MT 3

1429 Words
Bukan kehamilannya yang membuat gadis itu putus asa. Hal yang makin membuat Naya hancur adalah sikap ayah dari janin yang sedang dikandungnya. Orang itu masih diam dengan gelagat tak bersalah. Oke, Naya mengerti jika kakak sepupunya itu adalah orang yang paling sulit menunjukkan ekspresi, tapi ini bukan kondisi dimana cowok itu bisa menahan ekspresi sialannya itu. Ataukah dia berpikir dengan adanya pernikahan maka dia sudah lepas dari kesalahan yang ia perbuat. Naya kembali memasang wajah jengahnya pada Rama yang baru saja keluar dari kamar mandi rumahnya. Bersyukur karena Rama lah yang mengalami mual? Tidak sama sekali, bahkan tidak ada rasa prihatin Naya untuk pria itu. “Kamu menginginkan sesuatu?” tanya Rama yang tampak seperti mayat hidup, wajahnya pucat dan mulutnya terasa seperti sampah. Hidupnya tidak lagi nyaman semenjak dirinya mendapat pengalaman bagaimana rasanya menjadi wanita yang sedang mengandung. Setiap pagi ia akan berjongkok di depan kloset untuk memuntahkan isi perutnya dan terkadang hanya air liurnya saja yang keluar. Menjijikkan sekali, Rama tidak pernah sejijik ini pada liurnya sendiri. Indranya juga terasa menjadi lebih hidup, ia bahkan bisa merasakan aliran liur di dalam mulutnya yang kontan saja akan memancing perutnya untuk bergejolak. Dirinya sudah sekacau ini, tapi ia tetap harus memperhatikan dan memastikan Naya baik-baik saja. “Sesuatu? Tentu saja, aku butuh sesuatu yang terdengar seperti aku ingin kembali ke masa dimana tidak mengenalmu, atau kakek dan nenekku tidak mengenal Papamu,” Naya mejawab tanpa menoleh pada sepupunya, sepupu yang namanya sudah tercetak rapi pada undangan pernikahannya yang akan diadakan beberapa hari lagi. Dan tentu saja mereka sudah menikah. Sekarang Naya bingung, apakah ia berharap kakek dan neneknya tidak pernah mengangkat papanya Rama sebagai anak atau ia berdoa saja sekalian agar papanya Rama benar-benar abang kandung papanya sehingga mereka tidak dibolehkan untuk menikah. “...” Rama tak berani berkutik, sikap kasar Naya padanya dipicu oleh tunangannya. Seumur hidupnya Rama berusaha menjadi anak yang patuh pada orang tua. Bahkan saat ternyata Tamara adalah anak kenapan papa kemudian mereka diminta untuk bertunangan ia tidak menolak sama sekali. Tidak ada yang menarik di dunia ini. Keluarga yang kaku, dan semua yang sudah diatur sedemikian rupa membuat ia tidak b*******h sama sekali. Rama tidak perlu memikirkan apapun karena hidupnya sudah jelas, ia hanya perlu menjalani saja. Begitulah caranya hidup selama ini. “Lagian kau lupa ucapan tunanganmu ? Ini bukan anakmu dan kau tidak perlu ikut campur,” ucap Naya lagi. Emosinya kembali memuncak mengingat jika saja Rama tidak mengadukan apa yang telah terjadi pada papa mereka maka ia tidak harus menerima cercaan perempuan yang sepupunya cintai itu. Naya berjalan menghentak-hentakkan kaki menuju ruangan lain di rumahnya yang tidak ada Rama. Entah ini karena kesalahan Rama padanya atau justru bawaan bayi yang membuatnya benar-benar benci berada dalam satu ruangan yang sama dengan cowok itu. Rama menghela napasnya kasar. Ia tidak pernah menyangka Tamara yang ia kenal sebagai gadis lembut itu ternyata sangat bar-bar. Rama pun bingung saat biasanya sang Papa meminta Rama untuk memperlakukan Tamara dengan begitu baik dan selalu mengutamakan kepentingan gadis itu malah berubah. Sekarang Rama diperintahkan untuk mengalokasikan semua bentuk perhatian dan juga perlindungannya dari Tamara menjadi pada Naya dalam sekali kedipan mata. Rama bahkan diperintahkan untuk mengusir Tamara. >>>  Resepsi pernikahan besar-besaran tak mampu dielakkan oleh sepasang suami istri yang mencoba menampilkan senyum bahagia di pelaminan sana yang sedang menyalami para undangan. Semua terlihat begitu benar, begitu bahagia. Papa Naya juga tampak sangat bersemangat menerima ucapan selamat dari rekan bisnisnya. Di samping mempelai wanita, Rama juga bersikap seolah-olah dia adalah pria paling beruntung yang bisa menikahi Naya. D – r – a – m - a. Satu hal yang baru disadari Naya adalah semua anggota keluarganya adalah pemeran drama terbaik sepanjang masa. “Capek?” Ternyata gerak gerik Naya tak lepas dari pengawasan Rama, padahal keduanya sama-sama melihat ke arah depan. “...” Naya yang awalnya berniat duduk kembali berdiri dengan tegap. Ia tak mau Rama mengetahui apapun tentangnya. “Kamu cantik hari ini,” Rama terus saja memperhatikan wajah istri sahnya yang membuang muka. Namun tak ada tanggapan dari Naya, ia masih bungkam. Padahal kalimat barusan selalu berhasil pada Tamara. Tampak sekali wanita itu enggan menyudahi mogok bicaranya. “Ehem.... maaf mengganggu tapi antrian makin panjang,” keduanya menoleh pada orang yang sudah berada di depan mereka. Rama dengan tampang aku tidak pernah mengundang orang asing ini dan Naya dengan tampang sumringahnya. “Kamu datang,” ucap Naya ceria dan maju beberapa langkah mendekati pria tampan di depannya. “As always, aku ga mungkin mengabaikan ribuan pesan kamu,” ucap cowok yang sedang berlutut di depan Naya dan mengganti high heels nona pengantin dengan flat shoes. Rama menyaksikan bagaimana istrinya diperlakukan begitu baik dan tidak tau harus bersikap seperti apa. Tapi ia tau apa yang suami diluar sana harus lakukan. “Permisi tapi Anda menyentuh kaki istri saya tanpa izin,” ucap Rama akhirnya terlebih saat ia menyadari siapa yang sedang mengantri di belakang cowok itu. Mantan tunangannya, ia ingin meyakinkan Tamara bahwa hubungan mereka benar-benar sudah berakhir. Tamara adalah PR panjang bagi Rama Dirga Padmaja. “Dan Anda tidak menyadari bahwa istri tercinta Anda ini tidak terbiasa dengan benda terkutuk itu?” jawab si orang asing yang benar-benar mampu mengusik ego Rama. Di depan semua orang seseorang tidak dikenal ingin membuat Rama terlihat tidak mengetahui apa-apa tentang Naya. “Ga usah diributin, Fin. Aku lapar nih, makan yuk!” ucap Naya menyentuh lengan orang yang dipanggilnya Finno itu. “Ckckck hari gini masih aja mikirin perut,” Finno berdecak kesal tapi pria itu menggerakkan kepalanya, menunjuk stand makanan di sebelah tenggara. Hanya saja mereka tidak bisa kemana-mana karena Rama buru-buru menahan pergelangan tangan Naya. “Kamu lapar? Biar aku yang ambilkan!” “Tontonan yang sangat murahan!” desis seseorang dengan gincu merah menyala. “Tamara, tolong jangan cari ribut dengan istriku,” Benar bukan? Rama tau dengan jelas apa yang pasti akan dilakukan suami-suami diluar sana disaat orang seperti Tamara muncul. Orang yang beberapa waktu lalu berstatus sebagai tunanganya. Yang selalu ia antar jemput dan temani kemanapun. “Hebat sekali, Ram, minggu lalu aku masih berstatus tunangan kamu dan sekarang kamu membela perempuan ini? Wahh.. apa adik kamumu ini segitu hebatnya-” “Finno!” teriak Naya sehingga beberapa tamu undangan yang bercengkrama terdiam, “Aku beneran lapar banget, Finn," tambahnya sambil menarik lepas tangannya dari genggaman Rama. Bukan ini yang Naya harapkan, bukan membuat suasana menjadi tenang sehingga semua orang bisa mendengar omongan Tamara tentang betapa murahannya ia sebagai seorang perempuan. Naya sengaja memotong ucapan Mara karena ia tau apa yang akan dikatakan cewek itu padanya. Ia tidak ingin dipermalukan di hari pernikahannya, apalagi ada banyak orang di sana terutama kolega bisnis Papa, Naya tidak ingin dipukul lagi, ya meskipun Papa tidak punya nyali untuk memukulnya di depan semua orang seperti sekarang. Rama menahan lengan Naya lagi ketika wanita itu melangkah menjauh, berniat mencari tempat yang nyaman untuk makan. “Biar Kakak yang temani,” begitu ucapnya. “Ga bisa begitu,” bukan ini pula yang Naya inginkan. Semakin Rama menempel padanya semakin beraneka ragam kalimat yang bisa keluar dari mulut mantan calon kakak iparnya itu.   “Nay, orang-orang sudah mulai berbisik-bisik,” ucap Rama dan dengan itu Naya kembali ke samping Rama, tempat di mana istri-istri di luar sana berada, yaitu di samping suaminya. Tak hanya itu, Rama bahkan memeluk pinggangnya posesif saat mereka berjalan menuju salah satu meja. “Tolong jangan membangkang di situasi seperti sekarang, Nay, kita bisa habis jika Papa kehilangan muka di depan kolega bisnis mereka,” dan yang Rama maksud dengan papa adalah papa mereka berdua. “Ada syaratnya!” Ucap Naya dengan kedua rahang menyatu. “Just spill it out, then!” “Usir Tamara,” ucap Naya mendongak, menatap tepat pada mata sepupu -eh, suaminya sejak beberapa jam yang lalu. Mendengar  hal itu Rama menyodorkan minum pada istrinya dan kembali memberikan sesuap nasi. Tepat setelah nasi yang ada di sendok itu berpindah ke mulut Naya, cowok itu berdiri. Namun giliran Naya yang menahan lengan Rama.  Mempelototi Rama tidak pernah ada dalam kamus Naya sejak dulu namun kali ini ia membuatnya ada, “Kamu gila, Kak?? Bagaimana bisa kamu mengusir cewek kesayanganmu?”  “Bisa saja, justru aku tidak bisa melihat kalau nanti anakku ileran karena permintaan pertama mamanya di abaikan begitu saja.” Apa katanya barusan? Seolah janin ini ada karena keinginan mereka berdua saja. Huh. Naya melepaskan tangannya dari lengan Rama dan membuang muka. Sebaliknya, Rama, setelah memberikan senyumnya pada Naya, ia mendekati seseorang berbaju hitam yang bertugas menjaga keamanan dan kelancaran acaranya untuk membawa Tamara keluar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD