Bab 3

1909 Words
Ardi berjalan menyusuri sepinya jalanan. Sinar mentari masih terasa menyengat tubuh meski hari sudah mulai sore. Mungkin itu sebabnya jalanan yang ia lalui begitu sepi, orang-orang malas ke luar rumah karena panasnya hari tanpa segumpal mendung pun. "Ayolah Ardi, berpikir! Kemana lo akan pergi sekarang?" gumamnya. Ardi menghela napas panjang, keringat mulai menetes dan membasahi wajahnya. Ia tak tau harus berjalan kemana untuk mencari informasi tentang kakaknya. Ia hanya berjalan tanpa tujuan mengikuti ke manapun kakinya melangkah. "Oh ya, tempat itu," ucapnya sembari ia menghentikan langkahnya. Ardi sadar akan suatu hal, sebuah tempat dengan sejarah kelam di mana itu adalah tempat terakhir sebelum kakak perempuannya itu benar-benar hilang. Lebih tepatnya itu adalah area yang diceritakan oleh para penculik itu sebagai tempatnya menyembunyikan Lita dulu. Ia berjalan cepat untuk menuju tempat itu karena memang jaraknya yang lumayan jauh. Namun sampai di sebuah pertigaan ia melihat seseorang yang cukup familiar dimatanya. Seseorang berambut kribo dengan tingkah yang menyebalkan. "Woy mau ke mana lo?" teriaknya sembari berjalan mendekati Ardi. "Ke Portugal, mau nemuin C. Ronaldo," jawabnya asal-asalan. "C. Ronaldo di Italia kale, sekarang," sangkalnya. "Udah pulang dia, lo sendiri mau kemana?" tanya Ardi balik. "Nih gue dapat undangan dari seseorang untuk makan-makan. Gila, tempatnya jauh Bro, tapi karena undangan ini spesial ya gue harus dateng," Jawabnya. "Wihhh spesial, hebat lo. Emang siapa yang ngundang lo?" tanya Ardi penasaran. "Raja Salman," jawab Awan tanpa beban. Ardi memasang wajah yang tidak enak dipandang, seolah-olah ia merasa bodoh karena telah mempercayai orang bodoh pula, bahkan sudah sampai menyanjungnya. "Heh, lama-lama gue bisa gila nih," gumam Ardi. "Ha ha ha ha ha. Iya-iya, tadinya gue mau ke rumah lo, eh udah ketemu lo disini," ucap Awan. "Ke rumah gue, mau ngapain?" tanya Ardi. "Ya mau nyontek tugas buat besok lah," jawab Awan dengan entengnya. Ardi menghela napas berat, tak menyangka bahwa ia mempunyai sahabat segila itu. "Gue mau nyari kakak gue," ucap Ardi dingin. "Ngapain Kak Heri dicariin? udah besar juga," ucap Awan. "Hufff, bukan Kak Heri, tapi Kak Lita," jawab Ardi yang tiba-tiba mulai serius dengan kata-katanya. "Kalau gitu gue ikut." Ardi menatap sahabatnya itu sebentar, sebelum kemudian tersenyum kecil dan mulai melangkah untuk mencari informasi tentang kakak yang tak pernah ia lihat itu. Perjalanan ke tempat itu memakan waktu yang lumayan lama. Sampai di sana mereka berdua mulai melakukan pencarian. Dengan bermodal foto masa kecil kakak perempuannya itu, Ardi mencoba menanyakannya ke setiap orang yang mereka temui. Mungkin agak mustahil mengingat foto itu adalah foto yang sudah bertahun-tahun lamanya. Tapi tak ada salahnya juga mencoba, siapa tau ada seseorang yang dulu pernah melihat dan mengingatnya sampai saat ini. "Di, gimana nih. Kita udah nanya-nanya tapi masih nggak ada yang tahu," keluh Awan. "Gue yakin sejarah itu tak akan pernah hilang, Wan," kata Ardi. "Kita cari lagi!" ucap Ardi lagi. Kedua sahabat itu berjalan lagi menyusuri setiap jalan yang berada di depan mereka. Menghampiri semua orang yang mereka temui dan memperlihatkan sebuah foto dari seorang gadis kecil itu. Namun tetap saja tak ada yang tau, bukan tak ada, mungkin belum ada. Panas matahari sudah mulai sedikit memudar di kala hari yang sudah semakin sore. Tapi pencarian itu belum juga mendapat hasil. "Di...," panggil Awan. "Hmmm." "Sebelumnya maaf ya, gue mau nanya. Kenapa lo begitu yakin kalau kakakmu itu masih ada? Maaf, bukan maksud menyinggung. Apa lo pernah berpikir kalau kakak lo udah nggak ada?" tanya Awan dengan perkataan yang sangat berhati-hati. Entah kenapa wajah Ardi terlihat merah padam mendengar pertanyaan itu. Tapi ia tetap mencoba tenang. "Insting anggota keluarga lebih hebat dari siapapun," jawab Ardi dingin. "Begitu ya?" Tak ada jawaban lagi dari seorang Jonathan Ardilan, ia terfokus pada jalanan yang berada di depannya seraya menggerakkan matanya ke sana ke mari untuk mencari sosok-sosok manusia yang bisa ia tanyai. Sedangkan Awan tidak seperti biasanya, kali ini ia tidak bertingkah menyebalkan. Ia tau betul tentang situasi itu. Tak terasa hari sudah semakin sore dan sore. Cahaya matahari pun sudah semakin redup, namun 2 sahabat itu terus-terusan berjalan tak tentu arah. Lelah tak dihiraukan, tetesan keringat seakan menjadi penyemangat. "Di, udah mulai petang nih, sebaiknya kita pulang dulu!" ajak Awan kepada Ardi. Lagi-lagi yang didapatkan Awan adalah jawaban tanpa suara dari seorang Jonathan Ardilan. Tekad pemuda itu begitu kuat untuk menemukan kakak perempuan yang telah lama hilang. Entah sudah berapa banyak orang yang ia tanyai di tempat itu dan tak ada satupun yang tahu. Namun sebuah tekad dan janjinya pada ibu tercinta mengalahkan segalanya. Tak ada kata lelah dan tak ada kata menyerah. "Di, jangan memaksakan diri lo, lebih baik kita pulang dulu!" ajak Awan untuk yang kedua kalinya. Ardi menatap kosong ke arah Awan, menandakan ketidak setujuannya dengan ajakan sahabatnya itu. "Ardi, sejarah mungkin tak akan pernah berubah. Tapi mana mungkin sejarah bisa mengembalikan sesuatu yang telah lama terjadi," ucap Awan dengan nada tinggi karena sudah mulai kesal dengan sahabatnya itu. Ardi terdiam sejenak mendengar kata-kata Awan. "Karena itu kita harus mempelajari sejarah tersebut," jawabnya dengan tenang. "Hufff, baiklah, kita akan mempelajarinya. Tapi sekarang sebaiknya kita pulang dulu!" Ajakan Awan yang ketiga kalinya. "Tapi...." "Besok kita akan ke sini lagi," ucap Awan memotong pembicaraan Ardi. Ardi tersenyum kecil, menatap sahabatnya yang telah memperlihatkan sebuah kedewasaan kepadanya. Biasanya ia adalah onggokan daging besar yang berotak kecil sekaligus berpemikiran seperti anak-anak. "Baiklah," ucap Ardi singkat. Meski harus pulang dengan kekecewaan, namun ia telah membuktikan tentang sebuah perjuangannya. Ucapan dan janjinya tak main-main. Dan bersama seorang sahabat tercinta, ia rela berjalan panas-panasan demi janji yang ia emban sekaligus keinginan dari hati terdalamnya sendiri. Matahari sudah mulai tergelincir di ujung barat. Petang hari telah tiba, 2 sahabat itupun sudah saling berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing. Seperti biasa, pertigaan itulah yang menjadi pemisah tentang kuatnya sebuah ikatan yang disebut dengan persahabatan. Namun terkadang juga, pertigaan itu pula yang menjadi tempat bertemunya 2 sahabat itu. "Pelajarilah sejarah! Maka kamu nanti akan menemukan sesuatu yang kamu cari." - Jonathan Ardilan - *** Pertigaan pemisah sudah tak nampak di mata. Ardi sudah berjalan terlebih dahulu meninggalkan sahabatnya yang berjalan ke arah lain. Ia terlihat sangat kecewa dengan hasil hari ini. Sebuah pencarian tanpa hasil, bahkan sedikitpun tak ada. "Hufff, mungkin lain kali." Itulah kata-kata penyemangat yang selalu muncul dari mulut seorang Jonathan Ardilan setiap kali ia gagal. *** Awan sedang berjalan dengan santai menuju rumah tempat tinggalnya. Meski sinar sang mentari sudah begitu redup, ia tak ingin tergesa-gesa untuk segera sampai di rumah. Palingan juga ketika sampai rumah, hal pertama yang dilakukannya adalah membaringkan tubuh di kasur empuknya sembari menunggu adzan magrib. "Gue mengerti sekarang, gue mengerti kenapa sikap dia berubah tadi." "Sesuatu yang berhubungan dengan kakaknya." "Iya-iya, gue paham. Perasaan dari seorang saudara." "Huff, gue janji akan bantu lo sebisa mungkin," gumam Awan sembari tetap berjalan. *** Ardi sudah sampai di ambang pintu rumahnya. Ia terlihat sangat lemas, seakan tidak punya semangat untuk hidup. Ia mengucap salam dan masuk ke dalam rumahnya. Tanpa banyak tingkah, Ardi langsung masuk ke kamarnya sembari menunggu lantunan suara yang bisa membuat hatinya tenang, yaitu lantunan adzan magrib. Malam harinya, ia tengah duduk di kursi dengan sebuah lembaran kertas serta alat tulis yang berada diatas meja. Nampaknya ia sedang mengerjakan sesuatu yang teramat sulit, hingga membuat ia frustasi. "Hah, sial! Baru masuk sekolah udah dikasih tugas," umpat Ardi seraya membanting bolpoinnya. Amarah Ardi tak bisa dikendalikan. Tapi saat itu terjadi, bapaknya berjalan mendekati dia dan ikut duduk di kursi yang tersedia disamping kursi yang di duduki Ardi. "Kenapa sih, Di?" tanya sang bapak dengan lemah lembut. "Nggak Pak, cuma sedikit emosi aja," Jawabnya. "Emosi kenapa?" "Biasa lah, tugas sekolah, disuruh membuat rangkaian kata-kata yang indah," Jawab Ardi. "Masa baru masuk udah ada tugas?" "Iya," jawabnya singkat. Sejenak, tak ada percakapan lagi antara mereka. Mereka telah larut dalam keheningan hingga Bapak Ardi membuka pembicaraan lagi. "Ardi.... berimajinasilah! Kelak kamu akan menemukan sebuah ide yang bisa membuatmu sukses," ucap sang bapak dengan menebar senyuman tulus seraya menepuk pundak Ardi. Ardi terdiam, menatap tajam wajah bapaknya itu. Ia mencerna sebuah perkataan menakjubkan yang baru saja keluar dari mulut bapaknya. Tak lama kemudian bapaknya berdiri dan meninggalkan dia sendirian duduk di kursi dengan lembaran kertas serta alat tulisnya di meja. Jujur ia kesal dengan guru barunya. Bukan guru barunya sih, melainkan kakak-kakak kelasnya yang memberikan tugas itu lewat perantara sang guru. Namun ucapan bapaknya membuat ia menemukan sesuatu di benaknya. Sesuatu yang menurutnya sangat berarti untuk memotivasi dirinya, serta untuk membangkitkan semangat yang sempat hilang dan menghilangkan emosinya. "Imajinasi, hmm ya ya ya," gumamnya. Ia mengambil bolpoin yang sempat ia banting tadi dan mencoba mengerjakan tugas itu lagi. *** "Heh, emang caper tu kakak-kakak kelas," umpat Awan. Sama seperti Ardi, malam itupun Awan sedang mengerjakan sebuah tugas yang sama pula dengan Ardi. "Halah, bodoh amatlah, mending gue nyontek Ardi besok," gumamnya lagi sembari mulai melangkah dari meja belajarnya. Ia duduk di sofa empuknya dan menyalakan televisi. Ia menonton sinetron kesukaannya seakan-akan tak ada sedikitpun beban untuknya. "Awan, tugas sekolah kamu udah selesai apa belum?" Sebuah suara membuat ia mendongak kaget dan mencari asal suara itu. Rupanya itu adalah suara mamanya. "Belum, Ma," jawabnya santai. "Kenapa belum?" tanya Mama Awan dingin. "Males," jawabnya asal-asalan. "Hufff, cepat selesaikan sekarang!" perintah mamanya dengan nada suara tinggi. "Iya Ma, nanti." "Nggak ada nanti-nanti. Cepat kerjakan! Atau mama nggak akan perbolehin kamu memakai satupun fasilitas di rumah ini," ancam mamanya. "Iyakah, terus aku harus tidur di luar, gitu?" tanyanya santai. "Of course." "Emang Mama tega?" tanya Awan yang semakin menjadi-jadi. "Mau nyoba?" Sontak pertanyaan terakhir mamanya itu membuatnya sedikit ketakutan. Ia pun pasrah dan kembali ke meja belajarnya. Awan tau watak mamanya itu, seorang wanita yang tak pernah main-main dengan ucapannya. Seorang wanita yang sangat menyeramkan saat sedang marah. *** "Hufff... akhirnya selesai juga." Ardi sudah selesai mengerjakan tugasnya. Ia menghela napas lega. Emosinya pun telah hilang. Akhirnya terciptalah rangkaian kata-kata indah yang murni diciptakan oleh seorang Jonathan Ardilan sendiri. Tak terasa jam di dinding rumahnya telah menunjukkan pukul 21.00 malam. Ia tidak langsung tidur, melainkan ikut bergabung menonton TV bersama yang lain di ruang keluarganya. "Udah selesai, Di?" tanya sang bapak yang tengah asyik menonton sebuah sinetron di TV. "Apanya?" tanyanya basa-basi. "Ngerjain tugasnya lah." "Oh... sudah," jawab Ardi. "Bohong Pak dia, palingan juga belum dan mau nyontek milik teman-temannya besok," sangkal sang kakak yang menatap tajam ke arah smartphonennya. "Sok tau lo," jawab Ardi. Tak ada percakapan lagi setelah itu, semuanya sibuk menonton sinetron yang menjadi favorit bagi kelurga itu. Kecuali Heri, alias Kakak Ardi, entah apa gunanya televisi yang berada di depannya sehingga ia lebih sibuk dengan layar dari sebuah benda kotak kecil itu. Tak lama kemudian rasa kantuk menyerang jiwa dan raga Ardi. Tak biasa-biasanya ia mengantuk pada jam segitu, mungkin itu efek lelah dari perjalanan jauh tadi sore. Tanpa permisi, ia berjalan menuju kamarnya meninggalkan bapak, ibu dan kakaknya yang masih asyik menonton sinetron. Kesadarannya seolah-olah hampir menghilang akibat kantuk yang teramat sangat. Ia langsung berbaring di kasurnya dengan posisi yang tak karuan. Lelah yang ia rasakan tadi sore seolah-olah semakin menjadi-jadi, hingga membuatnya mengantuk berat. Perlahan ia memejamkan matanya yang sayu. Dan akhirnya kantuk itupun hilang di kala dirinya telah terjerumus ke alam mimpi. Dan ke manakah mimpi akan membawanya pergi? Hanya dia dan tuhanlah yang tahu. Yang pasti matanya terus tertutup sampai sang fajar tiba dan memaksanya untuk membuka matanya lagi, menatap dunia itu lagi, lagi dan lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD