2. Coffee, flower boy and his step brother

2986 Words
Adrianni kini tengah berdiri di depan kasir Starbucks sambil mengomel pada ponsel pintar tak berdosanya. Adri harus turun ke lantai dasar dan menyebrang ke gedung sebrang menuju tempat coffee shop itu terletak. Rully memerintahkannya untuk membelikannya enam cup americano karena katanya dia akan kedatangan tamu. Padahal tad pagi, Adri sudah pergi kesana untuk membeli kopi sebagai menu sarapan Rully. Mungkin sudah nasib Adri menjadi korban keegoisan seorang Ruliano Permana. Mencium bau kopi, Adri jadi kembali mengingat pertemuan pertamanya dengan Rully dan bagaimana sampai dia bisa menjadi sekretaris lelaki itu. Adri yang hari itu mengenakan kemeja pink dan celana bahan hitam menggenggam erat map di tangannya. Matanya masih fokus pada seorang laki-laki yang sejak tadi sedang mengelap kemejanya dengan tissue sambil menggerutu. Adri berjalan ke depan pintu toilet dan melihat lambang yang tertempel di pintu. LADIES Oh jelas sekali! Laki-laki itu pasti laki-laki hidung belang. Mana ada laki-laki baik-baik yang masuk toilet wanita? Adri mengatupkan mulutnya. Mengecangkan rahang dan bersiap mengeluarkan jurus bela dirinya. Dibantu map dan tas tentengnya dia menerobos kembali masuk ke dalam dan menjerit. "NGAPAIN LOOOO?" Laki-laki itu hampir saja jatuh saking terkejutnya. Dia menatap aneh ke arah Adri. "Hah?" Adri tersenyum remeh. "LO! Lo b**o atau pura-pura b**o? Ngapain lo di sini, hah?!!" bentak Adri sambil menyiapkan peralatan bela dirinya. Laki-laki itu mengerutkan kening. Dia menatap sekeliling lalu tersadar jika dia bukan sedang di toilet pria. "Ehh! Gue bukan penguntit atau laki-laki genit, ya!" Adri mengangkat alisnya. "Oh ya?" tanyanya meremehkan. "Iya! Gue nggak sadar kalo salah masuk toilet!" Adri tertawa meledek. "Apa lo pikir gue percaya? Dasar penguntit genit! Nih rasain ini!!" Adri melayangkan map ditangannya menimpa kepala laki-laki itu. Belum lagi Adri mendaratkan pukulan bertubi dilengan lelaki tersebut dengan bantuan tas genggamnya. "Woy woy!!!!!! Lo gila apa? Lo nggak tau gue siapa? Gue Ruliano, Direktur Utama di sini!" Lelaki yang mengaku sebagai Ruliano itu menahan lengan kurus Adri. Menatapnya galak. Sudah dituduh penguntit lalu menghujaninya pukulan padahal dia merasa tidak bersalah sama sekali? Wah hebat bener ini cewek! Pikir Rully. "Anjrit!" Adri dengan sedikit pengetahuannya dalam karate berhasil memiting tangan Rully dan membuatnya terkapar di lantai toilet. Mengaduh kesakitan. Adri mencengkram kerah baju Rully. "Dengar ya om-om m***m. Kalo lo ngaku jadi bapak Ruliano gue juga bisa ngaku-ngaku jadi ibunya bapak Ruliano! Aah terserah, deh! Lo, kalo mau ngaku-ngaku, ya benerin dulu gaya pakaian lo, om. Dengan baju kumel dan wajah pucat begitu lo ngaku-ngaku sebagai Ruliano? Dihh, sadar om, Ruliano itu ganteng. Nah kalo om?" Adri menggeleng tidak percaya lalu akhirnya melepaskan cengkramannya dan meninggalkan Rully yang menganga tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. "110,111 dan 112!" seru pengeras suara. Dan tiga orang pemilik nomer tersebut masuk ke ruangan tersebut. Adrianni masuk paling terakhir tanpa name tag. Name tagnya hilang ketika bergulat di kamar mandi bersama penguntit tadi. Huh! Ketika pegawai bagian HRD yang bertugas menjadi interviewer mulai menanyai satu per satu peserta, seorang laki-laki yang sejak tadi membelakangi ketiga calon pelamar mengangkat tangannya. Memerintahkan para penginterview untuk diam sejenak.  "Nomor 112 saya rasa cukup ulet dalam pekerjaannya," Ucap Rully masih dalam posisi membelakangi. Adri mengernyit bingung. dia menatap para penginterview yang hanya bisa diam tanpa ekspresi. Adri menatap peserta nomer 111 disampingnya. "Siapa?" tanyanya tanpa suara. "Bos besar. Direktur utama," ucap orang tersebut tanpa suara juga. "Saya rasa, daripada dia ditempatkan sebagai Non Material Warehouse Staff, saya lebih senang dia bekerja di lantai yang sama dengan saya," Ucap Rully lagi. Staff bagian rekruitmen hanya bisa diam. Mereka terlihat bertanya-tanya kenapa direktur muda mereka yang selalu bersikap dewasa, kaku dan tegas ini tiba-tiba bertingkah kekanak-kanakan di hadapan mereka saat ini. "Saya sedang kekurangan posisi sekretaris di lantai direksi, jadi saya butuh calon yang ulet macam nona nomor 112 ini," ucap Rully masih dalam posisinya membelakangi. Adri, dua orang yang diinterview bersamanya, bahkan para staff bagian rekruitmen juga ikut mengernyitkan dahi mereka. Lalu Bu Diana, sebagai manager bagian HRD berusaha berbicara. "Kalau begitu pak, nanti biar kami buka lowongan khusus untuk mencari sekretaris untuk bapak, karena tiga orang ini sama sekali tidak ada pendidikan sekretaris sebelumnya, 112 merupakan sarjana ekonomi dari bagian manajemen, sedangkan no.110 dan 111 memiliki latar belakang sistem informatika, Pak." Lelaki itu kembali bersuara. "Bukannya saya sudah bilang, peraturan kaku semacam itu harus segera dihilangkan, Bu Diana? Saya bukan butuh orang yang 'ahli' di bidangnya, saya hanya butuh orang yang tekun dan 'mampu' menjalankan tugasnya dengan baik, karena terkadang orang yang sudah ahli malah menjadi sombong dan meremehkan tugas yang diberikan pada mereka." Bu Diana terdiam. Dia melirik staff bagian rekruitmen yang juga ikutan diam. Siapa mereka berani membantah sang direktur utama? "Boleh saya baca CV milik nona nomer 112?" tanya lelaki itu kepada staffnya. Jelas staffnya bingung, namun hanya sejenak dan mereka cepat-cepat memberikan lembar CV milik Adri tersebut kepada lelaki tersebut. Lelaki itu membacanya baik-baik. Curriculum Vitae Nama : Adrianni Hanggita Tempat tanggal lahir : Jakarta, 13 Februari 1990 Alamat : Jl. Tebet Barat X no.28,Jak-Sel No telepon/HP : 081236255412 Email : adrihanggita@gmail.com Riwayat Pendidikan Pendidikan Formal: • 1996- 2002 : SD Negeri 08 Tebet Jakarta; • 2002- 2005 : SMP Negeri 73 Jakarta; • 2005- 2008 : SMA Negeri 16 Jakarta; • 2008- 2012 : Manajemen di Universitas Indonesia IPK= 3,50 Pendidikan Non Formal: • 2005-2010 : Les bahasa inggris di institute LIA, dilengkapi sertifikat • 2009 : Les setir mobil, dilengkapi dengan sertifikat Pengalaman • Periode 01 Juni s/d 31 Oktober 2010 : Praktek Kerja Lapangan (PKL) PT. JAMSOSTEK • 2013: Event organizer di Rainbow Entertainment • 2014: General affair supervisor di Rainbow Entertainment • 2014-2015: Payroll staff di Rainbow Entertainment Keahlian Komputer • Microsoft Office (MS. Word, MS. Excel, MS. PowerPoint) photoshop, photoscape dan Internet. Lelaki itu tau apa itu Rainbow Entertainment. Kantor itu merupakan kantor di bidang jasa event organizer. PT. Royal Cendana pernah beberapa kali menggunakan jasa Rainbow Entertainment untuk mengisi acara di hotel-hotel dan pusat perbelanjaan milik PT. Royal. Latar belakang Adri di bidang manajemen tentu tidak terlalu jauh dari dunia sekretaris. Karena Rully memang perlu orang yang ahli memanage jadwal-jadwalnya dan pekerjaannya. "Saya suka dengan CV kamu, Adrianni. Saya lebih setuju kamu jadi sekretaris direksi, atau kamu tidak akan mendapat pekerjaan apapun di perusahaan ini." Adri mengernyit kembali. Bukankah penerimaan akan dikirimkan lewat email? Dan bahkan Adri belum menyelesaikan seluruh sesi wawancaranya. Dan juga Adri tidak punya keahlian apa-apa di bidang sekretaris. Oh, pernah sih, waktu SMA, itu pun hanya selama satu tahun saja sebagai sekretaris kelas yang kerjaannya lebih banyak gabutnya. Namun Adri teringat oleh tagihan bulanan apartmentnya serta biaya hidupnya yang kian menipis, ditambah uang yang harus dikirimkannya kepada tantenya. Kapan lagi punya kesempatan menjadi sekretaris di sebuah perusahaan besar. Apalagi di lantai direksi. Berarti divisi utama? Ini sih namanya naik tahta. Lelaki itu memutar kursinya. "Semoga kamu mempertimbangkan tawaran saya, Adrianni. Bu Diana, tolong bawa nona Adrianni ke kantor HRD untuk proses penerimaan dan persiapan sesi trainning jika dia memang bersedia menerima tawaran ini." Adri menganga di kursinya ketika melihat siapa sosok sebenarnya Ruliano Permana. Laki-laki penguntit di toilet tadi ternyata benar-benar Ruliano. Arrggh. Rasanya Adri ingin menguliti kepalanya saat itu juga. Malu,kesal dan khawatir bercampur aduk, meskipun malu mendominasi. Adri meremas ujung kemejanya. "Duh, gimana nih?" lirihnya sambil menggigit bibir. Tetapi akhirnya Adri pun menerima tawaran yang diberikan Rully. Biar saja dia menanggung malu sementara, toh Rully sendiri yang menawarkan jabatan itu untuknya. Lagipula, sesusah apa sih pekerjaan seorang sekretaris? Meskipun nanti susah, Adri akan menjalaninya sepenuh hati. Hidup di Jakarta, mencari pekerjaan juga sulit, kalau sudah ada tawaran buat apa ditolak? Adri kembali ke masa sekarang. Kadang dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kenapa Rully lebih senang memerintahkan Adri untuk melakukan ini dan itu, padahal Rully bisa saja menyewa seorang asisten pribadi sendiri atau bahkan memerintahkan office boy kantor untuk sekedar membeli kopi. Hello, Adri bekerja di sini bukan sebagai b***k tetapi SEK-RE-TA-RIS. Oke, meskipun sekretaris merangkap sebagai asisten juga, sih. Tapi sialnya, Adrianni tidak bisa protes kepada takdir yang mengharuskannya sebagai bawahan seorang presiden direktur yang tidak bisa dibantah. Adri masih punya banyak cicilan yang harus ia lunasi dan akan sulit baginya jika ia mencari masalah dengan Rully. "Mbak!" Adri masih sibuk menggerutu sambil menenteng bawaannya menuju pintu keluar saat seseorang tiba-tiba berlari dan menghadang jalannya. "Ya ampun, mbak, saya panggil-panggil juga," ucap seorang laki-laki yang kini sudah berdiri tegap di hadapan Adri. "Hah?" Adri berkedip linglung menatap laki-laki ganteng yang mendadak menghalangi jalannya itu. Ya gimana nggak linglung kalau laki-laki secakep Douglas Booth tiba-tiba muncul di depannya. "Ini mbak, dompetnya ketinggalan barusan," ucap laki-laki itu, mencoba menjawab kebingungan Adri. Laki-laki itu tidak tau saja kalau Adri bukannya bingung tapi justru linglung, saking kagetnya papasan dengan laki-laki ganteng dengan jaw menggoda mirip punya Douglas. "Oh—eh i—iya, thanks ya mas." Ucap Adri kikuk, tetapi Adri akhirnya bisa menyunggingkan senyuman sok manis di akhir ucapannya. Laki-laki itu balas tersenyum dan mengangguk ramah, "Sama-sama, mbak, lain kali hati-hati, belum tentu orang lain bakal sejujur saya." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, laki-laki ganteng itupun berlalu dari hadapan Adri. Tetapi satu yang sedikit mengganjal hati Adri. "Kok, mukanya nggak asing ya?" *** Adrianni terpukau ketika mendapati ruangan Rully kini telah ramai berisikan empat orang laki-laki tampan yang sepertinya seumuran dengan Rully, namun mereka berpakaian lebih kasual sehingga membuat mereka terlihat lebih muda daripada Rully yang selalu setia dengan kemeja katun, celana bahan dan jas mahal serta dasinya. Kaku dan formal. Mungkin wajar, keempat laki-laki itu tidak sedang memegang tanggung jawab besar sebagai presiden direktur sebuah perusahaan besar. Jadi sangat wajar jika mereka bisa tampil santai, bersenang-senang tanpa memiliki beban seberat yang harus ditanggung Rully hingga mereka masih sempat untuk merawat diri dan wajah mereka agar tampil tetap awet muda. Kadang Adri berpikir, apa gunanya memiliki uang banyak jika waktu untuk menikmati uangnya saja tidak punya karena terlalu sibuk mencari uang. "Adrianni ngapain kamu masih di sana? Kemarikan kopinya dan balik lagi ke meja kamu!" "Ah..Oke, Pak!" Adrianni segera meletakkan kopi-kopi itu di atas meja dihadapan empat orang temannya yang kini tengah ikutan menatap Adri dengan ekspresi berbeda-beda. Adrianni merasa risih sekaligus malu ditatap oleh laki-laki yang tak dikenalnya terlebih lagi Rully juga ikutan menatapnya namun dengan tatapan tidak suka. Seorang laki-laki kurus berambut cepak mengulurkan tangannya untuk menjabat Adrianni sebelum cewek itu melangkah pergi. Adri sempat terkejut namun karena merasa tidak sopan akhirnya ia menerima uluran tangan tersebut dengan senyum. "Halo, saya Alo, mbaknya siapa namanya?" ucapnya sambil tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya beserta gusinya. Laki-laki ini memiliki gummy smile yang cute. "Adrianni Hanggita," ucap Adrianni gugup. "Woy, Lo, jangan digodain itu anak orang," ledek seorang laki-laki yang terlihat kalem tapi ternyata tidak sama sekali. Alo terkekeh-kekeh saat diledek seperti itu. "Yailah, Kan, abis si Rully punya sekretaris bening bin cakep begini nggak pernah bilang-bilang," ucap Alo bercanda. "Apaansih lo, Lo! Udahlah jangan digangguin, dia mau kerja! Dan kamu Adrianni ... saya bilang taruh kopi-kopi itu dimeja dan segera keluar bukannya mencari perhatian, apa kamu mengerti?" Adrianni terperanjat dan menatap Rully dengan tatapan tak percaya. Matanya menatap satu persatu laki-laki yang menduduki sofa kulit cokelat tersebut, mencoba meneliti siapa lagi yang menganggap dirinya sedang cari perhatian di sana. Namun hanya satu orang yang memberikan tatapan macam itu padanya, hanya satu. Dan dia adalah Ruliano Permana. DARI SISI MANA GUE CAPER SIH? "Baik, Pak! Maafkan saya," ucapnya dan membungkuk lalu berlari keluar. Adri mendengar beberapa suara protes kecewa namun Adri tak mempedulikannya karena Adri merasa sudah dipermalukan didalam sana. Mencari perhatian katanya?! Ingin sekali Adri mematahkan leher Rully kalau saja Adri bukanlah seorang bawahan yang sudah menandatangani kontrak kerja. "Amit-amit... dasar laki-laki nyebelin! Dingin, kaku, galak, sok perfeksionis, buncit!" "Emangnya bang Rully kayak gitu, ya?" Adrianni terlonjak ketika mendengar suara yang muncul tiba-tiba dari arah belakangnya. Dilihatnya sesosok laki-laki ganteng dengan pakaian kasual—bahkan terlalu kasual untuk muncul di sebuah kantor sudah berdiri di belakangnya. Melihat wajah laki-laki ganteng itu, membuat Adrianni seperti pernah melihat laki-laki dihadapannya kini namun Adri tidak begitu ingat dimana. Bukan karena Adri punya ingatan yang buruk, salahkan Rully yang membuyarkan konsentrasi dan fokus Adri karena terlalu banyak marah-marah. "Eh, maaf? Masnya, siapa ya? Eh maksudnya siapa yang bilang saya lagi ngomongin Bapak Ruliano?" tanya Adrianni sambil mengalihkan pandangannya. Menolak menatap pupil cokelat milik si laki-laki ganteng dihadapannya itu. Laki-laki itu tersenyum kecil. "Oh gitu ya? Maaf deh mbak kalau saya salah sangka," Ucap laki-laki itu sambil berusaha menyentuh lengan Adri. Adri refleks mendorong d**a tegap laki-laki ganteng yang ternyata genit itu menjauh dari hadapannya. Penilaiannya atas laki-laki ganteng ini salah besar. Dia kira laki-laki ganteng bergaya high class tapi tetep kasual ini adalah tipe laki-laki yang cool dan pendiam atau jaim, tapi ternyata laki-laki ini nggak jauh berbeda dengan laki-laki-laki-laki ganjen didalam ruangan Rully tadi. Jangan-jangan ini orang gerombolannya Pak Rully juga. "Maaf ada keperluan apa anda di sini?" tanya Adrianni mengalihkan topik, membuat laki-laki itu refleks terkekeh. Adri mengernyit tersinggung melihat respon laki-laki itu. Mendadak laki-laki ganteng itu merasa bersalah dan segera menghentikan kekehannya untuk menjawab, "Ah..iya.. ini mbak saya mau ke ruangan bang—eh maksudnya ruangan bapak Ruliano," ucapnya sambil menatap Adrianni lekat-lekat membuat gadis itu gugup. Adrianni mengarahkan dagunya kearah mejanya memberi perintah pada laki-laki itu untuk mengikutinya. Agak tidak sopan sih, tapi laki-laki di depannya ini juga sudah terlanjur bersikap tidak formal padanya, oleh karena itu Adri berfikir tidak masalah jika dia juga bersikap tidak terlalu formal. Lagipula laki-laki ini tidak terlihat seperti rekan bisnis Rully. Laki-laki ini terlihat masih seperti mahasiswa tingkatan akhir. Dan mengingat cara laki-laki ini menyebut Rully dengan sebutan bang, bisa jadi laki-laki ini memang lebih muda dari Rully. "Apakah anda sudah membuat janji bertemu sebelumnya?" laki-laki itu mengernyitkan dahinya tak mengerti atas ucapan Adrianni. Jelas-jelas cewek ini adalah sekretarisnya Rully, orang yang paling tahu siapa saja yang sudah membuat janji bertemu dengan bosnya. "Belum sih, mbak, tapi ya bilang aja gitu sama Pak Rully, saya mau ketemu dia," ucap laki-laki itu sambil memainkan jam pasir di atas meja kerja Adrianni. Adrianni menghela nafasnya protes. "Gak bisa mas, itu udah peraturan jika ingin menemui bapak Rully. Anda harus membuat janji sebelum menemuinya, yah mas taulah aturan kantor, lebay sih emang, ya tapi udah aturannya mau gimana dong?" laki-laki itu tertawa mendengar bahasa Adrianni yang campur aduk, formal dan non formal. Adrianni tertawa namun seketika dia teringat jika laki-laki dihadapannya ini adalah laki-laki yang sama yang dia temui di Starbucks tadi. "Eh mas ganteng ini yang tadi bantuin ngembaliin dompet saya di Starbucks kan?" Adrianni refleks merutuki dirinya sambil memukuli bibirnya yang selalu asal bicara. Keceplosan memuji ganteng pada seorang laki-laki yang emang ganteng bisa membuat pamornya turun. Laki-laki itu tertawa, namun tawanya sama sekali tidak bermaksud mengejek melainkan karena dia memang menganggap sikap Adri itu lucu. "Hahaha, iya mbak Adri, baru inget ya? Saya daritadi udah nunggu mbaknya bahas soal tadi," ucap laki-laki itu sambil mengembangkan senyumnya yang menambah kadar gantengnya ke level maksimal. Sepertinya laki-laki ini memang tipe yang murah senyum. Liat aja sudah berapa kali dia mengumbar senyumnya pada Adrianni. Kalau Adri tipe cewek nggak kuat iman, sudah pasti Adri meleleh karena terus-terusan disenyumin. Tapi Adri tiba-tiba tersadar, "loh, kok masnya tau nama saya?" Adrianni menatap laki-laki itu menuntut penjelasan. "Tenang mbak, saya bukan penguntit kok, itu, saya liat ID card pegawai di atas meja mbak Adri." Laki-laki itu menunjuk ID card yang disebutnya milik Adrianni yang tergeletak begitu saja dimeja. Adrianni kemudian tertawa canggung untuk menutupi rasa malunya lalu ia kembali teringat dengan tugasnya. "Oh iya, masnya kalau emang mau bertemu bapak Rully, mau bikin janji ketemu dulu? Ohiya nama masnya, siapa ya?" tanya Adri, berusaha kembali ke topik awal. Laki-laki itu tersenyum penuh makna lalu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Adrianni. Well, sebenarnya Adri nggak bermaksud mengajaknya berkenalan, namun sebagai pegawai yang baik dan sopan Adri menerima uluran tangan itu. Bukan modus kok, bukan. "Arkan Yudhistira," ucapnya ramah. Adrianni mengangguk lalu mengucapkan namanya lalu menuliskan nama laki-laki itu dikertas daftar janji namun otaknya bekerja ekstra ketika nama itu masuk kedalamnya. "Yudhis—Yu, hah?! Ya ampun, Bapak Arkan Yudhistira? Bapak ini adiknya bapak Ruliano kan ya? Aduh, ma—maaf mas saya... aduh maaf deh intinya, maaf pak sekali lagi soalnya saya nggak ngenalin bapak," Adrianni menundukkan kepala serendah-rendahnya begitu tau siapa laki-laki dihadapannya kini. Adik tiri bapak Rully! Dan dia baru saja bersikap non formal pada adik bosnya. Oke, Adrianni Hanggita, tamat deh riwayat lo kalo laki-laki ini ngadu ke Rully! "Ahahahaha kok jadi formal gitu, mbak Adri? Jangan bapak ah ketuaan, panggil saya Arkan aja atau mas Arkan kayak tadi juga nggak apa-apa," Adrianni menunduk sekali lagi berusaha meminta maaf atas kelancangannya juga menutupi perasaan malunya yang ingin membuatnya bunuh diri saja saat itu juga. Tanpa disangka Arkan menepuk pelan puncak kepala Adrianni karena tidak bisa menahan lebih lama lagi perasaan gemasnya akan sikap ceplas-ceplos Adrianni. This girl has totally stole his attention. "Arkan? Ngapain kamu di sana? Kenapa nggak langsung masuk?" suara bass Rully membuat Adri terlonjak kaget begitupun Arkan, namun Arkan masih bisa menutupi perasaan terkejutnya dengan tawa. "Oh hai, bang! Gue baru pingin masuk," ucap Arkan melirik kecil ke arah Adri sambil melangkah menghampiri Rully yang kini tengah memandang dengan tajam ke arahnya, mungkin karena Arkan yang menggunakan bahasa non formal di kantornya, Rully kan orangnya kaku. Adrianni menggerutu kecil saat ikut-ikutan mendapat tatapan tajam Rully. Apa yang Arkan lakukan kan bukan kesalahannya, namun Rully menatapnya dengan sedingin itu, seolah-olah salah Arkan adalah salah Adri juga. "Adrianni kenapa kamu tidak menyuruh Arkan untuk langsung masuk ke ruangan saya?" tanya Rully dingin. Adrianni menatap malas kearah bosnya itu. Andaikan ia orang kaya, sudah ia maki-maki balik si Ruliano Permana itu. Sayang hal itu hanya pengandaian. "Maaf pak, saya tidak tau jika pak Arkan ini adalah adik anda," ucap Adrianni sambil menundukkan kepalanya memohon maaf. "Bukankah saya sudah memberi tau kamu sebelumnya kalau adik saya mau datang? Ah sudahlah ini tidak penting, saya—" "LAh nggak penting tapi dibahas," cibir Adrianni sangat pelan namun Rully ternyata masih bisa mendengarnya dengan jelas. "Adrianni Hanggita!" tegur Rully membuat Adrianni terlonjak. Lagi-lagi Adri ketauan mencibir bosnya. Pffft. Dan jika sudah begini Adri tidak punya kuasa selain mengucap, "I—iya pak, maafkan saya.." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD