Serene membuat ketiga pemuda itu kesal. Serene berdiri setelah melahap habis sosisnya, dan mereka menatapnya bingung. "Minggir kalian!" sentak Serene. Tapi mereka menulikan telinga dengan tetap menghalangi jalannya.
Salah satunya menyeringai. Dia mencubit dagu Serene, menatapnya penuh ketertarikan s*****l. "Kau adalah permata langka. Ikutlah dengan kami maka kau akan menikmatinya."
Serene merasa dilecehkan karenanya. Seketika Serene menyentak tangan pemuda lancang itu. "Kau tidak pernah diajarkan sopan santun kepada orang asing hah!" Emosinya hampir meledak. Dia berkacak pinggang dan mengangkat dagu dengan menantang.
Padahal jauh di dalam hatinya, dia sangat ingin keluar dari situasi menakutkan ini. Benar, dikerumuni pemuda asing yang menyimpan niat buruk, bukanlah pengalaman bagus. Serene terheran-heran tentang semua orang di taman seakan mengabaikan dirinya. Walaupun Serene tidak meminta bantuan secara terang-terangan, harusnya gestur tubuhnya ditambah situasi yang dikepung ini dapat orang lain mengerti.
Nyatanya taman ini lengang dari orang-orang. Mungkin bagi orang yang kebetulan lewat hanya menganggap mereka adalah sekelompok geng alias teman. Serene kembali tersentak saat tangannya dicengkram salah satu pemuda itu. Wajah pemuda itu mendekat ke wajahnya, dan Serene menarik tubuhnya menjauh sebisa mungkin. "Wajah ini sangat jarang ada di kota ini. Apa kau berasal dari luar negeri?" tanyanya mengamati. Serene memalingkan muka merasakan bau asap menyengat ke hidung. Bau yang mirip dengan orang yang mengonsumsi cerutu di dunianya.
Tiba-tiba saja pemuda kurus itu tertarik mundur karena kerah lehernya dicengkram tangan besar seseorang. Lalu dia terlempar begitu saja ke tanah berumput. Aksinya mengundang kekagetan dua teman lain. Mereka terpengarah melihat Dominic berdiri tegap menjulang. Aura mengintimidasinya menekan mereka. "K-kakak Dominic!" gagap mereka syok.
"Apa yang kalian lakukan pada gadis ini?" Tidak ada keramahan di wajah Dominic saat bertanya. Nadanya tegas namun terkesan marah. Itu membuat nyali mereka ciut.
"T-tidak, kami akan pergi!" Mereka berlari terbirit-b***t.
Lalu Dominic memandang gadis aneh itu dan tanpa menjelaskan apapun, dia hanya mengatakan. "Ikut aku!" Dengan suaranya yang dingin.
Serene berkedip dua kali. Dia tidak mengerti mengapa harus mengikutinya. Tetapi dia tidak bisa menolak. Dominic membukakan pintu mobil untuknya dengan muka setengah hati. Sejenak Serene terdiam untuk mencerna maksudnya. Lantas dengan ragu masuk ke dalam kendaraan yang asing baginya itu.
Di dalamnya, Serene melihat secara udik ke sekeliling dalam mobil. Tampak mewah dan canggih. "Di duniaku tidak ada benda seperti ini." Serene berkomentar tepat ketika Dominic masuk.
Dominic sekilas mendengar, tapi hanya berlalu dan tidak dia pedulikan. Dia memasang sabuk pengaman, kemudian menginjak pedal gas dan mobil melaju mulus di jalanan kota yang lengang.
Pemandangan kota menjadi pusat perhatian manik cemerlang Serene saat ini. Dia benar-benar terlihat udik menganggumi semua yang terlihat di matanya. Membuat Dominic merasa heran tapi dia tetap acuh dan hanya fokus pada kemudinya.
Ketika mereka sampai di rumah, ibu Dominic langsung menyambutnya dengan hangat. Serene kebingungan dengan sikap wanita baya ini kepadanya. "Kau pergi kemana tadi?" Jia nama wanita baya itu. Menatap hangat pada Serene yang baru datang.
"Aku .... tersesat," kikuk Serene. Dia berkata jujur. Sungguh. Dia benar-benar tidak tahu arah saat di kota tadi.
"Ya ampun. Ayo duduk!" ajak Jia dengan khawatir. "Dominic bawakan minuman untuknya. Dia kelihatan lelah. Kau pasti tidak tahu arah di kota ini. Sebenarnya kau berasal dari mana?" Kalimat tanya yang membuat Serene bingung menjawabnya. Haruskah dia menjawab dengan jujur bahwa dirinya dari jaman asing. Pasti akan terdengar aneh bagi wanita baya itu.
"Aku .... Tidak tahu," lirih Serene. Memilih untuk bungkam mengenai asal usulnya. Wajahnya yang tampak sedih secara alamiah mengundang simpati dari Jia. Padahal Serene sedih karena dirinya berada di dunia lain.
"Ya Tuhan. Apa kau diculik lalu melarikan diri? Semalam Dominic menemukanmu tidak sadarkan diri di tengah jalan hutan kota."
Serene terkesiap. Tidak sadarkan diri di hutan? Ingatan Serene tersedot kembali ke masa sebelum dirinya tersadar. Dia ingat begitu jelas terperosok di jebakan hewan bersama Emma. Lalu tiba-tiba terbangun di dunia asing ini.
Tunggu dulu, kalau dirinya bisa terkirim ke dunia ini, bagaimana dengan Emma? Benar! Emma, mendadak dia mengharapkan Emma juga ada di dunia ini menemani agar dirinya tidak sendirian. Tapi kalau kenyataannya hanya dia yang terkirim ke dunia ini, Serene tidak bisa berbuat banyak untuk memikirkan cara kembali.
"Nak, apa kau baik-baik saja?" tegur Jia lembut. Ketika itu Dominic datang meletakan minuman dingin di meja.
Serene terhenyak. Balas menatap mata khawatir Jia seraya tersenyum lemah. "Aku baik-baik saja." Perlahan pandangan Serene memburam. Perlahan pula dia merasakan tubuhnya limbung. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi.
Sementara Jia memekik khawatir melihat Serene pingsan. Dia memerintah Dominic untuk membawanya ke kamar. "Tapi ibu," sanggah Dominic.
"Kenapa ibu sangat menyukai gadis ini. Aku bahkan tak mengenalnya. Apa dia anak kenalan ibu?" Dominic mulai mempertanyakan sikap berlebihan ibunya. Tetapi wanita itu meminta Dominic membawa Serene ke kamarnya dulu. Lantas dengan mudah Dominic menggendong gadis -yang bahkan tak tahu namanya- naik ke kamar di lantai dua.
Sejenak Dominic memperhatikan wajah terlelap Serene setelah dibaringkan. Ada kerut di dahi Dominic saat mencoba membaca niat gadis ini, atau latar belakangnya yang masih misterius. Dominic mendengus. Lalu dia menutup pintu kamar dan pergi mencari ibunya untuk diinterogasi.
"Ibu," panggil Dominic melihat ibunya di sofa. Kemudian dirinya turut duduk di hadapan untuk bicara. "Kenapa ibu bersikap seperti itu pada orang asing?" Dominic merasa aneh pada ibunya.
"Dia bukan orang asing, tapi akan menjadi calon pendampingmu." Pernyataan semena-mena Jia cukup membuat Dominic menghela napas sabar. Memang Dominic mengetahui obsesi ibunya untuk mendapatkan menantu, tetapi tidak pernah dia gubris.
"Dia gadis yang manis dan lucu," tegas Jia.
"Haah." Dominic merasa akan lebih baik menghadapi setumpuk dokumen daripada mengahadapi ibunya. "Ibu, sudah kubilang, aku tidak ingin memiliki istri apalagi sampai menikah." Dominic berusaha sabar.
Tiba-tiba Jia memicingkan mata dengan curiga. "Jadi benar, kau gay?" tuduhnya tanpa menyaring kata-katanya.
Dominic merasa frustasi sekarang. "Aku tidak gay. Aku masih normal," pungkas Dominic menahan gemas.
"Lalu? Kenapa kau tidak pernah sekalipun mengenalkan seorang wanita pada ibu? Lihat usia ibu sudah semakin tua, sedangkan anak ibu satu-satunya tidak kunjung menikah. Ibu ingin menggendong cucu yang lucu sebelum meninggal. Hanya itu permintaan ibu padamu, Dominic." Jia menandaskan kalimatnya tanpa ingin ada bantahan. Usianya sudah memasuki kepala enam sekarang. "Bahkan teman-teman ibu sudah memiliki cucu banyak. Mereka sudah tumbuh besar. Tapi dirimu? Luangkan waktumu sebentar saja untuk mendekati gadis itu, ya?"
Dominic menahan napas. Mata ibu terlihat sedang memohon dengan berkaca-kaca. Tetapi Dominic tahu kalau wajah memelaa itu hanyalah rayuan semata. Lagi, Dominic menghela napas. "Aku harus mencari tahu latar belakangnya setidaknya namanya," putus Dominic menyerah. Seketika wajah lesu Jia menjadi cerah dalam sekejap.
***