Bab 3 Telepon Tidak Dikenal

1461 Words
Plak! Sebuah tamparan keras terdengar di halaman. Ada bekas lima sidik jari merah cerah di wajah Wawan dan darah mengalir dari sudut mulutnya. “Kau! Beraninya kau pukul aku?” teriak Wawan, menatapku tidak percaya. Dia menatapku dari atas ke bawah dengan tatapan tak percaya. Tentu saja dia terkejut, karena ini pertama kalinya aku berani memukulnya. “Dasar b******n kecil! Berani-beraninya kau pukul anakku! Kemari kau!” Dengan marah, Tini berjalan ke arahku dengan memperlihatkan gigi taringnya dan kuku runcingnya yang siap untuk menyerangku. Di saat dia mendekat, aku segera menghindar, sehingga Tini melempar dirinya ke udara hampa. Karena kakinya tak stabil saat meloncat, dia terjatuh ke tanah dan mengumpat, “Sial!” “Saudaraku, serbu! Hajar dia sampai mati!” Wawan berteriak histeris dan berlari ke arahku. Di belakangnya, ada lebih dari selusin preman dengan tongkat di masing-masing tangan mereka dan bersiap untuk mengepungku. Aku khawatir mereka bisa menyakiti ibuku jika aku berniat untuk menyerang mereka di sini, jadi aku berinisiatif untuk mengajak mereka menjauhkan dari ibuku. Tapi, tanpa kuduga, saat aku berkelahi dengan para preman, Wawan tiba-tiba mengayunkan tongkat kayunya ke arah ibuku dan memukulnya. Ketika aku melihat adegan ini, aku segera berlari menghentikannya. Namun, sudah terlambat. Ibuku sudah dipukul oleh tongkat kayu Wawan. “Ibu!” Ku tendang preman yang ada di sampingku, lalu berlari ke arah ibu dan membantunya berdiri. “Ibu? Bu? Ibu baik-baik saja?” “Aku baik-baik saja, Nak.” Meskipun ibu bilang dia baik-baik saja, tetapi ekspresi di wajahnya berkata lain. “Wawan, mati kau!” Aku menoleh ke Wawan dan menggertakkan gigi penuh amarah. “Mari kita lihat, siapa yang akan mati! Kau atau aku?” Ekspresi marah tampak di wajah Wawan dan dia mengayunkan tongkat kayu ke kepalaku. Aku tidak menghindarinya. Justru, aku mengangkat tanganku untuk meraihnya sebelum tongkat kayu itu berhasil menyentuh kepalaku. Dengan tangan yang lain, aku meraih leher Wawan dan berkata dalam hati, ‘Sihir Hitam!’ Asap hitam perlahan muncul, lalu menyelimuti Wawan, dan akhirnya menembus ke dalam tubuhnya. Namun Wawan dalam keadaan sehat dan tanpa penyakit apapun. Meskipun ia mendapat sihir hitam, aku tidak yakin dia akan mati karenanya. Tapi, aku salah. ‘Sihir Hitam’ ternyata bisa menghancurkan sistem kekebalannya dan aku tahu pasti dia tidak akan bisa hidup tanpa bantuan obat selama sisa hidupnya. Sementara itu, aku menemukan bahwa kabut hitam di pikiranku sudah berkurang sebagian. Yang jelas, kabut hitam di pikiranku sekarang jauh lebih redup daripada kabut emas di sebelahnya. “b******n kecil, lepaskan anakku!” Tini, yang melihatku mencekik leher Wawan, sekali lagi menunjukkan sisi liciknya. Dia melompat ke arahku dan bersiap untuk menyerangku lagi. Aku mengambil tongkat kayu di tangan Wawan dan langsung melemparkannya ke arah Tini. Tini, yang belum siap, bertabrakan dengan Wawan dan jatuh ke tanah. Wawan pun marah dan berteriak ke arah gerombolan preman yang ia bawa, “Kalian, serang dia!” Beberapa preman yang tidak terluka mulai mengepungku lagi. “Karena kau ingin mati, maka aku biarkan aku mengabulkan permintaanmu!” Aku mengambil tongkat kayu dan mengayunkannya ke arah preman di depanku. Bang! Tongkat kayu itu menghantam kepala pria itu dan aliran darah langsung muncrat dan mengenai beberapa orang ke sekitarnya. Kemudian, aku mengayunkan tongkat lagi ke sembarang arah dan seorang preman di sebelahku mengangkat tangannya untuk melawan. Krak! Seketika, bisa kudengar suara patahan tajam dan keras. Dari suara itu, aku langsung tahu bahwa lengan preman kecil itu patah. Preman yang lain segera bereaksi dan melemparkan tongkat mereka ke arahku. Aku memegang tongkat kayu seperti seorang dewa pembunuh dan seseorang pasti terluka setiap kali aku mengayunkannya. Dalam waktu kurang dari satu menit, aku mengalahkan lebih dari selusin preman kecil kalah dalam satu kali pertempuran. Untuk sesaat, erangan kesakitan terdengar di halaman. Aku berbalik, lalu menatap Tini dan Wawan. Keduanya seketika ketakutan dan gemetaran. “Kau… Apa yang kau lakukan? A–Aku ini bibi keduamu! Kau tidak bisa–” Tini tergagap dan tidak bisa berbicara dengan baik. “Bibi kedua? Yang benar saja!” Aku mencibir dan melanjutkan, “Sekarang kau berkata bahwa kau bibi keduaku? Kenapa kau tidak mengatakannya tadi? Apa kau lupa kau mengataiku seorang b******n kecil dan benih liar beberapa menit yang lalu?” “Ferry, jangan salahkan bibimu ini. Bibimu sudah tahu bahwa dia salah.” Tini memohon dengan suara getir dan wajah pucat ketakutan. “Oke. Aku akan lupakan masalah ini. Tapi jangan pernah berharap aku memaafkanmu dan anakmu!” Tini masih bibiku dan lebih tua dariku. Karena dia sudah memohon belas kasihan seperti itu, maka aku tidak akan memperpanjang masalah. Aku berbalik dan melihat Wawan. Wawan gemetar ketakutan dan berkata, “Ferry, aku ini sepupumu. Kita adalah keluarga. Kamu–” “Diam!” Aku merasa muak mendengar suaranya. Sebelum dia selesai bicara, aku berteriak dan memotongnya, “Jangan dekat-dekat denganku dan ibuku lagi. Jika kau ingin aku melepasmu pergi, sebaiknya tutup mulutmu. Keluar dari sini!” “Oke, oke. Aku akan tutup mulutku.” Setelah Wawan selesai bicara, dia mulai menampar mulutnya. Plak! Plak! Plak! Dia menampar mulutnya lebih keras lagi dan karenanya, bibirnya bengkak dalam beberapa kali pukulan. “Ferry, apa menurutmu ini sudah cukup?” Wawan menyeringai kesakitan sambil menatapku dan bertanya. Aku melotot dan menjawab, “Apa kau masih tidak mengerti ucapanku tadi, hah?” “A-Aku paham. Baik. Akan aku teruskan.” Setelah Wawan selesai berbicara, dia kembali mengangkat tangannya dan terus menampar mulutnya. Ibu menarik pakaianku dan berkata, “Sudahlah, Nak. Lupakan saja dan biarkan mereka pergi.” “Bu, dengarkan aku, oke?” Aku mengangguk. Aku menoleh ke Tini, Wawan, dan sekelompok preman, lalu berteriak, “Kalian bisa pergi sekarang! Jika kalian berani menggangguku lagi, aku tidak akan membiarkan kalian pergi dengan mudah! Mengerti?” “Tidak! Tidak!” “Tidak akan ada lain kali! Kami janji!” “Benar! Kau bisa bunuh kami jika kami masih berani mengganggumu lagi.” Wawan dan yang lainnya saling menyahut menjawab sambil berlari menuju gerbang. Aku menunggu mereka pergi sebelum membantu ibu kembali ke dalam rumah. “Bu, apa yang dikatakan Tini itu benar?” Begitu ibu duduk, aku, yang tidak sabar, bertanya padanya. “Iya.” Ibu mengangguk. “Bu, coba katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku benar bukan anak kandung ayah? Lalu, siapa ayah kandungku?” Aku sedikit bersemangat ingin mengetahui kebenarannya. Sudah lebih dari dua puluh tahun, ibu tidak pernah menceritakan pengalaman hidupnya padaku. Begitupun tentang asal muasal diriku dan ayahku. Siapa aku? Siapa ayah kandungku? Aku benar-benar ingin mengetahuinya! “Nak, masalah ini begitu rumit. Aku tidak bisa menjelaskannya secara singkat karena memang sulit bagiku untuk menjelaskan semuanya padamu. Yang perlu kau ingat adalah bahwa kau adalah anak Zizi Yanuar. Tentang ayah biologismu, kamu... kamu anggap saja dia sudah mati.” Mata ibu memerah saat menyebutkan ayah kandungku. Aku bisa melihat dengan jelas air matanya mengalir di pipinya. “Bu, kenapa Ibu seperti tidak ingin memberitahukan kebenarannya padaku? Aku punya hak untuk tahu!” Aku benar-benar ingin mengetahui kebenarannya. Maka dari itu, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. “Nak, tolong jangan tanya Ibu lagi, ya?” Ibu meneteskan air mata dan tampak sangat sedih. Hatiku terasa sakit melihat ibu yang terlihat sangat terluka. Orang yang belum pernah merasakan apa yang ibuku rasakan pasti tidak akan mengerti bagaimana rasanya. “Bu, tolong jangan menangis. Baiklah. Aku tidak akan bertanya lagi.” “Hmm.” Ibu mengangguk dan ia akhirnya bisa tenang setelah beberapa saat. Dia kemudian berkata, “Nak, tolong jangan salahkan Ibu karena tidak menjawab pertanyaanmu. Jika Ibu tidak memberitahumu tentang hal ini, artinya Ibu sedang melindungimu. Ibu takut jika Ibu memberitahumu, bencana yang fatal bisa saja terjadi. Bahkan, dia bisa saja akan membunuhmu.” Bencana yang fatal? Membunuhku? Melihat ekspresi ibu, aku tahu bahwa masalah ini bukan masalah yang sepele. Siapa ayah kandungku? Kenapa ibu bilang aku bisa terbunuh? Kenapa ibu melindungiku? Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul dalam pikiranku, tapi aku tidak berani bertanya padanya. Aku tahu betul ibu punya alasan kuat untuk tidak mengatakan kebenarannya padaku. Aku sekarang memiliki warisan pusaka milik penyihir, jadi aku percaya aku akan menjadi lebih kuat dalam waktu cepat. Saat aku jadi pria yang kuat dan ibu sudah percaya padaku, maka aku akan bertanya lagi padanya apa yang sebenarnya terjadi. Kring, kring, kring Saat itu, ponsel ibu tiba-tiba saja berdering. Ibu mengeluarkan ponselnya dan melihat nama si penelpon. Saat itu juga, wajahnya tiba-tiba berubah. “Ada apa, Bu?” Aku melirik ke layar ponsel ibu dan melihat serangkaian angka nomor telepon. Saat aku melihat ke arah ibu, aku terheran akan reaksinya. “Tidak apa-apa. Ibu akan jawab teleponnya dulu,” kata ibu sambil pergi ke kamarnya. Saat aku mendengar suara ibu mengunci kamarnya, hatiku penuh dengan keraguan. Siapa yang menelepon ibu? Kenapa wajahnya seperti itu ketika melihat nama si penelpon? Dia jelas takut kepada penelpon itu! Siapa sih yang menelpon ibuku sampai ia kelihatan ketakutan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD