Chapter 9 - 1

1625 Words
Ares mengetik pesan di ponselnya. Entah berapa kali ia mengetik, kemudian menghapusnya kembali. Entah kenapa ia ragu, padahal isi pesannya tak penting-penting amat. "Nglamunin apa, res?" Sita tiba-tiba saja masuk ke apartemennya. Tidak sengaja Ares mengetuk tombol send di layar ponselnya karena terkejut. Ia memutar matanya jengah, kemudian dengan cepat memasukkan ponselnya ke saku. Sudah tidak terkejut dengan kedatangan Sita yang datang tak dijemput, pulang tak diantar. "Sepatu," tegur Ares pada Sita tanpa melihatnya. "Udah, bawel," balas Sita. Tinggal di Amerika selalu membuatnya lupa kalau sedang pulang ke Indonesia. Yah, walaupun kadang-kadang ia kesal juga karena harus memangkas tinggi badannya dengan melepaskan sepatu-sepatu itu. Sita sengaja tak menghampiri Ares. Ia terlebih dahulu membuka gorden panjang yang menjuntai ke bawah, menutupi jendela kaca apartemen Ares. Membiarkan cahaya-cahaya memasuki setiap sudut apartemen. "Hobi banget sih gelap-gelapan. Mending kalo berduaan sama pacar, lah ini, lo sendiri. Masih depresi? Sedih?" Ares menaikkan alis. Sebal dengan kata-kata Sita. Tapi ia diam saja, berusaha tak menggubris sambil mengalihkan channel TV. Dengan langkah cepat, Sita menghampiri Ares. Menekan kedua pipi Ares dan memaksa untuk menatap wajahnya. "Apasih, ta! Lo cerewet banget." Ares menarik tangan Sita dari pipinya. "Makanya kalo ditanya tuh jawab!" "Pertanyaan lo nggak penting," jawab Ares datar. Ia kemudian melirik Sita yang juga menatapnya kesal. "Gue biasa aja." Sita kemudian menghempaskan diri di samping Ares. Merebut remote TV di tangan Ares dan menggantinya dengan series amerika kekinian yang menurut Ares tidak masuk akal. "Lagian, ngapain sih ke sini?" balas Ares tidak sabar. Kesal melihat Sita malah ada di depannya, bukan di rumahnya sendiri. "Nggak boleh?" "Nggak!" jawab Ares tegas dan pasti. "Gue telpon..." Belum selesai Ares bicara, Sita menutupi mulut Ares dengan tangannya. "Jangan ngomong... YUCK! Jijik lo!" Sita berteriak ketika merasakan sesuatu yang lembek dan basah membelai telapak tangannya. Ia menjauhkan tangannya dengan cepat, kemudian menatap Ares yang masih menjulurkan lidahnya. "Itu salah lo sendiri," balas Ares. "Lo berantem sama laki lo?" Sita langsung diam. Memandang lurus ke arah televisi. Ares memilih menunggu. "Ta?" panggil Ares sekali lagi saat Sita masih diam. "Iya," jawab Sita akhirnya. "Puas!?" "Belum. Kan lo belum cerita." Sedetik kemudian Sita merengkuh lengan Ares, kemudian menangis tersedu-sedu. Air mata bercampur kosmetik luntur mengotori lengan kemeja Ares. Diperlakukan seperti itu, Ares diam saja. Sesekali menepuk pundak dan mengusap punggung Sita. "Lo tuh, ngatain orang depresi, patah hati, sekarang lo sendiri juga gini. Sukurin!" Ares nyengir puas. Langsung disambut geplakan Sita di kepalanya. "Dimitri selingkuh," jelas Sita pendek, sependek-pendeknya. Lidahnya pahit menceritakan alasan kepulangannya kali ini. Kemudian ia menangis lagi, lebih kencang. Ares mengembuskan napasnya panjang. Lelah sendiri mendengarkan cerita Sita, tapi ia masih pura-pura bersabar. Beberapa kali ia melirik jam dinding, pasalnya setelah ini ia ada jadwal operasi di rumah sakit. "Gue kasi lo waktu sampe 10 menit. Bentar lagi gue mau operasi." "Udah mau sore gini?" tanya Sita, masih sesenggukan. "Lo udah tau gimana kerjaan gue," balas Ares setengah membujuk. "Berangkat aja sana, pokoknya gue mau di sini. Kalo Dimitri telpon, nggak usah diangkat, atau bilang gue nggak ada disini." Sita melepaskan tangan Ares, kemudian beralih memeluk bantal sofa. "Nggak ada yang peduli sama gue!" "Ta..." "Iya, pergi! Biar gue meratapi nasib gue di sini sendirian." Ares menaikkan pundaknya. Terserah Sita mau apa, yang jelas ia harus menunaikan tugasnya sekarang. *** Pagi-pagi, Kian sudah duduk di mejanya. Sudah 2 minggu berlalu sejak ia sakit, dan tentu hari-harinya telah berjalan seperti biasa. Jam kerja belum dimulai, Kian lebih memilih mengutak-atik ponsel terlebih dahulu. Kemarin ia hanya sempat membaca  pesan dari Ares, tapi menunda membalasnya karena kesal. Kenares: Saya pikir kamu sudah lebih baik sekarang. Saya harus membicarakan proyek volunteer saya secepatnya. Temui saya setelah selesai pelayanan besok. Sebelum jam 2, karena saya harus visite. Kian mendengus. 'Saya pikir kamu sudah lebih baik'. Bukannya bertanya kabarnya, malah menyimpulkan sendiri. Dasar pria aneh "Sakit lagi lo?" tanya Ana yang ternyata sudah duduk manis di sampingnya. "Nggak." Kian memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Nggak papa." "Aneh," gumam Ana. Alisnya naik sebelah karena curiga. *** Di ruangannya, Ares menatap ponselnya. Ia memastikan pesannya kemarin untuk Kian sudah dibaca oleh si empu. Ketika terdapat centang dua berwarna biru, Ares tersenyum puas. Ares merenggangkan badannya. Ia belum pulang sejak semalam. Setelah operasi pemotongan hernia yang berlangsung lama karena ada pendarahan, Ares kembali dipanggil karena harus melakukan operasi cito. Alhasil ia baru keluar dari ruang operasi pukul setengah sebelas malam dan tidur di kamar jaga. Jam 8 nanti pelayanan baru dimulai. Setidaknya ia masih punya waktu untuk tidur sebelum mengikuti laporan pagi bersama dokter bedah lain. *** Jam telah menunjukkan pukul setengah 3. Pasien terakhir baru saja keluar dari ruangan Ares, terlalu banyak pasien hari ini. Ia menyuruh juniornya untuk makan siang. Ares sudah memutuskan untuk tidak menjadi chief kejam dan tidak berperasaan. Galak, sedikit. Agar terlihat berwibawa saja. Ares duduk sambil memandangi pintu. Menunggu seseorang datang. Tapi saat pintu itu terbuka, Ares kesal bukan main. Sita berdiri di ambang pintu. Kemudian menutup pintu ruangan sekenanya Ares saat ia melangkah masuk. "Hai!" sapa Sita riang. "Ngapain ke sini?" tanya Ares sangsi. "Nyapa elo, nganterin makan. Apalagi?" Sita meletakkan tas kertas di meja Ares. Kemudian mengeluarkan tiga kotak bekal berwarna pink menyala. "Gue tau lo pasti belum makan karena semalem nggak pulang." "Tapi gue lagi nunggu orang, ta," jawab Ares. Ia awalnya berencana untuk memaksa Kian menemaninya makan siang hari ini karena harus membicarakan tentang Ayo Sekolah. "Ck..." Sita berdecak. "Nunggu sambil makan, res. Ntar kalo orang itu dateng, gue pergi kok. Tapi gue harus liat lo makan." "Gue makan, tapi nggak sekarang. Okey? Gue janji." "By the way, gue dateng bukan cuma buat ini aja. Gue punya berita penting." Sita tersenyum sok misterius. Tapi Ares menangkap sorot yang tidak bisa ia artikan dari mata Sita. Paling-paling... "Gue hamil!" "What?!" "Ehm!" terdengar suara dehaman dari arah pintu, membuat Ares dan Sita menoleh. Kian berdiri di sana. Sedikit salah tingkah. "Mungkin saya akan kembali nanti." "Nggak, tunggu!" sahut Ares cepat. "Well, gue yang harus pergi." Sita melangkah mendekati Ares. Kemudian mencium pipinya. Melenggang melewati Kian dengan seulas senyum anggun. Kian malah jadi terpesona dibuatnya. "Silahkan masuk." Suara Ares mengagetkan Kian. Ia kemudian menutup pintu dan berjalan mendekati Ares. Diliriknya kotak bekal pink mencolok di meja Ares. Sangat kontras dengan seluruh ruangan yang dominan putih dan warna-warna tanah untuk barang-barang di dalamnya. Sangat tidak cocok dengan pria yang berdiri di depan Kian. "Silahkan duduk." Kian menurut saja. Ares duduk di kursinya. "Kamu masih bisa mengikuti program volunteer saya?" Kian mengangguk. "Sebenarnya ini program pribadi saya dengan teman-teman saya sebelum saya berangkat untuk mengambil spesialis. Sekarang program itu telah diteruskan oleh teman saya." Ares melirik Kian yang memandangnya dengan seksama. Dilihat seperti itu, Ares jadi sedikit salah tingkah. Apa ia terlalu membosankan? Ia kemudian melanjutkan, "setiap dua minggu sekali kita akan datang ke kampung nelayan. Melakukan penyuluhan, kemudian pemberian vitamin untuk anak-anak, dan pengobatan gratis." Kian masih diam. "Tugas kamu membantu saya melakukan itu semua. Bisa?" Kian mengangguk mantab. Asalkan dokter di depannya itu tidak meremehkannya, semua oke-oke saja baginya. "Oke. Saya pikir, saya bisa." "Bagus," jawab Ares lega. "Saya pikir jumat malam, saya tidak ada jadwal operasi. Temani saya belanja untuk persiapan itu. Bisa?" "Anda nggak menanyakan apakah saya sibuk atau tidak pada hari jumat malam?" tanya Kian. Ares selalu memutuskan semuanya sendiri seenak jidatnya, membuat Kian kesal. "Saya pikir orang kantor selalu masuk pukul tujuh dan pulang pukul setengah tiga saat hari jumat?" Ares balas bertanya tanpa merasa bersalah. "Bagaimana kalau saya ada acara dengan keluarga saya?" "Jadi, kamu ada acara dengan keluarga kamu?" Ares mengulangi pertanyaan Kian. Kian mendengus. "Tidak." "So?" Ck. Kian benar-benar tidak habis pikir dengan pria di depannya ini. Selalu seenaknya sendiri. Untung Kian punya hutang budi pada orang ini. Kalau tidak, mana mau ia berdekatan terlalu lama. "Baiklah. Jumat pukul setengah tiga. Am I right?" putus Kian akhirnya. "Yap. Naik mobil saya saja. Kita berangkat dari sini," jawab Ares puas sekali. Ia seperti merasa telah menang bertempur. Setengah mati ia menahan sudut bibirnya untuk tidak terangkat. "Ada lagi?" tanya Kian. "Saya pikir itu cukup. Saya bisa hubungi lewat ponsel." Kalau bisa lewat ponsel, kenapa minta gue dateng ke siniii... Pikir Kian frustasi. "Saya permisi." Ares mengangguk. Arah pandangnya mengikuti langkah Kian yang keluar dari ruangannya. *** Kian baru saja keluar dari ruangan Ares dengan bersungut-sungut kesal. Ia heran, kenapa setiap bertemu dengan pria itu emosinya selalu berubah tidak stabil. Namun, Kian jadi mengingat hal lain. Kira-kira wanita yang tadi dilihatnya itu siapa? Istri Ares? Bukannya Rubi kemarin berkata kalau Ares jomblo? Tapi ia mendengar dengan jelas kalau wanita itu berkata bahwa dirinya sedang hamil. Dan ia juga melihat kalau Ares terkejut dengan berita itu. Apa mungkin Ares telah menghamili pacarnya? Hamil di luar nikah? Kian menggeleng. Pikirannya mengembara terlalu bebas. Ia cepat-cepat membuka ponselnya, mengetik pesan untuk beberapa orang yang menjenguknya kemarin dalam multiple chat. Kiany: Bi, lo yakin Dokter Kenares itu jomblo? Lo salah kali bi. Mariana: Apaan nih? Tumben lo nanya gitu. Reni Pertiwi: knp emang? Rubi: Gw sih tau dari orang IGD ki. Knp? Kiany: Gw liat cewek cantik banget, kaya model keluar dari ruangannya. Gw jg liat mrk cium2 pipi segala. Kalo istrinya mungkin nggak? Rubi: SERIUS?? Wah, heboh nih. Tapi kalo istri, gue yakin bukan. Dokter Pram bilang dia belum nikah kok. Kian kemudian berjalan lagi dan menutup ponselnya. Kecurigaannya semakin meningkat. Atau jangan-jangan Ares sudah menikah, tapi siri? Ah, tidak. Dokter Pram yang berteman dekat saja tidak tahu. Opsi pertamanya yang paling meyakinkan. Ares menghamili pacarnya diluar nikah. Dan pacarnya tadi datang untuk meminta pertanggungjawaban. Ya, benar begitu. Kelihatannya saja dokter, tapi dalamnya busuk. b******k. Kian berdecih. Ares harus berterimakasih kepada Kian. Untung saja mulutnya tidak bocor seperti ember pecah. Rahasianya akan aman kalau Ares selalu bersikap baik kepadanya. Ia bisa menggunakan alasan ini untuk mempertahankan diri kalau Ares menyakiti harga dirinya lagi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD