Bab 4 Paman

1489 Words
Dua menit kemudian, ibu membuka pintu dan keluar dengan wajah yang terlihat sedih. “Ada apa, Bu? Siapa yang telepon?” tanyaku pada ibu. “Menghindari masalah memang bukanlah solusi yang terbaik,” gumam ibu. Ia menatapku dan melanjutkan, “Ayo kita pergi untuk bertemu seseorang, Nak.” “Bertemu seseorang? Siapa?” Kalimat ibu membuatku semakin bingung. Ibu tidak menjawab pertanyaanku dan mengajakku untuk berjalan keluar. Aku hanya bisa mengikutinya dari belakang. Tiba-tiba, sebuah Rolls-Royce Phantom berhenti tepat di luar pagar rumah kami. Seorang pria paruh baya yang memakai setelan mewah sedang bersandar di kap mesin dengan cerutu menyala di mulutnya. Aku bertanya-tanya dalam hatiku, ‘Apa dia orang yang menelpon ibu?’ Aku menatap pria paruh baya di depanku dengan penuh keraguan. Keluargaku hanya keluarga biasa dan tidak punya saudara orang kaya. Ibu adalah orang yang jarang bergaul dengan orang-orang, kecuali beberapa rekan kerja. Selain itu, dia tidak punya teman. Lalu, siapa pria ini? Sementara aku memandang pria paruh baya itu, ia menatap balik kepadaku. Kami pun saling memandang dalam diam. Sekilas, bisa aku lihat tatapan meremehkan yang mendalam dari matanya. Dia berkata, “Oh, jadi dia anak haram itu?” Aku melotot dan berteriak, “Apa kau bilang?” Aku sangat marah. Bisa-bisanya kalimat pertama dari pria asing ini adalah sebuah hinaan. “Nak, jangan berbuat macam-macam!” Ibu menatapku marah dan menegurku. Dia lalu menoleh ke arah pria itu dan berkata, “Ferry itu anakku. Keponakanmu! Dia bukan anak haram!” “Keponakan? Bu, apa maksudnya? Dia pamanku?” Kalimat ibu barusan membuat hatiku bergemuruh. Selama lebih dari 20 tahun, ibu belum pernah sekalipun membicarakan tentang keluarganya. Lalu, kenapa sekarang seorang pria asing tiba ke rumah kami dan ibu bilang kalau dia adalah pamanku? Ibu mengangguk dan berkata, “Benar. Dia adalah kakakku. Pergi dan sapalah dia.” Aku melirik pria itu dan melangkah mendekatinya. Namun, sebelum aku sempat mengangkat tanganku untuk menyapanya, dia menghentikanku, “Dengar baik-baik, anak haram. Biarpun aku ini saudara ibumu, kau tidak bisa seenaknya memanggilku Paman.” “Apa maksudmu anak haram? Kau pikir aku mau menganggapmu pamanku?” Jika bukan karena perintah ibu, aku tidak akan repot-repot menyapanya. Keputusan memanggilnya paman atau tidak ada padaku. Apa dia pikir aku mau bersaudara dengan dua pria b******k? Beraninya dia memanggilku anak haram? Aku bukan anak haram! Wajah ibu seketika menunjukkan kemarahan saat pria itu berkata begitu, “Apa kamu ke sini hanya untuk mempermalukan kami?” Pria itu mengerucutkan bibirnya dan menjawab, “Apa kamu pikir aku secara sukarela datang ke sini? Jika bukan karena orang tua yang sedang sekarat itu ingin melihatmu sebelum dia mati, aku tidak akan repot-repot datang ke sini!” “A–Apa yang terjadi dengan Ayah?” tanya ibu dengan ekspresi penuh kekhawatiran. “Kanker paru-parunya sudah stadium lanjut. Kata dokter, ia hanya punya waktu paling lama tiga hari untuk hidup.” “Bukankah Ayah selalu sehat? B–Bagaimana dia bisa terkena kanker paru-paru?” tanya ibu. “Kamu masih berani tanya?” Pria itu menunjuk ke arah ibu dengan dua jari yang memegang cerutu dan kembali berkata, “Jika bukan karena kau yang buat malu keluarga, tentu saja Ayah tidak akan sakit seperti ini!” “I–Ini… Bagaimana bisa terjadi?” Mata ibu kosong saat mengatakan itu dan air mata tidak bisa berhenti mengalir di pipinya. Aku menepuk ringan punggung ibu dan menghiburnya, “Bu, jangan terlalu sedih. Mungkin kakek masih bisa diselamatkan.” “Sudah aku sampaikan keinginan orang tua itu, jadi terserah kamu mau menemuinya atau tidak.” Pria itu melemparkan cerutu yang belum habis ke tanah, berbalik, lalu masuk ke dalam mobil. Setelah mobil dinyalakan, dia membuka jendela mobil, menunjuk ke arahku, dan berkata, “Bagaimanapun juga, setengah dari darah anak haram ini berasal dari keluarga Yanuar. Kalau kamu pergi, bawa dia bersamamu.” Tanpa menunggu ibu menjawab, dia menginjak pedal gas dan pergi meninggalkan kami berdua. Aku berdiri di samping ibu sampai bagian belakang mobil itu menghilang dari pandangan kami. Setelah itu, kami berbalik badan dan kembali ke rumah. *** Setengah jam kemudian, ibu dan aku sampai ke sebuah vila mewah di luar kota. Vila ini sangat megah. Bisa aku perkirakan luasnya sekitar dua ribu meter persegi. Pagarnya terbuat dari besi yang terlihat sangat kuat. Dari pagar saja bisa ku lihat dengan jelas taman yang dipenuhi tanaman bunga. Di tengah-tengah taman, ada kolam yang terbuat dari marmer. Di kolam itu, ada bebatuan dan air terjun yang mengaliri sekitarnya. “Bu, apa ini rumah kakek?” Ketika aku melihat mobil mewah yang dipakai paman kemarin, aku bisa langsung menebak kalau keluarga kakek pasti sangat kaya. Saat aku berdiri di depan rumah mereka, aku baru sadar kalau perkiraanku ternyata salah. Keluarga kakek tidak bisa lagi dibilang sebagai orang kaya biasa, tapi konglomerat! “Ini dulunya rumahku.” Bisa aku dengar nada suara ibu terdengar sedikit emosional saat mengucapkannya. Dalam perjalanan ke sini, aku sempat bertanya pada ibu tentang kakek. Tetapi, ibu hanya bilang kalau kakek sangat menyayanginya dan tidak bicara apa-apa lagi. Tak lama setelah kami menunggu di pintu, datang seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun. Dia memakai tuksedo hitam dan membukakan pintu untuk kami seketika melihat kami. “Nona, apakah ini benar-benar Anda? Apakah Anda kembali?” Mata pria itu dipenuhi air mata dan dia tampak sedikit emosional. Ibu tersenyum dan mengangguk, “Paman Furi, benar, ini aku.” “Anda benar-benar kembali. Ini benar-benar Anda.” Furi tersenyum dengan bahagia dan melirikku yang berdiri di samping ibu, “Apakah ini tuan muda?” “Iya. Namanya Ferry. Paman, kau bisa memanggilnya Ferry.” Setelah ibu memperkenalkanku pada Paman Fu, dia menoleh ke arahku dan berkata, “Halo, Ferryi. Perkenalkan, aku Paman Furi, pengurus rumah kakekmu.” “Halo, Paman Furi.” Aku sedikit membungkuk dan menyapa Furi dengan sopan. “Tuan Muda Ferrry sangat sopan.” Paman Furi tersenyum dan melanjutkan, “Tuan sudah menunggu kalian. Silahkan ikut denganku.” Selesai berbicara, dia berbalik dan berjalan ke dalam rumah. Kami mengikuti di belakang Paman Furi menuju ke lantai dua. Ada banyak orang di lantai dua, baik pria maupun wanita, tua maupun muda. Beberapa dari mereka ada yang merokok, bermain dengan ponsel masing-masing, dan yang lainnya mengobrol bersama. Saat kami muncul, mereka semua serentak melihat kami. “Paman Furi, dari mana dua pengemis ini berasal? Mengapa kau biarkan mereka masuk ke rumah ini? Mengganggu saja!” Seorang remaja berambut pirang yang tampak berusia tujuh belas atau delapan belas tahun bertanya pada Paman Furi dengan nada jengkel. “Tuan Kevin, ini adalah bibimu, Nona Zizi. Pria di sebelahnya adalah putranya,” ucap Paman Furi, memperkenalkan kami. “Bibi?” Kevin menunjukkan ekspresi menghina dan berkata, “Ternyata dia si w***********g yang dibuat hamil dan ditinggalkan?” “Apa katamu?” Kemarahanku langsung memuncak dan gigiku gemeretak menahan amarah. Kevin melirikku dan berkata dengan jijik, “Kau marah? Bukan hanya aku yang bilang begini, lho?” “Benar! Bukankah sudah ada orang lain yang memberitahumu kalau kau sudah merusak nama baik keluargamu?” “Bukankah kau benar anak haram yang dikandung saat itu? Kenapa kau marah?” “Sangat memalukan untuk anak haram dan perusak martabat keluarga menginjakkan kaki ke rumah keluarga Yanuar. Apa dia ke sini untuk pamer?” Orang-orang di sekitar memandang kami dengan tatapan jijik dan menghina kami satu per satu. “Hentikan!” Ibu menjerit dan koridor seketika menjadi sunyi. Dengan air mata berlinang, ibu melihat wajah semua orang sebelum melanjutkan, “Aku tahu apa yang kalian khawatirkan. Kami datang ke sini setelah tahu bahwa Ayah sakit kritis dan datang untuk menjenguknya. Tenang saja. Kami tidak akan merebut harta Ayah, jadi kalian tidak perlu bergerombol untuk menyerang kami!” Suara ibu perlahan memelan, sedangkan orang-orang di koridor masih melihatku dengan tatapan yang sama. Aku menatap balik mereka dan melakukan kontak mata dengan mereka. Seorang wanita muda bergaya centil dengan baju terbuka memutar pantatnya yang montok dan berjalan ke arah kami. “Yah, suka-suka kamulah. Lagipula, tidak ada yang tahu apakah yang kamu ucapkan itu benar atau tidak, ‘kan?” “Apa yang kamu bicarakan? Sebaiknya kau jaga mulutmu itu!” Aku memelototi wanita muda yang berjalan mendekat itu dan mengepalkan tanganku erat-erat. Untung saja dia wanita. Jika tidak, maka aku tidak akan segan untuk memukulnya. Wanita muda itu perlahan menoleh ke arahku dan menatapku dingin. “b******n kecil, apa kau baru saja mengancamku?” Aku memelototinya dan berkata, “Iya. Terus kenapa?” “Bagus! Bagus sekali!” Tampak seringai di sudut mulut wanita muda itu saat ia kembali berkata, “Hebat sekali. Aku sudah menjadi bagian dari keluarga Yanuar selama lebih dari 20 tahun dan tidak ada satu pun yang berani membentakku. Tapi hari ini, seorang anak haram tak tahu malu berani mengancamku?” Saat dia menyadari tak ada yang bergerak, dia meninggikan suaranya dan berkata, “Apa kalian tidak dengar? Aku diancam!” Prak prak prak prak. Seketika, terdengar suara langkah kaki dari arah koridor dan empat pria jangkung berlari ke arahku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD