1. The Hectic Morning

1400 Words
Kaki jenjang itu tengah berlari menembus kerumunan para pejalan kaki yang memenuhi padatnya trotoar. Adrianni, si pemilik kaki, berkali-kali mengaduh akibat tanpa sengaja terinjak atau bertubrukan dengan pejalan kaki yang lain. Semua itu disebabkan oleh keterburuannya dalam mengejar waktu, membuatnya harus mengecek jam di pergelangan tangannya setiap beberapa detik sekali. Berlebihan memang, namun jika terlambat semenit saja bisa habis ia oleh atasan atau bosnya yang menyebabkan semua hal ini menimpanya. "Aduh!!" Adrianni mengaduh ketika bahunya menubruk sebuah benda cukup keras hingga gadis itu sedikit terdorong kebelakang. Adrianni mengusap pelan bahunya lalu menatap si pelaku dengan tatapan kesal. Tidak mengertikah orang itu kalau dirinya kini tengah terburu-buru? "Ah..sorry, mbak, sumpah nggak sengaja!" ucap si pelaku yang ternyata adalah laki-laki bertubuh jangkung dengan potongan rambut masa kini yang ditata dengan bantuan gel, sehingga lebih bermode. Adrianni mendesis pelan, peduli amat kalau laki-laki ini akan menilainya cewek judes atau apalah, "Yayayya... lain kali lihat-lihat tempat mas kalau mau bawa gitar segede babon!" Adrianni mendorong kecil laki-laki itu beserta gitarnya dan berlari secepat yang ia bisa. Tak peduli jika kopi dan makanan yang dibawanya dalam plastic bag bahkan sudah tak berbentuk lagi. Peduli amat, bentar lagi juga gue bakal mati diomelin sama si boss. Gedung pencakar langit bertiga puluh lantai tujuannya sudah mulai terlihat, Adrianni mengecangkan larinya karena waktu benar-benar tinggal beberapa menit lagi. Dia tidak peduli jika make upnya sudah berantakan atau bahkan badannya sudah bau keringat. Demi Tuhan itu sudah tidak penting lagi untuknya saat ini.   "Pagi, Adri!" sapa seorang pegawai laki-laki ketika melihat Adrianni melintas melewati pintu utama. Laki-laki itu bekerja di perusahaan yang sama dengan Adrianni dan sepertinya laki-laki itu juga baru datang. Adrianni hanya bisa membalas sapaan laki-laki itu dengan lambaian tangan saja, itupun tanpa menoleh. Sebenarnya normal untuk para pegawai lain datang di waktu ini, bahkan pegawai lain masih bisa duduk santai di pantry untuk menikmati sarapan mereka setelah menempuh perjalanan dari rumah masing-masing. Namun sayang, hal itu tidak berlaku buat Adrianni. Si sekretaris pribadi big boss. "Hahh..hahh..." Adrianni memegangi lututnya sambil mengatur nafas setelah melemparkan tasnya di atas meja kerjanya. Adrianni merapihkan sedikit rambutnya yang ia kuncir kuda lalu kemeja sifon dan rok hitam spandexnya sebelum akhirnya ia mengetuk pintu kaca milik atasannya tersebut sampai akhirnya ia mendengar kalimat perintah dari dalamnya.  "Masuk!" Setelah mendengar suara berat yang sudah sangat ia hafal itu dari dalam, Adrianni membuka perlahan pintu ganda tersebut. Ketika masuk, terpampanglah ruangan luas dengan rak buku memenuhi hampir seluruh dinding ruangan. Seperangkat sofa dan tv led beserta perangkatnya tersedia di pojok ruangan. Sentral dari ruangan tersebut adalah sebuah meja kerja yang dilengkapi dengan sebuah kursi besar beroda yang bisa berputar-putar. Ukuran kursi itu sangat besar, sama dengan jabatan seseorang yang mendudukinya. Direktur Utama. Sebuah papan nama mengkilat berwarna hitam dengan huruf latin berwarna emas terpajang angkuh di atas meja. The Chief Executive Officer, Ruliano Permana. "Per--permisi pak, ini sarapan bapak," ucap Adrianni sambil menunduk setelah meletakkan bungkusan berisi sarapan sang bos. Adrianni menunggu respon bosnya sambil mengatur nafasnya yang persis seperti orang habis lari maraton—well emang sih dia habis lari maraton tadi. Tepatnya lari dari Starbucks terdekat kantornya. "Kamu telat lima menit empat puluh tiga detik, Adrianni," ucap sang bos datar sambil memutar kursi besarnya untuk menghadap Adrianni secara langsung. Adrianni tidak bisa menahan diri untuk membelalakan matanya. Astaga! Bahkan keterlambatannya itu dihitung dengan sangat teliti. Dasar sok perfeksionis! Komentar Adrianni dalam hatinya. "I—iya pak...tadi soalnya ada insiden kecil di jalan," ucap Adrianni sambil menunduk takut. Meskipun sikap yang Adrianni tunjukkan adalah sikap bawahan yang takut, tetapi sebenarnya mulut wanita itu menggerutu kecil. "Saya tidak peduli, yang jelas kamu terlambat dan saya sangat tidak suka keterlambatan, apalagi untuk orang-orang yang bekerja di lantai direksi, terutama kamu!" ucap sang bos lagi tegas namun tetap dengan ekspresi datar khasnya. Adrianni menghela nafasnya. "Yaudah sih, cuma lima menit!" gerutunya pelan namun telinga sang bos sayangnya lebih tajam dari yang dia sangka. "Adrianni Hanggita!" tegur sang bos membuat nyali Adrianni ciut hingga ia segera menundukkan kembali kepalanya, bahkan lebih dalam daripada sebelumnya.  "Ba—baik, Pak! Saya mohon maaf..." *** Adrianni membanting tubuhnya di atas kursi kerjanya. Menjadi sekretaris utama presiden direktur membuatnya sering marah-marah dan menggerutu. Pasalnya, sang bos bukanlah tipikal bos yang baik hati. Padahal bosnya itu adalah seorang laki-laki tampan dan gagah berusia dua puluh sembilan tahun yang sangat mapan. Namun tentu saja, tidak ada manusia yang tercipta sempurna. Rully adalah tipikal bos dengan watak angkuh, keras, disiplin, kaku, serta perfeksionis. Tak ayal jika semua perintah Rully harus dipenuhi meskipun itu agak tidak masuk akal. Adrianni sudah terlalu sering mengeluh dan berniat untuk mengundurkan diri saja. Toh dia punya setidaknya modal ijazah sarjana bisnis manajemen, dilengkapi dengan sertifikat toefl dengan nilai mencapai enam ratus dan ditambah lagi dengan sertifikat sekolah sekretaris yang ia ambil sebagai syarat masuknya di perusahaan tempatnya bekerja saat ini. Tapi mengingat betapa besarnya biaya hidup di Jakarta, apalagi Adri yang tinggalnya di sebuah apartemen yang mengharuskannya membayar uang bulanan untuk tagihan listrik, air panas, keamanan, kebersihan dan lain-lain, ditambah cicilan mobil serta tagihan kartu kreditnya—Adriani harus pikir-pikir ulang untuk berhenti dan mencari pekerjaan di tempat lain. Adrianni meletakkan dengan letih kepalanya di atas meja miliknya yang penuh dengan kertas-kertas berisikan surat-surat bisnis, dokumen antah barantah bahkan notes khusus jadwal sang bos, namun Adrianni tak peduli jika kertas-kertas itu nantinya akan ketempelan bedaknya atau bahkan keringatnya sekalipun. "Lesu banget sih, Dri!" Adrianni mengangkat kepalanya secara refleks dari meja ketika sebuah suara mengagetkannya. Seorang pria bersetelan necis dengan dua lesung di pipinya tersenyum riang. "Morning, Adri!" sapanya ramah. Adrianni tersenyum lebar mendapati pria itu tengah meletakkan sebungkus oreo di atas mejanya. Pria itu memang sering datang ke mejanya untuk membaginya beberapa bungkus snack. Bukan, laki-laki itu memberikannya bukan karena memiliki perasaan lebih atau semacamnya, hanya perasaan kakak-adik yang membuatnya berbaik hati membagi Adrianni dari stok snacknya yang selalu siap sedia. Terutama di awal bulan seperti ini. Adrianni bahkan semua pegawai yang mengisi lantai direksi agak bingung bagaimana bisa laki-laki yang doyan ngemil ini punya bentuk badan proposional. Tentu saja hal ini membuat banyak kaum hawa ngiri abis. Kecuali Adri—biasa dia disapa—karena cewek itu punya bakat susah gendut meskipun makan banyak. Bless her, God! "Dikerjain si bos lagi, Dri?" tanya Raka—nama laki-laki itu—seperti mengerti ekspresi lelah dan kesal yang tergambar diwajah cantik Adrianni . Melihat cewek itu hanya memberikan cengiran tak berarti kepada Raka sebagai jawaban, Raka pun mengangguk mengerti, dia sudah hafal betul sifat dan kelakuan atasannya yang doyan 'menyiksa' sekretarisnya sendiri. Sudah banyak orang yang pernah menjadi sekretaris Rully, namun mereka semua tidak akan bertahan lebih dari enam bulan. Raka cukup heran, kenapa Adrianni bisa sampai bertahan selama dua tahun, Raka sendiri tidak yakin kalau dia bisa bertahan selama itu kalau dia yang jadi sekretaris pribadi Rully. "Semangat aja deh, Dri, si bos baik kok, kan lo yang paling paham sama sifatnya dia, secara lo udah dua tahun ngabdi sama dia, hahaha." Apanya yang baik? Adrianni mengangguk sambil tersenyum menutupi ekspresi kesalnya. Dia tidak terbiasa berbicara yang 'tidak-tidak' soal bosnya sendiri, karena sebagai sekretaris pribadi, Adrianni sudah menandatangani perjanjian yang juga menuliskan persetujuan untuk tidak membicarakan apapun tentang atasan meskipun sesama pegawai perusahaan, untuk mencegah terjadinya masalah yang tidak diinginkan. Sebenci apapun Adrianni terhadap sosok Rully, Adri masih bisa profesional dalam urusan pekerjaan. "Thanks, Ka, balik gih ke meja lo! Diliat sama bos dari dalem nggak enak entar!" Raka melirik sebentar pada ruang kerja sang bos yang memang bisa melihat dengan bebas keadaan di luar ruangannya lalu mengacungkan jempolnya untuk kemudian berlalu dari pandangan Adrianni. Ngomong-ngomong Raka itu hanya tiga tahun lebih tua dari Adri, oleh karena itu Adri cukup akrab dengan Raka yang notabennya dari divisi IT. Kebetulan Raka merupakan network administrator nya orang direksi. Jika para penghuni lantai direksi mengalami gangguan dengan koneksi internet atau bahkan kabel dan jaringan, maka semua akan menjadi tanggung jawab Raka untuk memperbaikinya. Adrianni mulai menarik berkas-berkas yang berkaitan dengan pekerjaan Rully hari ini, lalu Adri melirik post it yang berisikan jadwal Rully hari ini. Aneh sekali, sudah setengah jam sejak jam kerja tetapi Adri belum mendapatkan panggilan sama sekali dari Rully yang biasanya memanggilnya sepuluh menit sekali. Seharusnya Adri bersyukur karena pagi ini ia tidak begitu dibuat repot. karena biasanya sejak pagi Adrianni sudah repot keluar-masuk ruangan kerja Rully. "Adrianni , keruangan saya sekarang!" Adrianni tersentak begitu mendengar suara sang bos melalui intercom khusus yang terpasang di cubiclenya. Oh s**t! Baru juga diomongin. Umpatnya. “Ok, Boss!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD