Chapter 8

1335 Words
Sudah 4 hari Kian mendekam di rumah sakit. Beberapa orang silih berganti menjenguknya. Ibunya juga jauh-jauh datang untuk menunggui Kian selama Adis sibuk kuliah. Menyenangkan tentunya melihat beberapa orang yang jarang ia temui atau teman-teman lain datang menjenguknya, juga bertemu ibu. Tapi tetap saja hal itu tidak mengurangi rasa kesalnya. Juga bosan. Berbaring di tempat tidur, duduk sebentar, berbaring lagi. Ia benci ketika tidak berdaya seperti ini. "Bu, Kian kapan ya boleh pulang?" tanya Kian sambil tetap memandang layar tv kecil di kamarnya. "Kamu itu mbok fokus sembuh dulu. Makin cepat sembuh kan makin cepat pulang." Ibunya yang sibuk mencuci piring di wastafel itu setengah berteriak. Takut putrinya tidak mendengar perkataannya. Kian mendengus. "Lagipula, kamu nggak boleh langsung kerja juga setelah pulang. Nanti kambuh, kamu sakit lagi, ibu repot lagi ke sini." Ibunya kini sudah keluar dari kamar mandi. Ia kemudian mengelap piring dan sendok yang dicucinya dengan tisu. "Jadi ibu merasa direpotkan ini?" tanya Kian sangsi. "Ya iya. Wong ibu jadi nggak bisa ngajar di SMP. Cuti dulu biar bisa ke sini," jawab ibunya sambil tertawa geli karena jawabannya sendiri. Ia kemudian berjalan untuk duduk di kursi panjang dan menyalakan televisi. "Halah, nanti tanda tangan dobel juga bisa." "Eh, ngawur. SMP ibu sekarang sudah maju. Sudah checklock pakai sidik jari," sahut ibu Kian tak mau kalah. "Yah, nggak bisa bolos dong." "Walaupun presensi dengan tanda tangan, ibumu ini nggak pernah bolos, lho. Jangan salah." Tiba-tiba terdengar pintu kamarnya diketuk. Sesaat kemudian terbuka. Kepala Dion menyembul di balik pintu. Ketika sudah memastikan yang di atas ranjang adalah Kian, Dion melangkah masuk ke kamar itu. Celananya masih seragam kerja, sedangkan atasannya sudah tidak tahu kemana. Ia hanya memakai kaus cokelat khas kepolisian kemudian dilapisi bomber jacket warna hitam. "Eh? Masuk-masuk," sahut Kian antusias. Dion menghampiri ibu Kian, kemudian mencium tangannya. "Ini Dion, bu. Temen Kian SMA." Kian memperkenalkan Dion pada ibunya. Yang dikenalkan hanya cengar-cengir. "Temen SMA?" tanya ibu Kian sedikit bingung. Kota tempat Kian sekolah dulu bukan di kota ini. Namun di pusat kota di daerahnya sana. "Iya." "SMA 1?" tanya ibu Kian lagi. "Wah, lha yo kok bisa sampai sini?" "Iya, bu. Dapat tugasnya di sini," jawab Dion terkesan sungkan dan sedikit malu-malu. Kian sedikit terkejut Dion memanggil ibunya tersebut 'bu'. Ah, kenapa mesti terkejut. Tentu daerah asalnya sana malah jarang memanggil ibu teman sebagai 'tante'. Seharusnya ia bisa biasa saja. "Eh, duduk dulu, silahkan. Kerja apa to nak Dion ini?" tanya Rahayu tanpa rasa bersalah. Sedangkan yang ditanyai sudah duduk dengan gugup. "Saya tugas di kepolisian, bu," jawab Dion dengan tenang. Kemudian ia berusaha bercanda untuk mencairkan suasana. "Tapi pangkatnya masih rendah, bu." "Halah, pangkat rendah itu nggak masalah le. Yang penting kerja sungguh-sungguh," balas ibu Kian yang disambut tawa dan anggukan oleh Dion. Sekali lagi, mendengar Dion mengatakan 'bu' dan ibunya memanggil Dion dengan sebutan 'le', membuat hati Kian merasa aneh. Senang, tapi, entahlah. Rasanya baru, secara perlahan membuat hatinya menghangat. *** Dua hari berikutnya, Kian telah diperbolehkan pulang. Persis seperti kata ibunya, Kian tentu tidak bisa langsung bekerja. Ia harus melalui masa pemulihan di kontrakannya. Ibunya harus kembali ke kampung halamannya karena waktu cutinya sudah habis dan itu membuat Kian sedikit senang. Bukannya apa-apa, tapi beberapa hari terakhir ibunya selalu menceramahinya tentang hal yang sama secara berulang-ulang. Membuat Kian bosan, sekaligus kepikiran. Hal itu terjadi tepat ketika Dion selesai menjenguk Kian di rumah sakit. "Nak Dion kayaknya orang baik, ya," katanya kala itu. "Ya emang baik, bu. Masa jahat tetep Kian temenin," balas Kian sambil lalu. "Tapi ini menurut firasat ibu, dia baiknya beda lho." Ibunya masih setia duduk disofa, berbicara dengan nada sok misterius. "Firasat apa sih, bu. Tumben ibu ngomong firasat segala." Kian mulai jengah. Ia canggung sekali berbicara mengenai hal seperti ini dengan ibunya. Biasanya, ibunya tak pernah mengurusi laki-laki yang mampir di hidup Kian. Masalah-masalah cinta dan laki-laki, Kian lebih memilih memendamnya sendiri. "Nduk, bukannya ibu mau maksa kamu untuk cepet-cepet nikah. Tapi kalau ada yang baik-baik mendekat, kamu jangan dibiarin pergi, ya? Ndak baik." Ibunya menatap mata Kian dalam. Membuat Kian menunduk dan memutus kontak mata dengan ibunya. Kian mendesah panjang. "Bu, Kian sama Dion nggak ada hubungan apa-apa. Dion juga belum memperjelas apa-apa. Kian nggak mau berharap kalau semuanya belum jelas." Kemudian Kian menarik napas panjang dan mengembuskannya lagi. "Jadi, ibu jangan melambungkan harapan Kian, juga ibu jangan membuat harapan terlalu tinggi. Ibu berdoa saja untuk Kian agar Tuhan memberikan yang terbaik." Ibunya tersenyum hangat. Ia kemudian berjalan mendekati ranjang Kian dan duduk di salah satu sisinya. Masih dengan tersenyum, ia memegang tangan Kian, meremasnya. Gigi-geliginya mulai terlihat. Matanya berkaca-kaca sambil mengelus rambut Kian. "Kenapa kamu cepet banget dewasa ya, nduk?" Ia kemudian memeluk Kian. Air matanya keluar membasahi pipi. Ia tersedu sedan di pundak Kian, sehingga mau tak mau mata Kian ikut berair. "Ibu kangen genduk cilik-nya ibu." Kian saat itu hanya bisa membalasnya dengan senyum. Tak mau ikut berkata-kata karena takut air matanya akan tak terbendung lagi. Malu. "Mbak?" Adis yang berada di ambang pintu kamar menyadarkannya dari lamunan. Ia berjalan memasuki kamar Kian, mengecek kondisi kakaknya itu sekali lagi. "Kok nangis? Ada yang sakit?" "Hah?" "Mbak kenapa nangis?" tanya Adis sekali lagi. Kian kemudian menyadari matanya telah basah. Tiba-tiba saja ia tertawa keras. Sengaja. "Habis menguap, air matanya keluar," balas Kian dengan bercanda. "Oh, Kirain ada yang sakit. Kalau ada yang sakit bilang ya, mbak. Adis nggak mau kecolongan kaya kemaren lagi." "Ah, kecolongan. Bahasa kamu, Dis." Kian tertawa lirih. Diam-diam senang akan perhatian adik laki-laki satu-satunya itu. "Adis kan emang merasa gitu mbak," jawab Adis kesal. "Iya, iya. Mbak kan udah minta maaf." "Nonton film yuk, mbak?" tanya Adis tiba-tiba. "Lho? Kan mbak nggak boleh kemana-mana?" Kian balas bertanya dengan bingung. "Siapa yang bilang kemana-mana?" Adis tersenyum miring. Mengejek kakaknya yang terlalu percaya diri itu. "Adis habis ngisi hardisk, sama film banyak banget biar mbak nggak keluar rumah. Nonton pakai tv depan aja." "Wah?" Kian berdiri dengan antusias. Kemudian berjalan ke ruang tengahnya dan mengambil remote. Di lihatnya hardisk sudah tertancap di sana. Adis keluar membawa bantal dan guling dari kamar Kian. "Popcorn?" "Ck, nggak boleh makan gituan mbak." Adis kemudian duduk di sebelah Kian. Ia menurunkan bantal dan guling yang dibawanya, kemudian berbaring di atas karpet. "Nggak ada kuliah?" "Sekarang minggu, mbak" Kian tertawa sendiri. Tidak masuk kerja berhari-hari membuatnya benar-benar lupa hari dan tanggal. Setelah memilih film yang akan ia tonton, Kian ikut merebahkan diri di sebelah adiknya. *** Ponsel Kian bergetar di atas nakas sebelah ranjangnya. Ia hanya menatapnya malas. Ini baru hari ketiganya untuk istirahat, bukannya senang, yang ada ia bosan. Nama Dion terpampang ketika Kian mengambil ponselnya dan menyalakannya. Tak perlu menunggu lama, Kian langsung membukanya. Dion P : Lg ngapain? Kian tersenyum senang. Kiany : Baca buku. Knp? Dion P : Bosen nggak? Kian tersenyum lagi. Bagaimana Dion bisa tau? Kiany : Banget. Mau ajak jalan? Dion P : Boleh? Kiany : Nggak kerja? Dion P : lagi off. Gelato? Kiany : Mauu.. Dion P : Share loc, aku jmput. Kiany : Siap pak polisi. Kian bangun dari kasurnya. Dari yang dia ingat, Dokter Melinda tidak pernah melarangnya makan Ice cream, jadi aman. Dengan cepat ia berganti baju dan menunggu Dion tiba di ruang tamu. *** Saat Kian baru saja pulang setelah berjalan-jalan dengan Dion, ia memasuki rumahnya dengan wajah bahagia. Ia puas tertawa dan bercanda, tak hanya membicarakan masa SMA mereka seperti saat mereka makan malam, tapi juga banyak membicarakan hal lain. Yang jelas, Dion membuatnya senang. Dan nyaman. Seperti bertemu teman lama. Tapi memang kenyataannya teman lama, sih. Terlebih apabila Kian perhatikan, Dion terlihat romantis dan well-mannered ketika pergi dengannya. Seperti saat membukakan pintu mobil atau pintu toko saat ia masuk. Kian tak mau memungkiri. Dia menyadari Dion telah bergerak cepat ke arahnya, tapi dia tidak mau terlihat memberi harapan. Kian ingin jual mahal, mau pura-pura bodoh saja. Biasa, perempuan. Tapi kalau seandainya Dion menyatakan cinta, Kian juga tidak akan menolak. Persis seperti perintah ibunya. Menyadari pikirannya sudah terbang jauh ke mana-mana, Kian menggelengkan kepalanya keras. Tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD