Chapter 6

1615 Words
Matahari masih bersinar terik, padahal posisinya sudah bergeser menuju ufuk barat. Beberapa pegawai rumah sakit sudah siap siap untuk mengantri di depan mesin-mesin fingerprint yang terpasang. Sepuluh menit lagi waktu pulang memang akan tiba. Tapi tidak dengan Kian, ia masih harus berputar lagi di bangsal bedah orthopedi dan bedah umum. Dengan muka bertekuk karena lelah, ia berjalan menuju ruang penerimaan rawat inap. Tugasnya menjadi penerjemah masih belum selesai. Ia harus membantu dokter-dokter kunyuk itu memberi edukasi kepada keluarga pasien. Padahal ia masih punya janji karena menerima ajakan Dion untuk makan malam. Sepertinya, ia akan membatalkan rencana makan malam itu saja. Dirinya sudah benar-benar lelah. Juga PMS membuatnya semakin gila. Namun, kali ini ia tidak akan tertipu lagi. Ia sudah tahu ruangan mana saja tempat pasien-pasien itu dirawat. Kian sudah tidak mau lagi ikut berkeliling bersama dengan dokter-dokter itu. Entah yang tua, entah yang muda, sama-sama arogan dan memuakkan. Kian baru saja akan duduk di kursi tunggu ketika seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya. Kian mendongak, mendapati Leon berdiri di depannya sambil tersenyum. Tangannya yang luka sudah dijahit dan diperban dengan rapi. Jarum infus masih tertancap di tangan satunya yang memegangi tiang infus. "You, okay?" tanya Leon, memastikan sebelumnya bahwa Kian baik-baik saja. "Yah, aku akan bilang kalau aku baik-baik saja," jawab Kian sambil membalas senyumnya lelah. "Saya belum sempat mengucapkan terimakasih kepada kamu. Terimakasih, berkat kamu, istri dan calon anak saya selamat.” Kian mendengus. "Itu sudah menjadi tugas saya. Tidak perlu berterimakasih." "Bagimana kamu bisa belajar bahasa Prancis?" "Let's just say that I really want to go to France." Leon tertawa menggelegak mendengar jawaban Kian. Kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. "Just go there, and I'll pick you up." "It will be a promise." "Sure! Then, I have to go. Istriku menungguku." Leon kemudian pamit dan pergi. Kian hanya mengangguk-angguk saja. “Salam untuk istrimu.” Dari kejauhan, rombongan dokter baru saja berbelok memasuki lorong bangsal dan masuk ke beberapa ruangan pasien. Kian mendengus kesal melihatnya. Melihat mereka berjalan saja terlihat menyebalkan. Sampai mereka tiba di depan kamar Leon dan istrinya, Kian baru ikut berjalan masuk. "Saya mencari kamu di tempat pendaftaran rawat inap. Kenapa malah di sini?" tanya Ares ketika Kian berdiri di depannya, membuat Kian menoleh. "Menunggu anda," jawab Kian singkat. "Setelah ini tunggu saya sebentar, saya ingin bicara dengan kamu." Kian kembali menoleh. "Ada masalah?" "Tidak. Nanti saja kita bicarakan," putus Ares. Kemudian ia melangkah masuk mendahului Kian. Kian yang melihat hal itu memutar matanya jengah. Dia dokter, bukan penguasa. Kenapa seenak jidatnya membuat keputusan? Bagaimana jika ia sedang buru-buru? Janji makan malam dengan Dion mungkin? Itu fakta kan? Kian mendecih sebal, kemudian masuk ke ruangan untuk menunaikan tugasnya. *** "Kamu masih ingin jadi relawan?" Kian mengerutkan alis, heran mendengar Ares menanyakan perihal keinginannya kemarin. Mereka berdua sedang berdiri berhadapan di selasar rumah sakit. Dia pikir Ares hanya akan menganggapnya angin lalu. "Kalau kamu jadi relawan, rencananya kamu mengabdi jadi apa?" tanya Ares lagi tanpa menunggu jawaban Kian. "Ilmu apa yang akan kamu praktekkan?" "Kenapa?" tanya Kian tidak nyambung. Tapi sungguh ia tidak mengerti. "Dengan profesi kamu sekarang, apa yang bisa kamu terapkan? Kamu bisa pakai tensimeter?" Kian membuka mulutnya, hendak menjawab. Tapi urung karena ia sendiri jadi bingung. Kemudian Kian menyadari sesuatu. Sesuatu yang pasti membuatnya marah. Ares meremehkannya! "Kegiatan relawan nggak harus di bidang kesehatan." Kian menatap mata Ares dengan tajam. “Banyak hal lain yang bisa dilakukan!” "Memang, tapi pekerjaan kita ada di bidang kesehatan," balas Ares tak mau kalah, berusaha membuat Kian mengerti. "Tentu saja di situ kita bisa mengabdi." Kian sadar apa yang dikatakan Ares ada benarnya. Namun, ia tidak mau menyerah, gengsi dan harga dirinya tidak bisa menyerah begitu saja. Dan sedetik kemudian, matanya sudah berkaca-kaca karena marah. "Jangan merendahkan profesi saya!" "No, I'm not!" "But you're mean!" "I'm not mean. Saya hanya ingin kamu ikut saya, untuk membuktikan ucapan kamu waktu itu. Saya..." Ares balas menatap Kian dengan geram. Ia tidak habis pikir, wanita di depannya ini bisa benar-benar membuatnya jengkel sendiri. "Then I'll prove! Puas!?" Kian kemudian langsung berjalan meninggalkan Ares yang menatapnya sebal. Kian hanya dapat berharap Ares tidak melihat air matanya yang hampir terjatuh dan langsung diusapnya dengan tangan. Dasar PMS s****n. "Temui saya besok, setelah saya selesai operasi!" Kian tetap berjalan, tidak mempedulikan teriakan Ares yang menggema di sepanjang selasar. Selama berjalan, Kian jadi berpikir ulang. Apakah barusan perbuatannya keterlaluan? Sepertinya ia sedikit lebay, pakai acara menangis segala. Duh, memalukan. Dasar hormon wanita. Kian berjalan dengan kesal. Namun, ketika hampir sampai di tempat parkir motor, tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam berhenti di dekatnya, membuatnya hampir mengumpat. Untung saja ia melihat wajah Dion yang tersenyum lebar lebih cepat. "Hai? Kaget, ya?" Dion tetap tersenyum sambil menatap Kian geli. "Nggak lupa kan punya janji makan sama gue?" Kian balas tertawa. "Gue lebih ingat kalau kita janjian di tempat makan, bukan di sini." "Cepat masuk!" Mau tak mau Kian masuk ke kursi penumpang di sebelah supir. Setelah memastikan Kian memasang sabuk pengaman, Dion memacu mobilnya pergi meninggalkan rumah sakit. "Ehm..." Kian pura-pura membersihkan tenggorokannya. Dion tak mengajaknya bicara atau melakukan apapun untuk memecah keheningan. Hal itu membuat Kian risih. "Kita mau makan di mana?" "Nanti pasti juga tahu," jawab Dion sambil mengulum senyum. Matanya tetap fokus memandang jalanan. "Hmm..." Kian memainkan jari tangannya, bingung ingin melakukan hal apa lagi. Akhirnya ia memilih satu-satunya pilihan terbaik yang melintas di kepalanya. "Boleh gue muter radio?" "Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, Kian. Mau nyanyi juga boleh," jawab Dion sambil menahan tawa, tetapi masih fokus menyetir. "Apasih..." Kian tersipu. Ia pun menyalakan radio dan memilih untuk diam mendengarkannya selama perjalanan. Ia benci keheningan, tapi ia tidak punya bahan pembicaraan yang bisa ia obrolkan dengan Dion. "Kita makan seafood, ya? Dari kemarin kepengen banget." Dion membawanya ke sebuah warung seafood yang lumayan ramai. Mobilnya diparkir di sisi jalan di dekat warung. Ia melepas sabuk pengamannya, kemudian membuka pintu dan melangkah keluar. "Yuk?" Kian tertawa kecil kemudian mengangguk, dan mengikuti Dion berjalan menuju warung. "Mas, kerang goreng mentega, udang saus padang, sama cumi goreng tepung. Nasinya dua, ya?" teriak Dion pada si penjual yang dibalas acungan jempol. "Sering ke sini?" tanya Kian ketika melihat Dion langsung memesan tanpa melihat buku menu. "Yah, lumayan lah," balas Dion sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Lo harus nyobain semua nanti, itu semua jadi menu favorit di sini, lho!" Kian hanya mengangguk-angguk, kemudian mengikuti Dion untuk mencari tempat duduk di salah satu meja yang kosong. "Jadi, apa kabar?" tanya Dion setelah ia duduk nyaman di kursi. "Baik, elo?" tanya Kian kembali sambil mengulum senyum. "Kita bener-bener kaya anak SD." Dion tertawa kencang. Seluruh tenda meliriknya, tapi kemudian kembali lagi dengan kegiatan mereka. "Baik juga," balas Dion sambil menyusut air matanya. *** Di sisi lain, Ares kesal sendiri. Padahal ia bermaksud untuk menanyai Kian dengan baik-baik, tidak punya maksud lain. Setelah mengobrol dengan Kian kemarin, Ares ingat tentang Ayo Sekolah, yayasan yang ia dirikan bersama Yudis, Mahira, dan salah satu teman SMA-nya. Dulu, ia sering berada di sana untuk mengadakan pengobatan gratis. Namun, karena harus residensi di luar kota, Ares tidak pernah kembali berkunjung. Ia berniat untuk menawari Kian menjadi relawan di Ayo Sekolah. Tapi, malah terjadi salah paham. Ia jadi merasa bersalah, terlebih ketika mata Kian yang berkaca-kaca menatapnya tajam. Ares mengembuskan napasnya berat. Ia memutuskan untuk langsung kembali ke apartemennya. Ia masih harus kembali ke sini besok pagi karena ada jadwal operasi. *** "Thanks, udah temenin gue makan. Gue seneng ketemu lo lagi." Dion memberhentikan mobilnya di depan kontrakan Kian. Kian melepas sabuk pengamannya sambil tersenyum. "Gue juga. Thanks juga traktirannya. Tadi enak banget." Kian membuka pintu mobil, kemudian melangkah keluar. "Night, Yon." "Night." Dion balas tersenyum. Kemudian ia melajukan mobilnya meninggalkan kontrakan Kian sebelum menghilang di tikungan. Kian mendesah panjang. Entah kenapa beberapa saat yang lalu kepalanya mendadak pusing, sama seperti dua hari kemarin. Namun, rasanya hari ini lebih parah. Cepat-cepat ia berpegangan pada pagar dan berjalan masuk ke rumah. Setelah melepas sepatu dan meletakkan tasnya, Kian langsung mencuci muka. Ia memutuskan untuk langsung tidur saja. Mungkin ia terlalu memaksakan tubuhnya untuk bekerja akhir-akhir ini, makanya ia bisa tumbang seperti ini. Ia berusaha memejamkan mata setelah meminum sebutir tablet untuk sakit kepala. Entah berapa jam Kian berusaha tidur, tetapi akhirnya ia bangun juga. Rasa mual menghantamnya hingga membuatnya berkeringat dingin. "Adis... Dis..." Kian menelan ludahnya dan mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Tak ada yang menyahuti gumamannya. Kian baru ingat bahwa adiknya itu kemarin pulang ke rumah seperti biasa. Mau tak mau membuatnya merangkak sendiri ke kamar mandi dan memuntahkan apa yang dimakannya semalam. Rasa pahit menjalar di lidah dan tenggorokannya, tapi bahkan ia tak mampu untuk mengambil minum di dapur. Tubuhnya terasa lemas, tangan dan kakinya gemetar. Kian hanya terduduk di samping tempat tidur sambil menyandarkan kepalanya pada kasur. Perutnya masih mual, tapi ia berusaha memejamkan mata. Entah berapa lama ia tertidur lagi, badannya terasa panas namun menggigil kedinginan. Rasa mual yang tadinya reda muncul kembali, membuatnya mengulangi hal yang sama. Setelah muntah dan merangkak-rangkak selama tiga kali, Kian hanya berbaring di dekat pintu kamar mandinya. Kepalanya terasa berputar. Tubuhnya terasa lemah. Apakah ia akan mati dengan cara seperti ini? Sendiri di kamar kontrakannya? Dan baru akan ditemukan hari senin dengan kondisi yang mengerikan oleh adiknya? Ah, kenapa caranya mengenaskan sekali. Kian mulai menangis dalam diam. Ia bahkan terlalu lelah untuk terisak. Tapi kalau ia sembuh, sepertinya menangis seperti ini akan membuatnya menyesal karena malu telah membayangkan hal yang tidak-tidak. Sebentar, tapi bagaimana jika hal yang ditakutkannya itu benar-benar terjadi? Samar-samar didengarnya bunyi ponsel dari atas nakas. Bodoh, bahkan ia tidak berpikir untuk menelepon ambulans. Napasnya mulai sesak. Diambilnya ponsel di atas nakas dengan merangkak. Ia langsung mengangkat panggilan masuk itu tanpa melihat siapa. "Halo, apakah benar ini..." "Tolong..." bisik Kian lemah. "Apa?" "Tolong..." Gelap. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD