Bab 2

1833 Words
Sore itu, bangunan megah yang disebut dengan sekolahan itu sudah mulai sepi. Hanya beberapa orang yang masih terlihat lalu lalang di tempat itu. Di halaman sekolah sana, nampak 2 anak manusia yang berjalan beriringan dengan santainya. Dua sahabat yang tak dapat dipisahkan, siapa lagi kalau bukan Ardi dan Awan. "Eh, Di. Lo pulang naik apaan?" tanya Awan. "Nggak tahu, kayaknya sih mau naik pesawat, atau kalau nggak ya kapal," jawab Ardi dengan candanya. "Yeee... gue nanya serius, Jona," Ledek Awan memanggil Ardi dengan sebutan Jona, karena memang nama lengkapnya Jonathan Ardilan. "Gue juga serius, mendung," balas Ardi memanggil Awan dengan sebutan mendung. "Enak aja gue dipanggil mendung," oceh Awan yang dibalas dengan tawa menggelikan dari Ardi. Entah kenapa suasana sekolah yang tadinya sepi berubah menjadi riuh akibat tawa kedua orang itu. Sebuah tingkah bodoh dari 2 orang sahabat yang dapat menghidupkan suasana. Dua sahabat itu terus berjalan beriringan ditengah hamparan halaman sekolah yang luas. Hingga sebuah pintu gerbang menyambut mereka, atau bahkan mengusir mereka untuk pulang. Ketika 2 orang itu sudah keluar beberapa meter dari pintu gerbang, tiba-tiba langkah salah satu dari mereka terhenti. Awan menghentikan langkahnya hingga mau tidak mau Ardi pun mengikuti gerakannya. "Lihat tu!" ucap Awan sambil menunjuk sesuatu yang berada jauh di depannya. "Apaan?" tanya Ardi yang kemudian menoleh mengikuti arah telunjuk itu. Tak salah lagi yang ditunjuk oleh Awan adalah seorang gadis yang mereka temui tadi pagi, dia adalah Syila. "Udah, jangan dilihatin terus, langsung tembak aja!" perintah Awan yang sedari tadi melihat sahabatnya itu menatap tanpa berkedip kearah gadis itu. "Gue bingung deh sama lo, bukannya tadi pagi itu lo ya yang suka sama dia, kok sekarang bawa-bawa gue," ketus Ardi. "Heh, gue tu bisa cari cewek yang jauh lebih cantik dari dia. Lha lo, dari zaman pra aksara sampai sekarang juga nggak pernah tu yang namanya pacaran. Makanya, gue sebagai sahabat yang baik merelakan adik Syila untuk lo," ucap Awan panjang lebar. "Udah ngomongnya? Tu pesawat gue udah dateng," ucap Ardi seraya menunjuk sesuatu yang menuju kearah mereka berdua. "Cih, pesawat yang bagus bro," sindir Awan ketika ia melihat benda bergerak itu yang tidak lain adalah angkot. Ardi pun menghentikan angkot itu dan menaikinya. Hal itu tentu saja diikuti oleh sahabatnya karena memang arah rumah yang searah. Di dalam angkot itu cuma ada mereka dan satu penumpang yang sudah tua renta ditambah lagi dengan sopir dan keneknya. "Heh, si kaya naik angkot," sindir Ardi kepada Awan. "Hey, terkadang seseorang itu harus mencari sensasi yang berbeda agar ia bisa merasakan apa yang orang lain rasakan," ucap Awan. "Dan lewat sensasi itulah ia dapat memahami perasaan setiap makhluk," sambung Awan. Ardi melongo mendengarnya, seolah-olah tak percaya bahwa yang ia ajak bicara itu benar-benar Awan. Bagaimana mungkin seorang Awan bisa mengeluarkan kata-kata sebijak itu, namun itulah faktanya. "Tumben lo bisa merangkai kata-kata indah," ucap Ardi. "Gue gitu lho," jawabnya dengan lagak sombongnya. Angkot itu terus melaju dengan membawa 2 sahabat itu sampai ke tempat tujuan. Seolah-olah tak memperdulikan penumpang lain, keduanya asyik bercanda hingga sampai di tempat yang mereka inginkan. Mereka pun turun sembari menyodorkan uang ke kenek angkot tersebut. Jarak antara tempat mereka turun dan rumah mereka masih lumayan jauh. Hingga pada akhirnya keduanya berjalan di bawah teriknya sang matahari sore. Tetesan keringat mulai membasahi wajah mereka. Entah kenapa sore itu hawanya sangat panas, bagai di neraka yang panasnya tiada tara. "Hufff, panas banget nih hari, tau gini gue minta papa gue jemput pake mobil lamborghini," keluh Awan. "Emang lo punya?" tanya Ardi memastikan. "Ya nggak sih," jawab Awan tanpa dosa. "Heee... lagian aneh juga sih hari ini. Padahal ada mendung, tapi kok masih panas ya?" ucap Ardi. "Woy, mata lo katarak ya? Mana ada mendung, mana?" tanya Awan sambil menunjuk langit yang sangat cerah, tak ada mendung sedikitpun. "Jehhh, mendung nyari mendung," gumam Ardi. Sontak Awan pun menampakkan kekesalannya kepada sahabatnya itu. Sedangkan Ardi hanya tertawa tanpa dosa. Melihat sahabatnya seperti itu, bukannya kekesalannya bertambah, ia malah tersenyum geli hingga pada akhirnya ia pun tertawa lepas. Berbagai canda tawa mereka berhasil memaksa sang waktu untuk terasa bergerak sangat cepat. Hingga merekapun sampai di pertigaan yang memisahkan rumah sepasang sahabat itu. "Baiklah, kita berpisah di sini, kawan. di sebuah pertigaan pemisah raga. Biarpun bentangan jarak akan memisahkan kita, biarpun arah jalan pulang kita akan berbeda, tapi aku yakin suatu saat nanti tujuan hidup kita akan sama," oceh pria kribo itu panjang lebar. "Sok puitis lo!" sahut Ardi. "Ha ha ha ha ha, sekali-kali nggak apa-apa, kan? Lo lewati aja jalan di depan lo itu, selamat sore kawan," ucapnya sambil melangkahkan kakinya menuju arah rumahnya. Ardi masih terpaku di tempat ia terakhir menghentikan pergerakannya tadi. Ia masih tak mengerti dengan kata-kata puitis dari sahabatnya itu. "Gini amat hidup gue, punya teman gak jelas banget," ucap Ardi. Tak berselang lama, ia pun kembali melakukan langkah pertamanya menuju rumah. Kali ini ia sendirian, tanpa dampingan seorang sahabat di sampingnya. Agak sepi memang, namun ia merasa lebih tenang karena sudah tak ada ocehan-ocehan tidak jelas dari manusia kribo itu. Tak butuh waktu lama, langkah kakinya membawanya ke tempat yang ia tuju, yaitu rumahnya. "Sahabat terkadang memang menyebalkan, tapi dari situlah kita bisa mendapat warna dari sebuah kehidupan." - Jonathan Ardilan - *** Ardi sudah berdiri tepat didepan pintu rumahnya, ia ragu untuk membukanya. Ia yakin didalam sana terdapat jiwa sedih seorang ibu yang memikirkan nasib anaknya. Namun mau tidak mau, dia harus membuka pintu masuk itu meski tak tau apa di dalam sana ada sang ibu atau tidak. Ia membuka pintu perlahan hingga benar-benar terbuka. Dan benar saja, seorang wanita paruh baya telah menyambutnya. Kali ini firasatnya salah, sang ibu menyambut kedatangannya dengan senyuman, bukan sesuai apa yang dipikirkannya barusan. "Udah pulang, Di?" tanya Ibu Ardi kepada Ardi. "Udah, aku ke kamar dulu ya, Bu," ucapnya. Mungkin ia takut kalau ibunya akan menanyakan tentang kakaknya yang pasti akan membuatnya kecewa. "Nggak makan dulu?" tawar Ibu Ardi. "Nanti aja," jawabnya singkat sambil berlalu dari hadapan ibunya. Ia masuk ke kamarnya dengan tatapan kosong, memikirkan kembali janji ia kepada ibunya. Biar bagaimanapun juga dia tetaplah seorang Jonathan Ardilan, seorang manusia yang pantang mengingkari janjinya. Lagipula, selain karena janji itu, dalam hatinya juga sangat berharap kalau kakak perempuannya itu bisa ditemukan. "Bagaimana mungkin aku bisa menemukan sebuah wajah yang telah berubah? Bagaimana pula aku bisa mengenali onggokan-onggokan daging kecil yang telah membesar?" "Cihhh, kenapa aku jadi frustasi seperti ini. Ayolah, jangan frustasi Ardi! Ingat janjimu pada ibumu!" ucap Ardi menyemangati dirinya sendiri. Ardi membaringkan tubuhnya di kasur. Perlahan ia mulai memejamkan mata, ia bingung harus berbuat apa. Rasa lapar tiba-tiba membuat perut Ardi meronta-ronta. Butiran benda putih itu belum sempat masuk ke perutnya dari tadi pagi. Ia berjalan keluar dari kamarnya dan menuju dapur untuk mencari keberadaan sang nasi, yang pastinya beserta lauknya dan juga minumannya. Namun di tengah-tengah perjalanannya ke dapur, ia melihat sebuah foto yang terpampang jelas di bingkai yang menempel di dinding rumahnya. Sebuah foto lama yang menggambarkan tentang harmonisnya keluarga. Ada bapak, ibu dan 3 orang anaknya. Namun seorang balita yang berada di tengah itu kini entah di mana keberadaannya. "Kak Lita, mungkin aku tak pernah melihat wajahmu secara langsung. Tapi mungkin benar apa yang aku ucapkan tempo hari. Seorang saudara pasti mempunyai ikatan batin yang kuat dengan saudaranya yang lain," gumam Ardi sambil terus memandangi foto itu. Ardi menghela napas, teringat kembali dengan kejadian dulu. Ya, dulu semua anggota keluarganya termasuk dia tak henti-hentinya berusaha menemukan keberadaan kakaknya itu. Namun selalu saja setiap pencarian selalu mendapat kekecewaan. Ia frustasi dengan keadaan itu dan tak mau melanjutkan pencarian. Hingga ia melihat bapak dan kakaknya yang tanpa lelah terus berjuang mencari keberadaan kakaknya itu, serta seorang ibu yang selalu nampak bersedih meski telah ikut berusaha untuk melakukan pencarian. Dari situ ia tersadar, ia tak ingin melihat semuanya bersedih. Ia tak ingin melihat orang-orang yang disayanginya meneteskan air mata. "Aku janji akan berjuang untuk menemukanmu, Kak Lita." "Demi ibu dan yang lain, dan juga demi aku," ucap Ardi. Perlahan lesung pipinya mulai nampak dikarenakan senyumannya. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya menuju dapur untuk mengisi perutnya dengan butiran nasi. Dan di meja makan sana sudah nampak sepiring nasi dan juga lauk pauknya, nampaknya sang ibu telah menyediakannya untuk anak yang ia sayangi. Tak butuh waktu lama, tangan dan mulutnya mulai beraksi untuk menyantap seporsi makanan dengan menu sederhana itu. Perlahan gumpalan kedelai yang menyatu dan butiran nasi itu sudah mulai habis. Ardi sangat kekenyangan dan menyandarkan tubuhnya ke kursi yang ia duduki. "Sudah makan, Di?" Sebuah suara yang cukup familiar membuatnya terhentak dan langsung duduk dengan tegak sambil mencari arah suara itu. "Sudah Bu," jawabnya ketika ia melihat ibunya tengah berdiri disamping meja makan. "Baguslah, jangan lupa piringnya dicuci!" perintah ibunya. Ardi memasang wajah tak enak, tapi kemudian ia memaksakan dirinya untuk tersenyum. Dan akhirnya ia pun beranjak dari meja makan untuk mencuci piring sekaligus sendoknya. Dia kemudian pergi ke kamarnya lagi, namun baru saja satu langkah ia melewati pintu kamarnya, hatinya seolah-olah memerintah raganya untuk melakukan sesuatu demi ketemunya seorang kakak yang telah lama hilang. "Aku harus menemukannya, agar beban hidup seluruh anggota keluargaku bisa berkurang." "Ya, harus, harus ketemu." "Di manapun itu, aku harus yakin Kak Lita dalam keadaan baik-baik saja," ucap Ardi. Ia berniat mencari kakaknya atau paling tidak mencari informasi tentang keberadaan kakaknya itu. Tak peduli dengan lamanya waktu semenjak kejadian hilangnya sang kakak, ia yakin bahwa masih ada secuil harapan untuknya dan juga keluarganya. Dengan buru-buru, ia melepaskan seragam sekolah yang nasih melekat di tubuhnya. Menggantinya dengan sebuah celana panjang dengan kaos lengan pendek yang ditutupi jaket. Ia kemudian berjalan keluar kamar dengan semangat yang berapi-api demi satu tujuan yang pasti. "Mau ke mana, Di?" tanya sang ibu ketika ia beranjak pergi. "Ngerjain tugas buat MOS besok, Bu," jawab Ardi. Sebenarnya pun ia bukan mengerjakan tugas sekolah, tapi untuk mencari informasi tentang kakak perempuannya itu. Ia tak ingin jika nantinya ia pulang dengan kekecewaan, sang ibu ikut menanggung kekecewaan itu. "MOS? MOS tu apa?" tanya ibunya dengan lugu. Wajah Ardi tiba-tiba mengkerut mendengar pertanyaan tak bermutu yang dilontarkan oleh sang ibu kepadanya. "Masa Orientasi Siswa, Bu. Hadeh," jawab Ardi. "Ohhh... Ya udah, sana!" "Nanti keburu malem lho," perintah sang ibu. " Iya-iya Bu." Ardi pun melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Namun sebuah suara terdengar memanggil namanya. Tak salah lagi kalau asal suara itu berasal dari belakangnya. "Ardi...." Jelas sekali itu adalah suara ibunya. Dengan perasaan yang tak karuan ia mencoba untuk tidak menduga-duga hal yang belum pasti. Benar, Ardi menduga kalau ibunya kembali teringat dengan sosok anak perempuannya alias kakak perempuan Ardi. "Ada apa Bu?" tanya Ardi tetap dalam posisi membelakangi sang ibu tanpa berani sedikitpun menengok ke belakang. "Jangan pulang terlalu petang!" Ardi menghela napas lega, rupanya firasatnya itu sering salah. Faktanya sang ibu tak membicarakan soal Lita. "Hmmm, iya Bu," jawab Ardi sembari melanjutkan langkahnya. "Seburuk apapun keadaan seseorang, ia tetaplah makhluk yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk mempunyai salah satu dari banyaknya ekspresi, yaitu tersenyum." - Jonathan Ardilan -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD