bc

DICINTAI RIVAL MANTAN

book_age18+
286
FOLLOW
2.8K
READ
dark
HE
boss
heir/heiress
drama
tragedy
sweet
bxg
lighthearted
loser
city
office/work place
actor
like
intro-logo
Blurb

Helia bangun dari koma dengan wajah baru dan ingatan yang terpotong enam bulan. Dunia lamanya runtuh saat ia pulang dan mendapati tunangannya kini bertunangan dengan kakaknya. Tersisih, Helia memulai hidup baru di Jakarta dan bertemu Bintang—“driver” yang tanpa ia tahu, telah mengenalnya sejak di Versailles. Bintang tak pernah bertanya apa yang terjadi, namun ia selalu hadir saat Helia membutuhkannya. Hingga cinta itu hadir dan Helia mulai menemukan kenyamanan dan kekuatan karena dukungan Bintang. Namun, ternyata masa lalu masih senang membayangi. Ketika kebenaran tentang kecelakaannya terbuka, Helia harus memilih: tetap bersembunyi dalam luka… atau melawan dengan cinta yang baru tumbuh.

chap-preview
Free preview
PENGKHIANAT
“Oh, Gav! Harder, baby!” Helia mematung. Suara itu berasal dari celah pintu di ujung lorong. “Oooh, Gav! I wish I could scream!” Ia... mengenal suara itu. Dan bukan hanya suara seorang perempuan, namun ada suara lain yang seolah menjadi latar. Geraman... milik seorang pria. “Gav!” “Shht! Oh, sh1t!” Air mata Helia mengalir bisu. Ia menyeret langkahnya, mengikis jarak dengan sebuah ruangan dengan gorden tebal yang tak tertutup rapat. “Aku tidak kuat lagi, Gav!” “Me too.” “Di dalam saja.” “Are you sure?” “Yes, please.” Suara dua orang yang mabuk nafsu itu kian menggema, seolah tak peduli jika bahkan angin bisa membawa cerita tak bermoral tersebut. Perempuannya meracau, prianya terus menghentak tubuh lawan mainnya seraya mengumpulkan geraman di d**a. Hingga... suara mengerang terdengar bergetar namun lantang. Helia menyimak semuanya, menusuk telinga dan hatinya. “…you’re unbelievable, Gav,” suara si perempuan, lirih namun penuh kepuasan. “Kamu yakin Helia ngga curiga?” Helia berhenti tepat sebelum pintu. Tubuhnya menegang, napasnya tertahan di tenggorokan. Sedikit lagi, ia bisa melihat ke dalam. “Kamu peduli?” balas pemain pria, tone-nya rendah dan sangat Helia kenal. “Helia terlalu… baik untuk curiga. Dan terlalu sibuk menyembah gambaran ‘masa depan ideal’ yang aku jual untuknya dan keluarganya.” Helia tak perlu melihat untuk tau siapa yang berbicara. Tangannya bergetar. Ia maju satu langkah lagi, cukup untuk mengintip ke dalam. Dan semua sisa penyangkalan yang tadi ia bangun runtuh seketika. Zetta duduk di tepian meja kayu panjang, tepi gaun merahnya terangkat hingga ke pinggang, sementara bagian atasnya merosot menampilkan bagian tubuh yang tengah dikecap oleh Gavin—tunangannya. Pria itu berdiri di antara kedua kaki Zetta, menempel... atau mereka masih menyatu. Satu tangan Gavin menahan punggung Zetta, tangan lainnya sibuk meremas. Lalu, bibir mereka beradu, ciuman yang lambat dan jelas terbiasa. “Kamu masih menginginkanku?” tanya Zetta dengan nada yang begitu menggoda. “Sayangnya kita tidak bisa meninggalkan pesta terlalu lama,” jawab Gavin. “Kutunggu di kamarku?” desah Zetta sambil melingkarkan kakinya di tubuh Gavin. “Persiapkan dirimu, aku akan menghujammu hingga pagi. Tanpa ampun! Bagaimana?” “Dengan senang hati.” Helia menatap tanpa bisa berkedip. Pita suara di tenggorokannya seolah membeku. Ruangan seakan menciut, menyisakan hanya tiga orang; laki-laki yang ia cintai, sahabat yang dulu pernah ia maafkan, dan dirinya sendiri yang berdiri di ambang pintu seperti figuran yang terlupa dimasukkan ke skenario. Ia tak tau berapa lama ia berdiri di sana. Zetta yang pertama kali menyadari. Perempuan itu membuka mata di sela ciuman menjijikkan, dan pandangannya bertemu tepat dengan mata Helia di balik tirai. Alis Zetta terangkat. Tak terkejut sama sekali, terlebih merasa bersalah. Parahnya, perempuan itu mengedipkan sebelah matanya, seolah mendapati Helia kacau sungguh menyenangkannya. “Ups,” gumam Zetta. Ia mendorong Gavin sedikit menjauh, lalu menggerakkan dagunya ke arah pintu. “Your fiancée’s here.” Gavin menoleh. Saat tatapan mereka bersirobok, ruangan itu tiba-tiba terasa terlalu sempit, oksigen seolah menolak masuk ke paru-paru Helia. “K-kalian,” suara Helia pecah, bergetar tak terkontrol. “G-Gavin?” Sesaat, Gavin hanya menatap. Rahangnya mengeras. Lalu, seakan mengingat perannya, ia melepaskan sentuhannya dari Zetta, menarik diri, dan tanpa malu mengenakan celanannya begitu saja. Tak lupa ia merapikan pakaiannya, juga dasinya. “Helia,” ujarnya datar. “Seharusnya kamu di ballroom, sayang.” Helia menarik napas dalam, kedua tangannya mengepal erat. Ia memaksa diri, mematahkan keterkejutannya, mengendalikan amarah yang bahkan panasnya sampai terasa ke daun telinga dan ubun-ubun. “Apa yang kalian lakukan?” tanyanya, terpatah-patah. Zetta turun dari meja sambil terkekeh. “Come on, Helia,” ujarnya tenang. “Don’t be so dramatic. Gavin punya kebutuhan, dan lo... terlalu sok suci!” Helia menatap tajam pada Zetta. “Ngga seharusnya gue maafin lo dulu! Dua kali Zetta!” “Maafin gue? Lo pikir gue butuh maaf lo? Lo aja yang terlalu naif!” balas Zetta. Gavin menghela napas panjang, seolah lelah. “Zetta, keluar dulu,” ujarnya datar. Zetta menyeringai, namun menurut. Ia berjalan tenang, mengikis jarak dengan Helia yang masih terpaku di posisinya. Ketika melewati ambang pintu, bahunya sengaja disenggolkan dengan bahu Helia. “Jangan lama-lama, oke? Gavin belum bersih-bersih, lagian dia barusan janji mau main sama gue sampai pagi,” bisik Zetta di telinga Helia. “By the way, kalau lo mau ngebatalin pertunangan, better langsung sih. Gue lagi subur. Dan biar gue sempat bikin gaun pengantin juga.” Helia memejamkan mata sejenak, menahan dorongan untuk menampar perempuan itu. Namun Zetta sudah melenggang pergi, menyisakan wangi parfum tajam yang menusuk hidung dan kenangan lama yang pernah ia kubur. Pintu tertutup pelan di belakang mereka. Kini hanya ada Helia dan Gavin, berdiri di ruangan yang tiba-tiba terasa seperti ruang interogasi. “Sejak kapan kalian main lagi di belakangku?” tanya Helia. Tersua jeda. Gavin menghela napas panjang—kesal, bukan menyesal. “Apa itu penting?” “Apa?” “Kamu mau melayaniku?” tantang Gavin. “b******k kamu, Gav!” balas Helia. Gavin menyeringai. “Kamu yang terlalu kuno, sayang. Benar yang Zetta bilang, sok suci! Kalau kamu mau melayaniku, mengerang nikmat seperti yang Zetta lakukan, aku akan berhenti bermain dengannya!” Kelu. Hanya air mata Helia yang kembali mengalir. “Berhenti menangis seperti anak TK! Ayo kembali ke ballroom!” ujar Gavin lagi, terdengar seperti perintah tanpa ruang untuk penolakan. “Pertunangan kita....” Gavin mengernyitkan dahi. “Pertunangan kita... berakhir!” tegas Helia, meski suaranya bergetar karena bertumbukan dengan isak yang ia tahan. “Apa kamu bilang?” Helia bernapas dalam, mengumpulkan keberanian dan energi ke pita suaranya. “PERTUNANGAN KITA BERAKHIR! BERAKHIR!” ‘PLAK!’ Tangan besar itu melayang cepat dan menampar pipi Helia begitu keras hingga tubuhnya tersentak ke samping. Suara tamparan terdengar tajam, memotong keheningan. Telinga Helia berdenging, pipinya panas, dan cairan kental yang asin dan anyir merambat ke indera perasanya. Helia memegangi pipinya, terengah. Air matanya mengalir kian deras. “Helia....” Gavin mendekat, sok hendak memohon. Helia memundurkan langkah. “Syukurlah aku mengetahui keburukanmu sekarang.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
307.5K
bc

Too Late for Regret

read
271.6K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.6M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
135.8K
bc

The Lost Pack

read
374.6K
bc

Revenge, served in a black dress

read
144.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook