Chapter 7 - 1

1357 Words
"Maaf mbak, punya nomor telepon Kiany?" Tiga puluh menit yang lalu, ia baru saja keluar dari ruang operasi. Ares memutuskan untuk menghampiri petugas TPP rawat inap yang bertugas pagi itu karena Kian tidak kunjung datang menemuinya. "Mbak Kiany yang petugas rekam medis pusat, dok?" tanya petugas itu, untuk sekadar memastikan. "Ada Kiany yang lain?" tanya Ares. Ia tidak tahu banyak mengenai pegawai-pegawai di sini. Toh, ia tidak akan langsung berhubungan dengan mereka. "Tidak ada, sih." Petugas itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pipinya bersemu malu. Siapa yang tidak malu bila pagi-pagi telah berbuat bodoh di depan dokter ganteng yang sedang jadi bahan pembicaraan lebih dari separuh pegawai wanita di rumah sakit ini? "Saya ada perlu, bisa minta nomornya?" tanya Ares sekali lagi pada petugas wanita yang malah melamun di depannya. "Oh, i... iya. Bisa, dok." Ares memasukkan nomor yang diberikan petugas itu ke dalam ponselnya. Ia kemudian berlalu setelah mengucapkan terimakasih. Tanpa menunggu apa-apa, ia langsung menyentuh tombol call-nya. Tiga kali ia mencoba menelepon, tapi tidak ada yang mengangkat. Apa mungkin belum bangun? Tapi ini memang terlalu pagi untuk menelepon orang lain di hari libur, sih. Baru saja Ares akan memutuskan sambungan, tetapi tiba-tiba terdengar telepon diangkat. "Halo, apakah benar ini..." "Tolong..." Ares sedikit terkejut, teleponnya diangkat suara wanita yang terdengar lemah. Ia memastikan lagi bahwa teleponnya tersambung. Atau mungkin ia salah dengar? "Tolong..." suara itu terdengar lagi. Tidak, Ares tidak salah. "Halo? Kiany? Kamu baik-baik saja?" "Halo?" Ares lagi-lagi melihat ponselnya. Masih tersambung, tapi tak ada suara. Ares memutuskan sambungannya dan berlari menuju TPP kembali, menemukan petugas yang tadi ia tanyai masih duduk di depan komputer kerjanya. “Tadi benar-benar nomor telepon Kiany?” tanya Ares yang langsung disambut anggukan bingung oleh petugas tersebut. "Kamu tau Kiany ada di mana?" tanya Ares lagi dengan sedikit tidak sabar. "Hari sabtu orang kantor libur, dok. Mungkin dia di rumah." "Tahu alamat rumahnya?" "Kalau itu, saya sih kurang tau, dok. Kalau boleh tahu, ada apa ya?" tanya petugas wanita itu ingin tahu. Mungkin saja pagi-pagi begini ia sudah dapat hot gossip. "Terimakasih." Ares berlalu begitu saja. Tidak mungkin juga ia bertanya pada bagian kepegawaian. Hari ini kantor libur. "Dokter!" Panggil petugas itu lagi, membuat Ares menoleh. "Ini saya telepon temannya!" Ares kembali, menunggu petugas itu selesai menelepon. "Jalan Kenari II nomor C-3, daerah Karangkuning." Ares mengangguk, kemudian bergegas menuju mobilnya di parkiran rumah sakit. Entah kenapa perasaannya tidak enak sekali. Ares mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh GPS di mobilnya. Tak lama ia tiba di sebuah rumah kecil berwarna putih dengan tulisan angka C-3 di dindingnya. Lampunya masih menyala. Menandakan masih ada orang di dalamnya. Mungkin. Setidaknya itu yang Ares harapkan. Ares mengetuk pintu hitam di depannya sambil memanggil nama Kian. Namun, tak ada jawaban. Beberapa kali hal itu ia ulang, namun hasilnya masih sama. Ia mencoba langsung membuka pintu. Tidak dikunci. Ares langsung masuk ke dalam rumah. Mencari-cari di setiap ruangan. Dapur dan ruang tamu kosong. Dibukanya pintu kamar terdekat. Ia menemukan tubuh Kian meringkuk lemah di lantai, di samping kasurnya. Hal itu membuat Ares panik. Ia mendekati Kian, mengubah posisinya menjadi telentang. Wajahnya pucat. Ada bekas muntahan mengering di bibirnya. "Kiany!" panggil Ares sambil menepuk-nepuk pipi Kian, kemudian menekan ujung kukunya. Kian membuat Ares takut karena responnya tak seperti yang Ares harapkan. Ia mendekatkan pipinya ke mulut Kian. Napasnya tidak beraturan dan bersuara. Nadinya masih berdenyut, membuat Ares sedikit lega. Ia langsung membopong Kian ke dalam mobilnya. "Saya titip rumahnya, pak," kata Ares kepada tetangga Kian yang sedang menyapu halaman. Kemudian langsung pergi begitu saja. Ia terlalu panik untuk sekadar mengunci pintu rumah. Dengan cekatan, Ares melakukan panggilan melalui monitor di dasbor mobilnya. "Pram, dimana?" kata Ares cepat begitu Framadi mengangkat panggilan darinya. "Nunggu jam shift gue selesai, terus cabut. Ken..." "Jangan pergi dulu, gue nyampe IGD 10 menit lagi," potong Ares cepat sebelum Framadi melanjutkan pertanyaannya. "Lo sakit?" tanya Framadi dengan suara bingung. "Kiany yang sakit! Siapin dulu aja semuanya. Lima belas menit lagi akan sampai." "Kian..." Ares memutuskan panggilan secara sepihak dan fokus menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. Satu tangannya menyetir, satu lagi berusaha memegang kepala Kian agar tidak terantuk pinggiran mobil. Tiba di depan IGD, Ares melompat turun. Framadi menunggu di depan pintu dengan brankar dan seorang perawat di sampingnya. Ares membuka pintu mobil dan mengangkat Kian, membaringkannya di atas brankar yang langsung di bawa masuk oleh perawat. "Bagaimana bisa?" tanya Framadi. "Nanti aja tanya, gue capek," balas Ares sambil mengusir Framadi. Ia menyerahkan kunci mobilnya pada satpam, lalu duduk di kursi tunggu untuk beristirahat. Kian berhasil membuat tubuh dan jantungnya olahraga pagi-pagi begini. Bahkan setelah operasi enam jam yang tadi ia lakukan. *** "Rawat inap aja deh. Kondisinya nggak bagus." Framadi baru saja keluar dari ruang periksa. Ia mengalungkan stetoskopnya di leher. "Untung cepet dibawa ke sini." "Kenapa jadinya?" tanya Ares ingin tahu. "Saluran pernapasannya menyempit. Dehidrasi berat setelah muntah. Kayaknya salah makan. Lo tau semalem dia makan apa?" tanya Framadi sambil memandang Ares curiga. "Nggak, lah!" "Ya udah, nggak usah ngotot juga." Framadi bersungut-sungut. “Lo yakin cuma alergi makanan?” “Gue nggak bisa bilang apa-apa sebelum tes darahnya keluar.” Ares meninggalkan Framadi untuk melihat kondisi Kian sebentar. Ia kemudian pergi untuk mengurus urusan administrasi agar Kian dapat segera dipindahkan ke ruangan rawat inap. Getaran brankar yang berjalan, perlahan membangunkan Kian. Tubuhnya berguncang-guncang sedikit. Ia membuka matanya perlahan. Dilihatnya seorang pria berjalan di sebelahnya, ikut mendorong brankarnya. Apa itu malaikat? Benarkah ia sudah mati? Kian mengerjapkan matanya lagi. Malaikat itu memandangnya, sedikit terkejut. "Kamu sudah sadar?" tanya malaikat itu. Tapi, tidak, Kian mengenal wajah itu. "Kiany?" Dia belum mati. Kian belum mati. "Haus..." Kian berkata lirih. Tenggorokannya terasa kering. Hidungnya dipasangi selang oksigen, terasa seperti ditiup angin dingin. Ia ingat sekarang, semalam ia muntah sampai ingin mati. Kepalanya masih terasa berputar, tapi tidak parah seperti semalam. "Saya beli air dulu." Ares meninggalkan Kian untuk membeli air mineral di minimarket rumah sakit. Kian memasuki kamar. Tubuhnya diangkat dan kemudian dipindahkan ke tempat tidur bangsal yang lebih empuk dari brankar. Ia melihat sekelilingnya. Kamar kelas I. Alamat tabugannya akan terkuras lagi. Bodoh. "Kamu baik-baik saja?" Ares yang baru saja datang menyodorkan sebotol air mineral. Dengan baik hati, ia telah membukanya dan memberinya sedotan. Kian mengangguk sambil meminum air itu. "Slowly," gumam Ares. Kian dengan patuh menurutinya. "Bagaimana saya bisa di sini?" "Saya menemukan kamu pingsan di kamar kamu." Ares menutup botol minum itu dan meletakkannya di nakas. "Bagaimana bisa?" "Saya menelepon kamu karena perjanjian kita kemarin." Kian mengangguk-angguk. Ia sekarang bisa menyimpulkan sendiri kalau telepon yang berbunyi tadi adalah telepon dari Ares. "Kamu membuat saya ketakutan pagi-pagi," desah Ares. Ia menarik kursi yang ada di sebelah nakas kemudian menyandarkan punggungnya. "Maaf, juga terimakasih. Saya pikir saya akan mati," balas Kian pada Ares dengan mata terpejam. Ares hanya mengangguk. "Setelah ini kamu harus balas budi pada saya." "Tubuh saya masih lemah." Ares memicingkan matanya ketika mendengar jawaban bodoh itu. Menyadari bahwa Kian pura-pura, ia jadi tertawa. Framadi yang tiba-tiba masuk ruangan tentu terkejut melihat Ares tertawa bersama Kian. Ia mengurungkan niatnya untuk langsung bertanya dan kembali pada tujuan utamanya datang ke sini. "Jadi, elo makan apa semalem?" tanya Framadi pada Kian. "Seafood?" "Kalau begitu bener dugaan gue. Alergi. Untung Ares cepet bawa lo ke sini. Kalau enggak... " Framadi menggoreskan ujung-ujung kukunya ke lehernya, sok dramatis. "Saya nggak pernah alergi seafood sebelumnya," bela Kian. Ia bahkan pernah berebutan tiga ekor kepiting bakau dengan adiknya saat berkunjung ke rumah pamannya. “Lo yakin?” tanya Ares memicing, ia tetap merasa ada sesuatu yang salah. Menurutnya itu bukan alergi. Tapi melihat Framadi menganggguk dengan yakin, Ares jadi diam saja. "Well, kondisi manusia bisa berubah-ubah." Framadi menggosok-gosok dagunya yang mulai kasar. Ia kemudian berjalan menuju ranjang rumah sakit kosong di sisi yang lain. Merebahkan tubuhnya di atas lapisan plastik yang melapisi tempat tidur itu. "Ngapain, lo!?" tanya Ares sebal. "Tidur." Framadi menjawab seperlunya. "Udah nggak kuat nyetir." Ares hanya mendesah. Kemudian menatap Kian yang ternyata juga sudah memejamkan mata. Karena bingung mau melakukan apa, Ares mulai memainkan ponselnya. "Jangan berisik. Kepala saya pusing. Pulang saja, tidak apa-apa," gumam Kian saat mendengar suara pedang berdesing dari ponsel Ares. Ares mendecih, kemudian memutuskan untuk membeli e-book dan membacanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD