Chapter 5

1946 Words
Ares berdiri di dekat jendela ruangannya, menatap lalu-lalang kendaraan beserta manusianya di sekitaran rumah sakit. Matahari juga sudah bergeser ke sisi lain bumi, menerangi bagian lainnya. Sesekali ia mendesah, mengeluarkan napas panjang. Ia baru saja selesai melakukan dua operasi pada turis korban kecelakaan tadi. Rasanya lelah. Tapi entah kenapa dia belum ingin pulang. Kopi dingin yang tadi ia beli di kantin rumah sakit hanya berkurang sedikit. Beberapa kali ia goyang-goyangkan agar tidak mengendap di bawah, kemudian menyesapnya lagi sedikit sambil tetap melamun. Pikirannya melayang pada peristiwa hari ini. Seperti video yang diputar di dalam ingatannya. Tadi siang, ia kembali ke rumah sakit menggunakan mobil ambulans yang mengangkut jenazah sang supir. Memilih melupakan aplikasi jasa pemesanan ojek yang sudah susah payah ia install. Namun, ternyata ambulans langsung melaju menuju ke bagian forensik, membuat Ares harus berlari memutari rumah sakit agar sampai ke IGD. Ares tau dirinya adalah dokter, tapi dokter juga manusia. Salahkan dirinya yang memang jarang untuk berolahraga. Napasnya sesak karena sok-sokan berlari kencang. Kakinya sedikit gemetar ketika ia sampai di depan IGD. Sambil menyangga dirinya di depan pintu, Ares berusaha menetralkan napasnya yang satu-satu sambil sedikit membungkuk. Setelah reda, ia baru berjalan masuk. Diperhatikannya suasana IGD yang riuh rendah. Ramai. Beberapa korban yang memiliki luka kecil sudah hampir selesai dilayani oleh perawat-perawat yang bertugas. Karena merasa dirinya belum dibutuhkan, Ares masuk ke ruang periksa. Dilihatnya di salah satu bilik. Pasien yang tergeletak di atas brankar rumah sakit adalah wanita yang tadi ia lihat, masih dengan pria botak dengan luka tangan menganga yang masih menemani di sisinya. Ares memandang Framadi yang sepertinya sedang kesal. Ia sedikit terkejut ketika Framadi kemudian membentak Kian yang entah bagaimana bisa berada di sana, meminta Kian untuk membuat pria botak itu mau menerima pengobatan. Awalnya Ares bingung, kenapa Framadi harus meminta Kian melakukannya, tapi sesaat kemudian, Ares mengerti. Semua gerakan bagaikan slow motion ketika kian mengangguk, menuruti perintah Framadi. Kemudian mendengar suara Kian berbicara menggunakan bahasa Prancis, membuat Ares sedikit tertegun. Sepertinya bahasa Prancis karena Ares mendengar ada kata 'Monsieur' yang Kian ucapkan. Entah karena ekspresi pria botak yang sedikit terkejut karena diajak berbicara bahasa Prancis oleh Kian, atau karena ada hal lain yang mendukung suasana aneh ini. Cara Kian berbicara bahasa asing itu, bagaimana Ares bisa menjelaskannya? Tidak terdengar aneh. Semuanya terasa mengalir dan terasa pas saja di telinganya. Ares sendiri ikut terkejut mendengar Kian tiba-tiba berteriak saat pria botak itu menjadi melankolis kembali. Wanita itu hamil, membuat Ares harus perpikir dua kali untuk ikut melakukan tindakan. Nada dering ponsel Ares yang tiba-tiba berbunyi menyadarkannya dari lamunan, mengembalikan pikirannya ke waktu yang seharusnya. Ares berjalan ke meja kerjanya, mengambil ponselnya yang berdering di atas meja. Sita calling... Ares mendengus keras melihatnya. Dasar nenek lampir. *** Sejak kemarin malam, setelah ia pulang dari Teco Bar, mood Kian membaik. Semuanya terasa baik-baik saja, terlebih setelah berbalas pesan dengan Dion Prawiro, si penulis surat merah jambu yang dulu ia temukan di bawah kolong mejanya. Beberapa kali ia juga bersenandung, membuat Ana mengernyit kebingungan. Tapi itu semua hanya berlangsung, sebelum negara api menyerang. Sang ratu alias Kepala instalasi alias atasan Kian tiba-tiba memanggilnya ke ruangan. Awalnya Kian berpikir hanya ada masalah biasa yang sehari-harinya sudah ia hadapi dengan baik. Tapi ternyata, titah sang ratu ini hanya bisa membuat Kian menahan napas. "Saya barusan mendapat telepon dari atas, katanya kamu bisa komunikasi sama turis-turis itu? benar?" tanya sang ratu sedikit basa basi. Hal ini membuat Kian waspada karena apabila sudah basa-basi begini, pasti ada udang di dalam bakwan. Persis seperti saat membuat Kian menggantikan beliau ini presentasi beberapa hari lalu. "Benar, bu." Kian menjawab, kemudian menelan ludahnya. "Nah, saya mau menyampaikan, kamu diminta untuk menemani dokter Randi dan dokter Prakoso dari bagian Orthopedi visit pasien nanti. Kamu temui dokter Randi di bangsal jam dua siang, lalu ketemu dokter Prakoso setelahnya. Tunggu saja di pendaftaran bagian rawat inap, nanti." Sang Ratu masih menyampaikan pesan itu dengan senyum yang tidak luntur. Namun, Kian dapat merasakan bahwa senyum itu sama sekali tidak tulus, membuat tangan Kian berkeringat. "Satu lagi, ada dokter Kenares yang menunggu jam lima sore." Nama itu, yang terakhir. Aduh, nasib. "Atau kamu konfirmasi jadwalnya lagi ke sekretaris mereka lagi. Bisa dimengerti?" tanya sang ratu lagi. Kian mengangguk pasrah. "Iya, bu." Apa ia punya pilihan lain yang mungin terlewat? atau tidak mendengar? tidak ada? baik, terima kasih. Kian melangkah gontai, keluar dari ruangan. Tatapan bertanya-tanya dari teman-temannya langsung menyambutnya begitu Kian keluar ruangan, dijawab Kian hanya dengan gelengan dan senyum yang terpaksa sebelum kemudian melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti. Kian duduk di bangkunya sambil berdecak sebal. Rambut kemerahannya yang sudah mencuat kemana-mana gara-gara ia acak sendiri. Sabar. Tidak akan ada masalah. Semua akan baik-baik saja. Kian terus merapalnya dalam hati dan kembali menggeleng ketika Ana menanyakan hal yang mengganggu Kian. *** Jam belum menunjukkan pukul enam. Masih kurang lima menit lagi. Tapi Kian sudah ratusan kali melirik jam di tempat penerimaan pasien rawat inap. Entah kenapa perasaannya selalu tidak enak berurusan dengan dokter kenares-kenares ini. Membuat jantungnya selalu berdetak lebih kencang dan sakit perut. Kakinya menghentak-hentak tak sabar. Yuniar, sang petugas tempat penerimaan pasien rawat inap ini hanya mengulum senyum melihat Kian. Ia, sih, senang-senang saja Kian ada di sini. Hitung-hitung ada orang yang menemaninya shift sore begini. Lagipula, ia sudah lelah bertanya ada apa dengan Kian, yang hanya dijawab seadanya, kemudian mengalihkan pembicaraan yang akhirnya berhenti lima menit lalu. Pintu terbuka, menampilkan sosok Ares yang mengenakan jas putihnya, muncul dengan wajah sedikit memerah. Celana yang ia gunakan sedikit kusut di ujung dan bekas kerutan di balik lututnya. "Maaf, apa saya terlambat?" tanya Ares sambil membenarkan kerah kemejanya. "Tidak," jawab Kian singkat sambil berdiri. Sedikit kikuk karena sepertinya kalau diingat-ingat ini adalah pertama kalinya mereka berbicara dengan kondisi normal dan tanpa emosi. "Bisa kita mulai sekarang?" tanya Ares lagi, masih berada di depan pintu. Kian hanya menjawabnya dengan anggukan, kemudian keluar ruangan mengikuti Ares sambil tetap membaca mantra dalam hati. Semoga semuanya baik-baik saja. Dan sepertinya hal itu terbukti. Kian dengan lancar membantu Ares menjelaskan beberapa hal kepada pasien-pasien turis Ares, walaupun ternyata pasien yang dikunjungi Ares bukan hanya pasien turis, melainkan seluruh pasien yang ia tangani di bangsal bedah. Namun, yang membuat sedikit terkejut adalah sikap Ares. Wajah jutek yang selama ini Kian selalu lihat hampir tak pernah tampak saat di depan pasiennya. Sikapnya ramah sekali. Bahkan sesekali bercanda bersama beberapa pasien atau keluarganya. Benar-benar diluar bayangan Kian. Padahal, dengan selain dokter saja Kian yakin Ares tidak pernah mengobrol. Juga tatapan matanya merendahkan. Ya, bisa saja sih. Pasien kan yang membayar jasa mereka. "Sudah selesai?" tanya Kian saat ia mengikuti Ares berjalan menuju pintu lift lantai 5. Beberapa dokter koas dan perawat yang tadi mengikutinya sudah kembali ke ruang perawat dan dokter bangsal bedah. "Sudah." Ares menjawab singkat sambil terus berjalan. "Kenapa tidak bilang kalau pasien warga negara Prancis itu hanya 3 orang? Kan tadi saya bisa langsung pulang begitu pasien ketiga selesai!" tanya Kian lagi, sedikit emosi tentu saja. Ia sudah benar-benar lelah. Terlebih ia hanya bisa diam saja pada tiga pasien terakhir dan terjebak diantara petugas medis yang semua pakaiannya putih-putih kecuali dirinya. "Kamu tidak bertanya." Ares memencet tombol lift dan berdiri di depan pintunya. Kian tidak habis pikir. Kemana sikap ramahnya yang tadi Kian lihat? Padahal, ia yakin sekali tadi tidak berhalusinasi. Dasar, dokter arogan. "Masuk atau tidak?" tanya Ares yang sudah berdiri di dalam lift kosong. Kian yang tadinya tak sadar karena sibuk menggerutu, cepat-cepat ikut masuk. Daripada ia harus menunggu lagi, kan? Pintu lift tertutup, mengurung suasana canggung yang berputar di dalamnya. Kian bersandar di salah satu sisi, dan Ares berdiri di sisi lainnya. Keduanya sama-sama terdiam. Kian memainkan jarinya, tak tahan dengan suasana ini. Lift berhenti. Kian kira ia sudah sampai di lantai dua. Namun, ia tak yakin ketika tiba-tiba lampu di dalam lift padam. Kemudian menyala, dan padam lagi. "Ada apa ini?" tanya Kian panik karena tiba-tiba suasana menjadi gelap. Ia sudah akan mendekam di pojok lift ketika lampu menyala kembali walaupun lebih redup Ares yang juga terkejut berusaha bersikap tenang. Ia melirik Kian, yang sudah setengah berjongkok, meneruskan gerakannya. Area mendekat ke tombol dan menekan interphone yang menghubungkannya dengan teknisi rumah sakit. "Halo? Lift berhenti, pak. Bisa dengar saya?" Ares berbicara diujung interphone. Tapi tak ada suara balasan. "Nggak ada balasan, hanya bisa menunggu saja." "Kamu ngomong sama saya?" tanya Kian sok bingung. Sebenarnya ia sudah tau karena tak ada lagi orang selain dirinya, tapi Ares berbicara seolah-olah dengan tembok di depannya. Bukan dengannya. "Ck, sama lift," jawab Ares kesal. Akhirnya ia ikut-ikut duduk seperti Kian di pojok yang lain. "Habis kamu ngomongnya nggak lihat lawan bicara. Jangan salahkan saya." Kian memandang ekspresi Ares dari pantulan dinding lift. Lagi-lagi lift sunyi. Dan Kian membenci suasana ini. Kenapa juga ia harus terkurung di tempat seperti ini dengan orang seperti ini? Dokter pula. "Maaf." Kian membuka pembicaraan. Namun, diam sesaat. Jawab. Jawab. Jawab. "Maaf," ucap Kian sekali lagi, setidaknya ia bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri dan melepaskan suasana canggung ini. "Untuk?" "Untuk kecelakaan yang terjadi di tangga gedung, juga untuk kuah soto yang mengotori baju kamu—atau saya panggil anda? Saya rasa anda masih seumuran dengan saya?" Kian baru menyadari dari tadi ia meng-kamu-kamu-kan seorang dokter bedah. "Kamu oke. Saya nggak keberatan," jawab Ares. Ia menarik napas lalu mengembuskannya. "Saya juga minta maaf." "Untuk?" "Hal yang sama." Kian menjulurkan tangannya. Ia ingin bukti. Di saksikan para malaikat dan makhluk tak terlihat di lift ini. "Kita impas?" Ares melirik sebentar. Kemudian sedikit enggan membalas jabatan tangan Kian. Sesaat keduanya dilanda keheningan canggung yang tak tertahankan, membuat Rafka memutar otak untuk segera memecahkan keheningan itu. "Bahasa Perancis kamu bagus." Kian melirik pantulan wajah Ares di lift. Memastikan barusan Ares benar-benar bicara. "Terimakasih." "Kursus?" tanya Ares yang juga menatap Kian dari pantulan lift. "Otodidak." "Kenapa?" "Apanya?" "Kenapa belajar bahasa Perancis?" ulang Ares. "Mencicil mimpi." "Mimpi apa?" "Mimpi saya terlalu pasaran. Kalau saya bilang, saya yakin kamu akan tertawa," balas Kian sambil sedikit cemberut. Ia yakin dokter di depannya ini sudah kaya-raya dengan remunerasi ratusan juta dan berpikiran bahwa keliling luar negeri sudah seperti pergi ke kota sebelah. Melihat Ares seperti masih menunggu jawabannya, Kian melanjutkan. "Saya ingin keliling dunia sebelum menjadi sukarelawan di Afrika." Kian diam kemudian melirik Ares. Tak ada tanda-tanda pria itu tertawa. Kian pikir impiannya ini akan terlalu lucu untuk dimiliki wanita berumur sepertinya. "Kenapa Afrika?" Hal itu sedikit mengejutkan bagi Ares. Belum pernah ia bertemu dengan perempuan yang ingin menjadi relawan di Afrika. Perempuan di sekitarnya kebanyakan lebih memimpikan koleksi lengkap Louboutin atau Louis Vuitton mereka. Lihat saja Sita. "Hanya, beberapa kali melihat dokumenter tentang program relawan di Afrika." "Di Indonesia juga banyak yang membutuhkan relawan." "Saya belum pernah melihatnya. Tidak separah di Afrika menurut saya," jawab Kian sedikit asal. Kian tidak pernah kepikiran untuk melakukannya di Indonesia. Tak lama lift terasa bergoyang. Kemudian bergerak perlahan sebelum pintu lift di buka paksa oleh seorang teknisi rumah sakit. "Maaf menunggu lama, dok. Ada masalah sedikit pada jaringan listrik rumah sakit," lapor bapak-bapak kurus yang menggunakan rompi warna krem lusuh. "Anda berdua baik-baik saja?" Ares hanya mengangguk ketika hendak keluar dari lift. "Terimakasih ya, pak." Kian juga ikut berucap ketika hendak keluar. Di sambut anggukan dan senyum hangat dari si bapak kurus. "Saya antar kamu, saya yang membuat kamu pulang malam," putus Ares ketika hendak berpisah dengan Kian. "Saya dijemput adik saya," tolak Kian sopan. "Baiklah. Terserah saja kalau begitu." Ares pun akhirnya berlalu ke ruangannya. Kian pun memutuskan pergi, mengambil tas tangannya yang ia tinggalkan di meja kerjanya tadi. Beberapa kali ia mencoba menghubungi Adis agar mau menjemputnya. Adis: Maaf mbak, Adis lagi ngerjain laporan di rumah temen. Mbak naik ojek aja, ya? Kian hanya bisa menghela napas membacanya, kemudian menyesal ketika mobil Ares melaju pergi dengan kencang di depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD