2. Persetujuan Yang Harus Diterima

2050 Words
Jakarta, Indonesia Sebagai harapan baru yang muncul dengan memutuskan untuk mendatangi keluarga, Frada meringkus diri dalam selimut setelah dia merasa lebih baik sejak sejam lalu. Dirinya berada di kamar tidur, seharian. Dan Frada rasa besok baru akan memulai bekerja, karena sejauh ini pun Xander belum juga menguhubunginya. "Frada, makan dulu ini!" seolah menjadi asisten seorang selebriti, Eva berjalan ke sana kemari sambil menerima beberapa telepon dan melihat agenda milik Frada. Selera makan Frada mendadak hilang. Tiba saja kepalanya berat meski telah mengkonsumsi aspirin untuk pertama kalinya, sejak Frada memiliki fobia dengan ketinggian. Makanan di meja dibiarkan begitu saja, Frada memilih untuk melihat ponsel yang sedari tadi bergetar. Panggilan dari Gio. "Hei, Frada. Apa kabar kau, huh? Angkat teleponnya! Suara getaran itu seperti gempa bumi, kau ganggu saja!" ucap Eva ketika merasa dirinya terusik. Lalu Frada mengakhiri panggilan setelah dia menjawab Gio beberapa detik. "Sudah, Nyonya! Maaf mengganggu." Eva memiringkan sisi bibirnya. Dasar. Dia pun mengakhiri panggilan dari seorang pria untuk Frada. Eva meletakkan buku berukuran sedang ke nakas, duduk di sebelah Frada dengan muka surut menahan sesuatu. "Banyak sekali laki-laki yang menanyakan kabarmu, huh? Dan itu merupakan kolega keluarga Ivanska. Bagaimana jika aku tidak menjawab, tidak melaporkan kabarmu hari ini?" Frada menegakkan punggung. "Siapa peduli itu, Nyonya Eva?" "Hei, kau tahu aku ini sibuk 'kan? Sibuk menata jadwalmu, menyiapkan baju-bajumu besok, aksesori, dan … Ah, sialan! Dan semua yang ada padamu nanti, aku yang mengurus? Benar-benar kau ini menyebalkan, Frada!" ucap Eva mengamati bos yang telah dianggap sebagai sahabat. Wajah Frada masih lesu jika harus menghadapi semua itu, wanita di depannya memang dapat memberi sebuah hiburan. Tetapi, Frada tetap harus beristirahat hari ini. Dan esok semua energi akan keluar, demi pekerjaan baru dan pengalaman baru di perusahaan keluarganya sendiri. Tanpa peduli Eva lagi, Frada memutuskan untuk tidur. Namun, ketika matanya terpejam dia seolah mengingat sesuatu yang teramat mengerikan, sebuah kejadian sulit bagi dirinya selama tiga Tahun ini. "Pergilah!" Suara Frada memang terdengar sangat lirih. Tetapi, Eva dapat mendengar dengan baik. Dia mengusap sisi wajah Frada yang berkeringat, mengoleskan lagi cairan pereda sakit kepala. "Kau pasti bisa, Frada! Yakinlah, dia … Sudah tidak akan kembali lagi!" Bagai nyanyian tiap Frada akan memutuskan untuk tidur, dia mendengar dengan sempurna suara Eva. Kemudian mengabaikan setiap apa yang terucap, dia sudah tidak lagi mengingat apa pun meski terkadang bayang itu datang tanpa permisi. [...] Senin yang cerah, mengundang seluruh harapan pada awal Minggu ini telah datang. Senyum merekah dari bibir merah itu mengusung semua pikiran dan ambisi barunya. Frada menggerakkan pinggul, menari ke sana kemari mengiringi irama dari lagu yang biasa didengar melalui ponsel sebuah aplikasi berbayar. Menirukan tiap kata dari lagu itu sudah menjadi kebiasaan Frada setiap pagi, saat akan melakukan berbagai aktivitas. "Eva, cepat kemari!" Hanya dari sebuah alat yang terpasang di setiap ruangan, Frada dapat memanggil salah satu asisten yang dimiliki. Dan dia hanya berminat Eva membantunya untuk mengencangkan tali pada kalung sebuah aksesori miliknya. "Aku datang, ada yang bisa saya bantu No…," kedua mata Eva membulat. "Apa-apaan ini? Kenapa kau … Pakai pakaian seperti ingin pergi bernyanyi?" "Ini bukan seperti akan bernyanyi, Eva. Tapi ingin mengunjungi sebuah konser, akulah fans fanatik yang sesungguhnya." ucap Frada memicingkan bibirnya. Eva tidak bergerak dari tempatnya saat ini, dia merasa Frada telah menjadi sesuatu yang gila. "Kau akan menakuti banyak orang di kantor nanti, Frada!" "Kenapa mereka harus takut? Aku bukan ingin ke kantor, tapi … Melihat festival musik pertama kalinya di Indonesia. Bukankah itu sangat menyenangkan, Eva?" Frada tampak bersemangat. "Tidak, sama sekali! Kau," Eva langsung menarik tangan Frada. "Harus mengganti bajumu, Frada!" "Hei," Frada bersikeras akan ini. "Hari ini kau cuti, terserah kau akan apakan hari liburmu! Besok, kita akan mulai bekerja!" Kedua tangan Eva terbuka, pandangan penuh tanda tanya. "Kau … Benar-benar gila, Frada!" "Oh, ayolah Eva! Aku ini hanya bersifat waras, layaknya gadis kebanyakan, pergi ke pesta bersama teman-teman, minum, belanja, dan …," "Kau bukan anak kecil, Frada!" suara Eva meninggi, dia hanya sudah tidak sanggup menghadapi sikap Frada akhir-akhir ini. Mimik wajah itu mulai berbeda, Frada pun berhenti bertingkah aneh dan menjijikkan. "Hei, kau tidak perlu khawatir untuk masalah ini! Aku pergi ke festival musik bersama Ayahku, bukankah ini adalah sesuatu yang baik? Aku dan Ayahku, akan memulai hubungan lebih dekat lagi." "Tidak mungkin, Frada." tentu saja Eva ragu, karena Nathan bukanlah sosok pria seperti itu. Bersifat murah dan mau berbaur dengan sembarang orang. "Kalau tidak percaya, kau bisa ikut bersamaku!" jawab Frada seolah menantang juga ingin memberi bukti. Eva menggelengkan kepala, tentu bukan ide bagus. "Tidak, terima kasih. Tapi, aku akan menyiapkan baju ganti untukmu ya! Kau tidak mungkin hadir di acara rapat dengan pakaian seperti itu!" Frada mengangkat kedua bahu. "Terserah kau saja!" Setelah Eva menyiapkan apa semua keperluan, Frada segera keluar dari kamar. Tetapi, dia berhenti di depan pintu kemudian berbalik arah. Dia mendatangi lagi tempat Eva yang sedang berdiri, lalu menunjukkan sebuah pesan singkat berasa Nathan beberapa jam lalu. Dengan Frada didampingi oleh satu penjaga, tanpa banyak bicara karena hanya menghabiskan banyak energi akhirnya dia bergegas keluar dari area kamar. Dia hanya tidak ingin membuang waktu, hari pertama pada kesibukan diawali dengan acara sakral yang menyenangkan bersama Ayahnya. Tak peduli dengan apa pun, Frada hanya ingin berjuang atas dirinya. Menjaga semua hubungan baik dengan orang-orang di sekitar, karena dengan memulai kehidupan baru Frada perlu banyak mempersiapkan mental dan keyakinan atas dirinya di negara kelahiran Kakeknya. [...] Bukan semata Frada mengenakan pakaian yang cukup berbeda kali ini, dia mencoba untuk menunjukkan dirinya tanpa membedakan asal dan apa pun itu yang berhubungan dengan genetik saat berada di dekat orang-orang. Sekitar sepuluh menit lamanya menunggu, Frada kini menjumpai Ayahnya yang sedang menunggu di area stand. Di sana Frada berdiam diri di belakang Nathan, mulai mendiskusikan apakah dia akan memeluk atau sekadar menyapa dengan sewajarnya. Namun, tampak anak buah Nathan telah menunjuk dirinya. Nathan pun menoleh. "Hai, anak gadis. Apa kabar?" Tangan Frada terasa kaku, ingin rasanya memeluk bahkan bermanja-manja seperti dulu dengan Nathan. "Hai Pi, aku baik. Papi sendiri, apa kabar?" "Baik, sayang. Sini, peluk Papi!" ucap Nathan memulai sebuah kedekatan baru. Pertama Frada melingkarkan tangannya di pinggang, kemudian memeluk erat Nathan seolah dia tidak ingin kehilangan momen ini lagi. "Pi, maaf ya aku telah dateng ke Indonesia. Padalah harusnya aku dateng pas Xander mau ngenalin calon istri dan keluarganya." "Enggak masalah, Sweety. Kamu dateng sekarang pun, bagi Papi tetap sama kok." ucap Nathan menyandera semua sikapnya yang dulu. Perubahan besar yang perlu dilakukan oleh seorang Ayah kepada putrinya, adalah Nathan harus mulai menata hati dan cara berpikirnya untuk lebih mendewasakan keadaan. Baik ketika Nathan merasa Frada harus dimengerti dan dijaga. Setelah keduanya selesai dengan perjumpaan yang cukup mengharukan, Nathan membimbing Frada ke salah satu tempat menjual makanan. "Sebelum acara dimulai, Papi mau kenalin kamu sama masakan di sini. Jangan ragu, rasanya enak." "Enak aja enggak cukup, kalau kurang sehat Pi." Frada selalu menekankan agar Nathan menjaga pola hidup sehatnya. Bukan semata perhatian biasa, Nathan selalu merasa terharu jika anak-anaknya begitu memperhatikan setiap gaya hidup yang dilakukan. Dia telah melakukan perubahan besar bagi dirinya, semua dikarenakan ketiga anaknya yang telah membimbing untuk lebih berbuat profesional terhadap tubuhnya. "Kan yang sehat juga ada, lagian sekali-kali enggak masalah. Mental juga perlu diperhatikan, dengan kita makan makanan yang disukai itu cukup membuat pikiran kita jadi waras." jawab Nathan bukan bermaksud membantah Frada. Dari sekian ucapan Nathan yang selalu mengenai pekerjaan dan komitmen hidup, kini Frada bisa mendengar kata-kata bijak terkesan lucu. "Siap, Papi." Mereka pun sudah mendapat tempat duduk, memesan makanan. Namun, karena perlu menunggu lumayan lama akhirnya Nathan pamit kepada Frada sebentar untuk menjawab sebuah panggilan. Tanpa ada larangan, Frada pun mengiyakan dan dia menunggu sambil bermain ponsel. Saat akan membuka aplikasi, tiba saja Frada mendapat pesan dari Xander yang mengatakan 'aku sudah menunggu di kantor, kamu di mana?'. Frada terhenyak, dia menatap ke arah Nathan yang sedang sibuk di depan pintu warung tenda. Merasa akan terlambat, Frada pun menelpon Xander. Panggilan juga tidak perlu menunggu lama, karena Xander telah menjawab. "Kak, aku bakal telat deh." "Telat gimana maksud kamu? Ini rapat udah mau dimulai loh!" ucap Xander terdengar menahan suara. "Ya, aku telat. Ini lagi makan sama Papi di festival musik." jawab Frada sedikit takut Xander akan marah. "Apa?" Dugaan Frada memang benar, suara Xander terlalu keras untuk didengar di panggilan telepon. Frada pun menjauhkannya dari telinga. "Iya, aku sama Papi lagi di acara festival musik." Tidak lama, sepersekian detik saja Xander telah mengakhiri panggilan. Frada mendadak dikepung rasa sesal. Tetapi, bagaimana pun dia juga sedang berjuang untuk memperbaiki keadaan bersama Ayahnya. Setelah Frada berperang dengan suasana hati, kini dia menjadi lebih semangat saat mencicipi menu yang ada di meja. Mulut dipenuhi makanan, Frada mengacungkan dua jempol ke Natha. "Enak." Nathan puas melihat hal ini, dia tidak salah memilih meski dia menganggap acara hari ini terkesan sangat sederhana. "Kan Papi udah bilang, kalau makanan di sini tuh enak." "Iya, enak. Kapan-kapan kita ke sini lagi ya, Pi." Frada sudah menyiapkan janji. "Enggak perlu nunggu nanti, kalau kamu mau nambah ya tambah aja! Papi tungguin." bukan basa-basi semata, Nathan memang menginginkan Frada menerima semua tanda kasih sayang yang diberikan. "Jangan ah, aku udah kenyang." jawab Frada mengusap perutnya. Mereka tidak lagi saling berargumen meski ini hanya masalah kecil, Frada lebih dulu selesai sedangkan Nathan memilih untuk menyisakan makanannya di piring. Tanda bahwa dia sudah terlalu kenyang, porsi untuknya sudah berbeda dari faktor usia dan penyakit yang dia rasakan. Selang menit berlalu, Nathan memesan minuman khas dari Indonesia. Jahe. Tetapi, rupanya Frada tidak menunjukkan rasa suka. "Maaf, mau pesen yang lain?" "Udah, enggak usah Pi! Aku minum air mineral aja." Frada menunjukkan sebotol air minum dalam kemasan. "Ok, Papi mengalah. Eh tapi, ada sesuatu yang menyenangkan buat kamu, Frada." Nathan tampak tegang. Sejak masuk ke warung tenda, Nathan memang berniat membicarakan sesuatu pada Frada. "Apa itu, Pi?" Lama, Nathan hanya menikmati keadaan sekitar tanpa berani memulai pembicaraan. Tetapi, kemudian Nathan menenggak minuman di gelasnya, mencoba untuk menenangkan hatinya. "Um … Papi udah pintu orang yang bakal jagain kamu ke mana kamu pergi." Penjaga? "Pi, apa perlunya aku seorang penjaga? Aku … Bukan putri." "Kamu putri Papi, harta satu-satunya dalam hidup ini." jawab Xander seketika mematahkan ucapan Frada. Nathan tahu jika ini akan mengalami kendala, Frada bukan gadis penakut atau pun manja. "Ya, tapi kan kamu orang baru di sini. Belum banyak kenal orang." "Papi, wajar. Dan aku perlu beradaptasi dengan keadaan, lingkungan dan makanan 'kan? Aku tidak butuh penjaga, cukup Eva dan keluargaku yang lain." Frada membantah dan menolak. "Cuma ini yang bisa Papi lakukan," Nathan sempat merasa Frada akan keras dalam menolak ini. "Kamu, anak gadis Papi satu-satunya. Kalau ada apa-apa siapa yang bakal ngawasin kamu, Frada? Kita enggak tau apakah keamanan di negara ini bisa menjamin kamu baik-baik aja." Frada tertunduk, apa yang ada pada diri Ayahnya memang tidak akan berubah. "Aku enggak butuh penjaga, Pi!" "Nak, kamu ini banyak yang …," "Suka? Biarin aja mereka suka, itu perasaan yang enggak bisa kita larang 'kan? Lagipula … Aku enggak macam-macam sama mereka!" Frada semakin kurang dalam menerima semua, kini dia tahu tujuan Nathan mengajaknya pergi bersama. Kemudian Frada bangun dari tempat duduk, dia sempat akan pergi sampai akhirnya menatap Nathan lagi. "Papi, aku sangat berterima kasih mengenai ini. Tapi … Beneran, aku enggak butuh pengawal. Lagian apa kata orang nanti? Aku bagaikan seorang putri raja, lagian juga aku bisa jaga diri." Nathan setuju, dia menunjukkannya dengan menundukkan kepala. "Ya, jika itu kemauan dan pilihan kamu." Frada tidak menyesal ketika dia menolak. Tetapi, dia hanya merasa bersalah melihat Nathan kecewa. Walau Frada tahu betapa kasih sayang itu teramat besar, dia pun telah mengetahui semuanya jika Nathan hanya berniat mengawasi semua pergerakan dan aktivitas selama di Indonesia. Usai membantah, yang menurut Frada ini perlu dilakukan akhirnya dia pamit. Dia pun segera mendatangi Xander. Sekitar lima belas menit perjalanan, Frada pun sampai di gedung SKA dan rapat sedang berjalan. Frada mengetuk pintu. Dia mendapati orang-orang fokus padanya. "Selamat pagi, maaf saya terlambat." Frada mencapai satu persatu tangan untuk saling berjabatan, sebagai tanda kesopanan yang telah diterapkan ke semua orang. Dari sisi kiri meja oval, tepat berada di bangku paling depan tampak Xander mengamati dengan wajah kurang suka. Frada mencoba tenang, dia mengabaikan apa yang diberikan saudaranya. Tentu hal pertama yang dilakukan Frada adalah duduk tenang, tanpa membuat ulah, dan mengajukan pertanyaan yang wajar dan masih dalam berada di lingkaran bisnis milik SKA.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD