian bisa mewawancarai mereka yang bisa diwawancara. Kalau hijau, mereka tidak bisa bahasa Inggris, dan aku yang akan nanya ke mereka.” Kian memberikan instruksi kepada teman-temannya yang disambut dengan anggukan. Suara raungan beberapa ambulans lambat laun terdengar semakin keras. Kemudian sirine ambulans-ambulans itu mati ketika berhenti di depan IGD. Dalam satu mobil ambulans diturunkan satu pasien yang mengalami luka parah yang entah sadar atau tidak dan tiga lainnya yang masih memiliki kesadaran mereka karena luka yang tidak terlalu parah. "Est-ce que vous parlez en anglais?[1] " Kian bertanya kepada semua pasien yang bisa ia tanyai, yang dijawab pasien dengan anggukan dan gelengan. Ruangan IGD hampir penuh, ketika ambulans terakhir yang membawa pasien datang. Kian dapat melihat seorang pria yang memiliki muka pucat turun dari sana. Kepalanya botak dan badannya kekar. Namun, apa yang Kian lihat tak sesuai. Eskpresinya yang ketakutan serta air mata yang membasahi pipinya sangat kontras. Darah menetes di sekujur lengan kanannya. Lukanya menganga di lengan atas dengan darah yang masih mengalir, seperti tidak mendapatkan pertolongan pertama. "Au secours![2]" Teriaknya ketika memasuki pintu IGD. Ia kemudian berlari kecil mengikuti brangkar dengan wanita yang tidak sadarkan diri di atasnya. "Tolong istri saya!" Beberapa perawat menghampiri keduanya dan membawa mereka ke salah satu bilik yang kosong. Seorang perawat berusaha membawanya ke bagian lain untuk diberikan pengobatan pada tangannya, namun sia-sia. Pria itu tetap bersikeras berada di sebelah sang wanita, memohon-mohon untuk membuka matanya. "Mbak Kian!" seorang perawat memanggil Kian yang sedang menanyai pasien di sudut ruangan. Hal itu membuat Kian mau tidak mau datang menghampiri ibu perawat itu. "Ya, bu?" tanya Kian ketika sampai di hadapan ibu perawat itu. "Tolong jelaskan, kalau pacarnya ini baik-baik saja!" Dokter Framadi memotong pembicaraan Kian dengan ibu perawat. Ekspresi wajahnya yang lelah dan kesal sangat nampak. "Dia lebih butuh pengobatan!" "Monsieur, dia baik baik saja. Tetapi anda tidak." Kian berusaha berbicara sebisanya dalam bahasa Prancis. Kosakatanya tak banyak. Tak peduli lagi apa itu kata feminin dan maskulin. Sebicaranya saja dengan bahasa tubuh. "Votre main doivent, aduh apa ya, etre traites! Your hand, tangan anda harus diobati!" "Non!" balas pria itu. Sedikit kaget karena di ajak berbicara bahasa ibunya.  “Dia baik-baik saja!" "Ma bebe[3]… Ada anakku…" Kalimatnya tak selesai suaranya tercekat tangis. Mata Kian terbelalak dengan mulut terbuka. Kian langsung dapat menangkap maksudnya. Wanita ini sedang mengandung. Dan mungkin pria ini ketakutan kehilangan salah satu atau keduanya. "Dia hamil!" bentak Kian cepat. Ia menoleh ke Dokter Framadi yang melotot karena terkejut. Tiba-tiba Kian merasakan badannya terdorong ke samping. Ares, yang sudah berdiri di ambang pintu sejak Framadi meneriaki Kian, ikut terkejut. Ia berlari masuk ke dalam dan memeriksa wanita yang kata Kian sedang hamil tersebut. "Panggil bagian Obgyn!" perintah Ares yang segera dilaksanakan oleh seorang perawat. "Ada pendarahan di dekat tulang rusuk. Framadi, segera bawa pria ini pergi untuk diobati!" "Dia dokter paling bagus di sini. Istri anda baik-baik saja," bujuk Kian. "Allez-y!" Pria itu akhirnya menurut dan ikut keluar dari bilik. Framadi dan seorang perawat menuntun mereka menuju bilik lain yang kosong. Selama proses pengobatan diberikan, Kian tidak menyianyiakan kesempatan. Kian mengetahui nama pria itu Leon, dan wanita yang tidak sadarkan diri itu adalah istrinya, Bella. Umur mereka 34 dan 31 tahun. Tugasnya hampir selesai. Kian memutuskan untuk meninggalkan Leon dan melihat keadaan sekitar. Mencari keberadaan Ana, Merita, dan Rubi yang ternyata berkumpul di Tempat Penerimaan Pasien IGD. Mereka sibuk mencocokkan indentitas yang mereka catat dengan buku-buku kecil yang mirip paspor. Di dekat mereka terdapat dua orang polisi dan seorang lagi pria berkemeja biru. "Bagaimana?" tanya Kian ketika mendekat sambil menyerahkan kertas-kertas catatannya. "Ini semua paspor korban. Kita bisa inputkan sekarang dan berkas bisa dibuat. Beberapa bisa masuk ke rawat inap sekarang," jawab Ana tanpa melepaskan pandangannya dari komputer di depannya. "Jaminan pembiayaan sudah ditandatangani pihak biro perjalanan dan asuransi." Kian hanya mengangguk mengerti. Ia menyusun berkas yang berisi data pasien yang lebih lengkap. Kemudian menyerahkannya kepada perawat yang akan membawa pasien ke ruangan rawat inap. Satu jam berlalu dan suasana di IGD berubah menjadi lebih tenang. Di bilik-bilik hanya tersisa pendonor darah yang berasal dari korban selamat. Tidak ada pilihan lain karena beberapa korban yang butuh darah memiliki rhesus negatif. Korban lainnya telah dibawa oleh pihak biro perjalanan untuk kembali ke hotel. Kian mengembuskan napas lega. Tinggal menginputkan kode-kode diagnosis ke database rumah sakit. Ia beranjak dari tempat duduknya karena pegal, kemudian berjalan keluar. "Kiany!" Kian terhenti merasa namanya dipanggil. Ia kemudian menoleh, mendapati salah satu polisi yang tadi memberikan paspor berjalan mendekatinya. "Ya?" tanya Kian bingung. Dari mana polisi itu mengetahui namanya? Name tag? "Kamu Kiany Basuki, kelas XI IPA 2 kan?" tanya polisi itu lagi. Kiany semakin mengerutkan dahinya. bingung. "Ya?" "Gue Dion! Temennya Kopit!" jelas polisi itu lagi. Sekuat tenaga Kian mengingat-ingat nama Dion. Kopit, tentu saja ia mengingat nama itu. Si Gendut pentolan sekolah yang memiliki hidung bengkok dan mata sipit, yang disingkat kopit. Ia selalu menjadi orang yang di takuti oleh adik-adik kelas, padahal sebenarnya Kopit ini orang yang konyol. Tapi memang sedikit kurang ajar, sih. Setiap istirahat, Kopit pasti akan berada di pojok kantin di temani oleh kacung-kacungnya yang setia. Samar-samar Kian ingat Dion. Si cungkring yang menjadi salah satu kacung Kopit, mengikuti kemanapun Kopit pergi. Seingat Kian, Dion ini juga teman sekelasnya, yang dulu duduk di depan bangku Kopit. Kian tak pernah bertemu lagi sejak SMA dulu. Pantas saja bila ia sedikit pangling. "Dion Prawiro?" Polisi itu tertawa lebar sambil mengangguk. "Gila! Gimana caranya lo bisa jadi polisi keren begini, Yon?" balas Kian sedikit meledek. Ia terkejut, seorang kacung Kopit bisa menjadi polisi. "Hahaha.. Bisa aja, lo!" "Dion!" Dari kejauhan, seorang polisi lain memanggil Dion. Dion membalasnya dengan acungan tangan yang membentuk 'OK'. "Gue boleh minta kontak lo?" tanya Dion sambil mengeluarkan ponselnya. Kian mengangguk. Mereka pun bertukar kontak sebelum akhirnya Dion pergi bersama temannya. *** Karena pulang lebih terlambat dari biasanya, Kian memutuskan untuk mampir sebentar di Teco Bar. Ia sedang malas untuk pulang, sehingga sekarang ia lebih memilih untuk duduk-duduk manis saja sambil menyeruput kopi susunya. Beberapa kali ia juga memandangi orang-orang yang berlalu lalang melewati jalanan di balik jendela Teco Bar. Ponsel Kian tiba-tiba berdering sekilas. Tanda sebuah pesan masuk melalui w******p. Nomornya juga tidak dikenali oleh Kian. Namun, setelah melihat fotonya, Kian tahu. Itu Dion Prawiro. Dion P: Hai Kian. Maaf gue bahkan belum sempat tanya kabar ke elo. So, apa kabar? Mau tak mau Kian tersenyum. Ia tidak tahu apakah Dion mengiriminya seperti ini karena sebagai teman lama yang sudah lama tak bertemu ataukah ada maksud lainnya. Tapi entah kenapa, Kian ingin membiarkannya saja. Lagipula, ia memang sedang tidak ada teman untuk berbalas pesan. Kian: Baik :) Dion P: Lo ngga tanya kabar gue? Kian: Sejauh yang gue lihat tadi, You're good. Dion P: Kalo ternyata gue nggak baik, gimana? Kian: Silahkan kembali ke IGD. hihi Dion P: Buat ketemu lo? Kian: Buat periksa lah. Dion P: Kalo gue pengennya ketemu elo? gimana? Kian: Ya udah, ketemu gue. Dion P: Kapan? Kian: Besok. Dion P: Pulang kerja mau gue jemput? Kian: loh, ini serius? Dion P: Ya iya.. Kian: Kirain bercanda. Dion P: Gue jemput? Kian: Gue bawa motor. Dion P: Makan malam? Kian: Jumat? Dion P: Okay. See you on Friday. Kian hanya mengulum senyumnya. Kemudian menyeruput lagi kopi s**u yang ternyata sudah dingin. Entah kenapa, hanya dengan berbalas pesan seperti ini tiba-tiba membuatnya bahagia. Dion Prawiro. Kian ingat sekali nama itu. Nama yang ada pada surat merah jambu yang ada di kolong mejanya, di hari kelulusan. [1] Anda bisa berbicara bahasa Inggris? [2] Tolong saya! [3] Bayi saya..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD