Chapter 7 - 2

2108 Words
"MBAK!!" Terdengar suara pintu terbuka dengan kencang, memperlihatkan seorang remaja laki-laki berdiri di depan pintu. Napasnya putus-putus seperti habis berlari. Tidak tahu kapan Ares tertidur, yang jelas teriakan laki-laki itu membangunkannya. Ares melirik Kian dan Framadi, keduanya masih lelap seperti orang mati. "Kamu siapa?" tanya Ares. "Seharusnya gue yang tanya gitu." Pria muda itu bersungut-sungut. Ia berjalan menghampiri Kian. Kian terbangun, terkejut melihat adiknya sudah berdiri di depannya. Menatapnya dengan marah. "Kamu kenapa di sini?" tanya Kian pelan. "Seharusnya Adis yang tanya, kenapa mbak di sini? Kenapa nggak nelpon Adis sih mbak kalo mbak sakit? Adis panik, tadi pagi Pak Topo bilang kalau mbak nggak sadar, dibawa ke rumah sakit sama orang." "Berisik. Mbak nggak papa. Jangan teriak-teriak, bikin pusing," jawab Kian sambil memejamkan matanya lagi. "Biarin mbak kamu istirahat dulu. Saya yang bawa dia ke sini. Mungkin keracunan atau bisa jadi tipes, besok kita tes darah lagi." Ares mengulangi perkataan Framadi walaupun tidak terlalu yakin. Adis terdiam, kemudian mengembuskan napasnya keras-keras. "Terima kasih." Ares hanya mengangguk. Ia kemudian undur diri, tentu dengan menyeret Framadi pergi dalam keadaan setengah sadar seperti pasien yang di suntik anestesi. Tak lama, suara cempreng yang Kian hafal di luar kepala memenuhi ruangannya. Ana datang bersama kekasihnya tercinta. Katanya, Kian membuatnya panik dan merusak acara kencannya di hari sabtu yang cerah. Kian hanya bisa memejamkan matanya kembali. Kepalanya terasa berputar. Ia berharap memiliki remote dan menekan tombol mute. *** Kian membuka matanya perlahan. Tangannya terasa sedikit nyeri akibat tertusuk jarum infus. Dilihatnya ada bekas darah yang keluar di dalam selang infusnya. Mungkin karena terlalu banyak bergerak. Kian tak tahu alasan pastinya. Ia memperhatikan sekitarnya. Sinar matahari menembus gorden jendela samar, pertanda pagi telah datang. Ruangannya sepi. Tak ada orang lagi di kamarnya. Tapi pintu kamar tiba-tiba saja terbuka, membuat Kian berjengit kaget. Adis berdiri dengan tampang kusut di baliknya. Mukanya tertekuk, terlihat sekali sedang kesal. "Kenapa?" Tanya Kian kepada adiknya. "Nggak papa sih, mbak. Biasa temen kampus," jawab Adis. Ia duduk kembali di kursi sebelah ranjang. "Ada masalah?" tanya Kian lagi. Kian tahu sekali adiknya adalah mahasiswa aktif di kampus. "Nggak ada." "Kamu tumben banget sih, bohong segala sama mbak. Biasanya juga langsung nyablak." Adis mendelik. Kemudian berdecak semakin kesal. "Mereka tuh mbak, Adis udah bilang lagi jaga mbak di rumah sakit, tapi maksa Adis untuk tetap datang." "Libur-libur begini?" Adis mengangguk. "Mereka maksa kamu pasti ada alasannya, dong," bujuk Kian lagi. Ia tahu adiknya ini tidak pintar menyimpan rahasia darinya. "Mereka mau nyalonin Adis jadi ketua BEM Fakultas," jawab Adis pasrah. Ia langsung disambut pukulan keras di lengan kanannya. "Ah! Sakit, mbak!" "Kamu, tuh! Di kasih kesempatan emas malah diem di sini. Pergi, kamu!" usir Kian. "Tapi terus siapa yang nungguin mbak?" tanya Adis merasa bersalah. "Kamu pikir mbak ini balita?" "Ini lebih ngrepotin dari balita, malah. Kalo mbak balita mah, Adis bisa bawa ke kampus." Kian udah siap mengangkat tangannya, hendak memukul lengan Adis, tapi dengan cepat Adis menghindar cengengesan. "Dasar, bocah tidak tau diuntung," geram Kian. "Ah, tapi kan mbak sayang." Adis mengambil jaket dan kunci motornya. Kemudian mendekat, mencium tangan dan pipi Kian. "Adis pergi mbak." "Hati-hati." Sepeninggal Adis, Kian terdiam kembali. Ia bingung harus melakukan apa. Padahal kalau minggu pagi, biasanya ia akan tidur hingga pukul sembilan. Tapi, entah kenapa rumah sakit membuatnya tak nyaman. Ini masih pukul delapan, tapi matanya tidak mau terpejam. Ia menempelkan telapak tangan ke dahinya, kemudian pipi, dan punggung tangan. Sepertinya suhu tubuhnya sudah turun. Kepalanya juga sudah tidak terlalu pusing walaupun masih ada rasa mual. Kian memencet tombol emergency di sampingnya. Malas keluar kamar untuk mencari perawat. Biar saja perawat-perawat itu datang ke kamarnya. "Ada yang bisa dibantu, mbak Kian?" Seorang perawat datang tak lama kemudian. "Kapan saya boleh pulang?" Perawat itu mendekat sambil tertawa hangat. Ia kemudian mengecek infus di tangan Kian. "Tunggu dokternya dulu ya, mbak. Senin dokternya baru visite," jawab perawat tersebut ramah. "Saya mau pulang paksa saja kalau begitu," jawab Kian. "Saya sudah sembuh ini." "Mbak Kian..." "Siapa yang bilang kamu sudah sembuh?" Ares tiba-tiba muncul di ambang pintu. Ia tak sengaja mendengar permintaan konyol Kian. Kian berdecak sebal ketika melihat Ares berdiri di sana dengan melipat tangannya di depan d**a. Sombong sekali. "Badan saya sudah tidak panas, kepala saya juga sudah tidak terlalu pusing. See? Saya sudah pulih," jawab Kian Acuh. "Ck, justru itu." Ares kemudian mengabaikan Kian dan beralih berbicara pada perawat yang masih berdiri di sebelah Kian. "Saya lihat hasil labnya sudah keluar. Dokter yang bertanggung jawab siapa?" "Dokter Melinda, dok." "Dokter jaga ada?" tanya Ares lagi untuk memastikan. "Ada, dok." "Minta untuk menghubungi dokter Melinda. Hasil lab ada salmonela, pasien pasti sudah merasa sakit sebelumnya, tapi tidak memberikan perawatan yang seharusnya sejak awal. Konfirmasi juga mengenai antibiotiknya. Kalau benar suhu tubuhnya menurun, akan berbahaya." Ares mengangguk, meminta perawat untuk melaksanakan instruksinya. "Saya heran kamu bisa menahan sakit beberapa lama." Ares menatap Kian. Yang ditatap hanya bingung, kemudian salah tingkah. "Engg... saya..." "Beberapa hari ini sudah demam kan?" Kian mengangguk. "Tapi naik turun, jadi saya pikir hanya kelelahan." "..." "Karena siapa juga gue jadi kelelahan begini." Kian menggerutu pelan, merasa harus ada orang lain yang juga harus ikut disalahkan. "Kamu menyalahkan saya?" Ares memicingkan matanya, curiga. Walaupun pelan, tapi telinganya ini masih berfungsi dengan baik. "Saya tidak bilang kalau itu kamu," balas Kian. "Tapi baguslah kalau sadar." "Apa?" Ares membelalakkan matanya tidak percaya. "Saya hanya..." "Permisi." Seorang residen masuk sambil membawa ponselnya diikuti dengan seorang perawat, membatalkan niat Ares untuk membela diri. Mereka menghampiri ranjang Kian dan mulai memeriksa tubuhnya. "Tidak keluar?" tanya Kian ketika melihat Ares masih berdiri di tempatnya. "Saya dokter," sahut Ares datar, membuat Kian mendengus kesal. Selama masa pemeriksaan itu, Ares mengawasi pekerjaan juniornya. Bisa saja terjadi kesalahan atau ada hal lain yang terlupa. Tidak tahu bahwa tangan juniornya tersebut sudah basah oleh keringat dingin. Tak lama, residen dan perawat tersebut undur diri dari ruangan Kian. Ruangan kembali hening, membuat Kian tak nyaman. ia akhirnya memilih untuk membuka suara terlebih dahulu. "Ada perlu apa kesini?" Ares menaikkan alisnya sedikit. "Saya hanya membuktikan dugaan saya mengenai penyakit kamu." "Sekarang sudah dapat membuktikan?" "Sudah. Benar-benar salmonella typhy." "Lalu?" "Tidak ada lalu. Saya akan kembali menemui kamu untuk menjelaskan proyek saya di kampung nelayan. Tapi, hmm, mungkin nanti setelah kamu sembuh." Ares menggaruk pelispisnya yang tiba-tiba gatal. Kemudian ia terdiam sebentar, menimbang-nimbang akan pergi atau bertahan di sini. Ia melihat jam tangannya. Masih jam sembilan lebih sedikit dan ia tidak punya janji hingga pukul satu nanti. "Tunggu." Suara Kian mengalihkan Ares dari pikirannya sendiri. "Ya?" "Bantu saya ke turun dari sini dulu, baru pergi." Selama Ares berpikir, Kian juga ikut berpikir apakah sebaiknya ia meminta tolong pada Ares atau tidak. Tiang infus di kamarnya ini tergabung langsung dengan tempat tidur, membuatnya tidak leluasa untuk menggantungnya ketika hendak buang air. Ego tetap tak bisa menahan hasratnya untuk ke kamar mandi. Ares berjalan mendekati Kian yang berusaha melepaskan botol infusnya dari tiang. Kemudian ia mengambil alih botol itu, membawanya dan membantu menurunkan Kian dari ranjangnya dengan tangan lainnya yang terbebas. "Berhenti di depan pintu, jangan mengintip." Ares berdecak pelan. Tapi menurut saja dengan kata-kata Kian. Melihatpun sepertinya tidak akan tertarik sama sekali. Cukup lama Ares berdiri. Seharusnya Kian sudah keluar dari kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka, membuat Ares terkejut. Bukan, bukan karena pintunya. Tapi apa yang ada di baliknya. Rambut kemerahan Kian yang biasanya mengembang, kini mengempis disiram air. Semua rambutnya berada di depan, dan tubuhnya sedikit membungkuk menghindari aliran air ke bajunya. "Saya menemukan paku. Saya bisa menggantungnya," ucap Kian sambil tetap menunduk. Terlalu lama berada di posisi itu membuatnya pusing. Tangannya memegang erat pegangan pintu kamar mandi. "What are you doing?" geram Ares tidak habis pikir. Dia pikir wanita di depannya ini cukup cerdas, tapi dengan keadaan seperti ini mengingatkannya pada gadis yang rambutnya tersangkut di celananya ketika pesta. Ridiculous. "Kepala saya gatal. Tenang, saya bisa melakukannya sendiri." Ares berdecak kembali mendengar perkataan Kian. Kemudian ia melirik buku-buku jari Kian yang mulai memutih karena memegang gagang pintu sangat erat. Dengan sekali sentakan yang tidak terlalu keras, Ares melepaskan tangan itu kemudian menggiring Kian dengan paksa di dudukan toilet. "Apa..." "Diam. Pegangan pada bak mandi," ucap Ares setengah memerintah. Kian benar-benar membuatnya geram. Untuk kesekian kalinya sepertinya. Mendengar nada yang sedikit tidak bersahabat, Kian menurut saja. Kepalanya bisa semakin pusing bila ikut menjawab dan mendebat Ares. Ares memegang dahi Kian yang kembali menghangat. Ia kemudian menyalakan shower dan mengatur suhunya agar pas sebelum mengguyurkannya ke kepala Kian. Ares mengambil shampo dan memulai ritual mencuci rambut merah Kian. "Rambut kamu asli?" Bibir Ares gatal untuk tidak bertanya. Ia pikir Kian mengecat rambutnya di salon-salon. Namun, setelah melihatnya lebih dekat--terlebih menyentuhnya--, tidak tampak seperti rambut teman-temannya yang berwarna-warni dulu. "Hmm..." gumam Kian menjawab Ares. Antara bosan selalu menjawab pertanyaan yang sering ditanyakan orang lain dan pusing. Ares akhirnya ikut diam, berusaha mempercepat mencuci rambut Kian dengan shampo. Dengan cepat pula ia membilasnya dengan air dari shower. Tiba-tiba Ares terkesiap kaget. Ketika hendak mengambil handuk, dilihatnya beberapa kepala muncul di balik pintu kamar mandi yang memang setengah terbuka. Ia mengenali dua orang diantaranya adalah teman Kian dan petugas di pendaftaran rawat inap. Ares berdecak pelan. "Ehm..." Ana mengawali semuanya dengan dehaman yang dilakukannya dengan sengaja. Ares pura-pura tak peduli, mengambil handuk dan berusaha membungkus rambut Kian dengan handuk. Tapi, wanita-wanita itu, seperti di televisi... "Bagaimana melakukannya?" Ana yang awalnya bingung, akhirnya melangkah masuk ketika mengerti. Kian mendongak, menyadari ada orang lain selain dirinya dan Ares. Ada Ana, dan teman-temannya yang lain yang menatapnya dengan pandangan aneh. Dilihatnya Ares masih berdiri di sampingnya. "Lebih baik ganti dulu saja bajunya. Ada yang basah. Saya keluar dulu." Ares kemudian berjalan keluar kamar mandi, menyapa beberapa orang diluarnya dengan anggukan dan sedikit senyum. Setelah itu menutup pintu kamar mandi. "Eh, dokter. Kok disini, dok?" tanya Yuniar, petugas rawat inap yang kemarin Kian tanyai. "Saya hanya sedang menjenguk." Kemudian Ares pura-pura melihat jam tangannya. "Saya ada janji, jadi saya permisi dulu." Sepeninggal Ares, kehebohan langsung melanda kamar Kian. "Astaghfirullaaah, senyumnya bikin dosaaa!!" "Ganteng bangeet!" "Mimpi apa gue hari ini??" "Aaaaaakkkk!!" Mereka semua berteriak bersamaan. Kian yang keluar dari kamar mandi benar-benar tidak habis pikir. "Berisik!" Semua teman-temannya menoleh ke arah Kian. Bajunya sudah berganti. Rambutnya yang tadi benar-benar basah kini sudah setengah kering. Dengan tawa riang, mereka memberi jalan agar Kian bisa kembali ke ranjangnya. "Lo beruntung banget, kok bisa dikeramasin sama si dokter ganteng?" tanya Merri. "Iya nih. Laki gue aja belum pernah ngeramasin gue!" Mbak Reni yang sudah menikah tetap tidak mau kalah. "Eh, siapa sih namanya? Temannya dokter Pram kan?" Rubi ikut angkat bicara. "Dokter Kenares. Dari kemarin kan si dokter sama Kian barengan terus. Jangan-jangan memang ada apa-apa. Hmm..." Yuniar memasang tampang misteriusnya. Kemudian melirik teman-temannya dengan penuh senyum. "Nggak usah mikir aneh-aneh," gumam Kian datar. Ia sudah berbaring kembali di ranjang rumah sakit. "Tapi serius ya, ganteng banget," sahut Merri yang disambut anggukan oleh yang lainnya. "Kalian semua nggak ada yang pengen nanyain kabar gue?" tanya Kian kesal. Dia jadi yakin, niat menjenguk mereka tidak benar-benar tulus. "Ah, kita kan udah liat dengan mata kita sendiri gimana keadaan lo, yan," sahut Yuniar tak sedikitpun merasa bersalah. Kian berdecak. "Eh, tapi gue sering ngegosip sama perawat-perawat IGD deh soal dokter Kenares itu." Kata-kata yang diungkapkan Rubi seketika menarik perhatian hyena-hyena haus gosip. "Apa? Apa?" "Inget dokter Yudis?" tanya Rubi yang sengaja dibuat menggantung. Mendengar nama dokter favoritnya disebut, mau tak mau Kian juga jadi ingin tahu. Ada hubungan apa dokter favoritnya itu dengan dokter kunyuk satu itu? "Gue denger, dokter Yudis itu sahabatan sama dokter Kenares," bisik Rubi sok dramatis. "Yah, dimana asiknya?" sahut Yuniar tidak terima. Sedangkan yang lain hanya diam menunggu. "Sabar dong. Inget dokter Mahira juga?" "Yang nikah sama dokter Yudis, kan?" Rubi mengangguk. "Jadi, mereka bertiga itu sahabatan. Terus cinta segitiga gitu deh. Tapi akhirnya Dokter Ken, gue nyebut Ken aja ya? Kenares kepanjangan, pergi ke Amerika gara-gara patah hati pas Dokter Mahira milih Dokter Yudis." "Orang ganteng tetep bisa patah hati, ya?" Mbak Reni mendesah sedih. "Berarti sekarang dia jomblo?" sahut Merri antusias. "Nah, itu dia yang bikin ribut IGD. Dokter Yudis pergi, datanglah dokter Ken. Dalam keadaan jomblo lagi. Gimana perawat nggak berbunga-bunga tuh deketan terus. Untung dia nggak tugas di IGD." "Ah, nggak perlu jadi perawat juga Kian udah dikeramasin." Ana yang sedari tadi diam kini angkat suara. Ia melirik Kian sekilas yang sedang menatapnya sewot. "Hnggg.. serius lo beruntung banget!" Merri menggeram heboh. "Semuanya tadi nggak seperti apa yang kalian bayangin," jawab Kian datar. "Eh, katanya Dokter Trias juga kesengsem sama Dokter Ken, loh. Waktu itu ya..." blah blah.. Sementara teman-temannya asyik menggosip di kamarnya, Kian tertidur. Matanya berat. Mungkin karena pengaruh obat. Semoga saja temannya ini tak melebih-lebihkan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD